Mungkin masih segar di ingatan, sebuah kejadian di kancah sepakbola Eropa yang menggemparkan para penikmat sepakbola di seluruh dunia. Bisa menebak? Jika jawaban kalian adalah Super League, maka 100 untuk anda.
Diajukan pada April 2021 oleh Super League Company yang berisikan 12 klub sepakbola kaya raya seperti Real Madrid, Barcelona, Juventus, Manchester United, Manchester City, Liverpool, dan Arsenal, European Super League adalah “jawaban” atau kompetitor dari UEFA Champions League. “Niat baiknya”, kompetisi itu digelar untuk memastikan iklim kompetisi sepak boleh tetap segar dan terus terdorong untuk melakukan perubahan dan modernisasi. Apakah realitanya seperti itu?
Seperti kata Optimus Prime, There is more than meets the eye. Usut punya usut, European Super League (ESL) dibuat lebih untuk menyelamatkan keuangan klub-klub elit. Pandemi COVID-19 yang berlangsung bertahun-tahun dan menghalau berbagai event olahraga membuat berbagai klub sepakbola megap-megap. Kerugian mereka mencapai triliunan poundsterling. Di sisi lain, banyak klub kaya menganggap format UEFA Champions League terlalu usang dan tidak menguntungkan karena banyak klub besar tidak bertemu.
In desperation, timbulah ide untuk membuat kompetisi tandingan yang harapannya bisa mengundang berbagai investor dan sponsor baru. Rencana itu disusun tanpa sepengetahuan UEFA. Konsepnya tidak akan berbeda jauh dengan Champions League, namun terfokus pada 20 klub saja di mana 15 klub yang berstatus “Founder” akan selalu ada terlepas baik buruknya performa. Singkat kata, kompetisi elit.
Sifat elitism itu ditolak berbagai pihak. Setelah desakan dari banyak pihak, termasuk FIFA dan UEFA, ESL balik kanan dan tidak jadi dijalankan. Nah, kurang lebih 2 tahun setelah prahara ESL intu terjadi, Apple mengeluarkan sebuah series docudrama mengenai fenomena itu. Judulmnya, Super League: The War for Football, dan isinya menguak apa saja yang terjadi selama “perang” itu.
Mengusung subgenre mini seri docudrama, War for Football tampil secara menggugah dan menampilkan cerita yang emosional. Serialnya dibuka dengan persahabatan presiden UEFA Aleksander Ceferin dengan pemilik klub Juventus Andrea Agnelli sebagai backstorynya.
Namun, War for Football lebih dari sekedar dokumentasi atas suatu perang bola di Eropa, melainkan berbagai kesaksian, perspektif, dan agenda untuk memberikan gambaran yang holistik atas eksistensi ESL. Seperti kita menonton film biopic namun dengan pendekatan dokumenter. Bagusnya, War for Football bukanlah sebuah dokumenter yang membosankan, melainkan sebuah serial dokumenter yang kaya akan cerita dan emosi.
Aspek teknis seperti aspek musik dan sinematografi tidak dilupakan mini seri ini. Walau diisi berbagai footage, semua digarap dengan sangat baik. Visualnya pun sangat membantu kita untuk memahami kejadian demi kejadian yang tersaji di dalam dokumenter ini. Semua disusun secara rapih dan runut. Untuk jumlah episodenya, tidak banyak. Hanya empat episode saja, membuat mini seri ini terasa ringkas dan padat.
Jika penulis harus mengkritik satu hal dari War for Football, yaitu runtime per episodenya. 1 jam lebih. Dan durasi satu jam itu banyak diisi dengan penjelasan-penjelasan di luar tema series ini seperti masuknya investor asing ke dunia sepakbola dan politik di UEFA yang terkenal korup.
Akhir review, Super League: The War for Football, sangat cocok bagi teman-teman, terutama football enthusiast, yang ingin melihat sepakbola dari angle atau sudut pandang yang berbeda. Yang disajikan rata-rata adalah kejadian di luar lapangan yang mungkin tidak semua orang peduli akan itu. Walau begitu, series ini tetap berhasil mendeliver kejadian off pitch dengan sangat apik dan emosional.