Seluruh mata populasi dunia jadi saksi saat Argentina menjuarai Piala Dunia 2022 lewat pertandingan dramatis melawan Prancis. Dan, hampir seluruh fans sepakbola tunduk dengan fakta Lionel Messi lebih baik dari Cristiano Ronaldo. Tapi, Argentina belum lepas dari lirikan global, negara ini kembali mencuri perhatian – kali ini di bidang seni – lewat film yang sangat Argentina sekali, berjudul Argentina, 1985.
Karya kolektif arahan sutradara Santiago Mitre ini punya peluang untuk membawa pulang piala bergengsi dalam ajang Academy Awards 2023 untuk kategori film berbahasa asing terbaik. Film yang diangkat berdasarkan sejarah kelam – yang relate dengan Indonesia – ini punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh pesaing lainnya di kategori yang sama, yakni humor.
Humor yang dihadirkan bukan humor yang mendiskreditkan sejarah atau pihak manapun, melainkan bentuk perwujudan sempurna akting Ricardo Darin dalam memerankan Julio Cesar Strassera, kepala jaksa penuntut dalam kasus pelanggaran HAM mantan Presiden Jorge Rafael Videla.
Dari premisnya, kita mungkin beranggapan film ini bakal jadi tontonan berat. Tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Mitre berhasil mengemas Argentina, 1985 menjadi drama courtroom – yang identik dengan keseriusan dan perdebatan – menjadi menarik, komikal, dan tontonan sejarah yang membuat bulu kuduk merinding.
Kisah di Balik Argentina, 1985
Argentina, 1985 merekam ulang momen bersejarah Pengadilan Junta (pengadilan yudisial terhadap anggota pemerintahan militer de facto – satu-satunya prosedur berskala besar yang dilakukan pemerintahan demokratis melawan pemerintahan diktator), penuntutan kediktatoran Videla yang mengeksploitasi dan membuat rakyat hidup dalam rasa waswas dari tahun 1976-1981. Kediktatoran Videla menyebabkan lebih dari 30.000 (perkiraan) penghilangan dan kematian warga Argentina.
Meneruskan catatan Collider dan laman terkait lainnya, dipimpin oleh Videla pada Maret 1976, Angkatan Bersenjata Argentina curi-curi kesempatan dari ketidakstabilan politik yang berkembang di negara dan merebut kekuasaan politik dalam kudeta terhadap Isabel Peron, yang mengambil alih kursi kepresidenan setelah kematian suaminya, Juan Peron.
Junta militer Videla mengaburkan tindakan kejinya atas nama Proses Reorganisasi Nasional, membubarkan Kongres, melarang partai politik, dan membatasi kebebasan sipil. Junta juga mulai dengan ketat membatasi kebebasan berbicara dan menerapkan sensor media nasional. Lebih ekstrem, kediktatoran militer menargetkan warga negara Argentina yang dituduh mendukung ideologi sayap kiri. Argentina mengenal sejarah ini sebagai “Desaparecidos”.
Tak tanggung-tanggung, Videla dan pengikut militernya mendirikan lebih dari 300 kamp konsentrasi dan pusat penyiksaan di seluruh Argentina, tempat mereka melakukan kejahatan brutal terhadap warga yang diculik. Salah satu pelanggaran paling mengerikan yang dilakukan selama rezim Videla adalah death flights, ketika warga negara diikat, dibius, dan dilempar ke laut lepas dari pesawat.
Teror Videla berlangsung hingga Maret 1981, setelah 5 tahun berkuasa, ia akhirnya dipaksa mundur menyusul meningkatnya amarah publik terhadap kekerasan negara dan kekacauan ekonomi yang dihadapi Argentina.
Pasca jatuhnya Videla, Komisi Nasional untuk Orang Hilang dibentuk pada tahun 1983 untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh kediktatoran. Hal ini mencetus Pengadilan Junta. Videla dan sejumlah pendukung terdekatnya diadili. Namun, Videla dan para pengikutnya menolak untuk mengakui keabsahan persidangan tersebut, sebaliknya ingin diadili oleh pengadilan militer.
Ketika vonis pengadilan diumumkan, Videla dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, bersama dengan pejabat tinggi militer lainnya (durasi hukuman berbeda-beda). Persidangan Junta terbukti sangat penting dalam perjalanan Argentina pasca kediktatoran.
Argentina, 1985 dituturkan melalui perspektif kepala jaksa penuntut Julio Cesar Strassera dan asistennya Luis Moreno Ocampo, yang bekerja tanpa lelah untuk membawa keadilan atas kejahatan dan pelanggaran HAM rezim Videla.
Kedua pria ini membentuk tim yang terdiri dari kalangan pemuda dan non-pengacara untuk mengumpulkan bukti dan laporan saksi mata atas kejahatan yang dilakukan oleh junta. Dari Oktober 1984 hingga Februari 1985, regu penuntut melakukan perjalanan ke seluruh penjuru Argentina untuk mewawancarai para korban rezim Videla dan mengumpulkan informasi untuk digunakan selama litigasi.
Ketika Persidangan Junta dimulai pada April 1985, tim Strassera telah mengumpulkan lebih dari 800 kesaksian saksi (jumlah yang fantastis).
Tentu saja, melalui film ini, Mitre tak mau menyia-nyiakan momen untuk melafazkan kutipan populer Strassera di persidangan dengan takzim dan dramatis: “Nunca mas!” atau jika diterjemahkan “Never again!“.
Menularkan Perasaan Waswas
Film yang menyabet penghargaan untuk kategori Best Foreign Language di Golden Globes 2023 ini menularkan perasaan waswas kepada penontonnya. Nuansa yang dihadirkan mirip dalam film bertema (hampir) serupa, All The President’s Men (1976), yang bisa jadi kisi-kisi peluang Argentina, 1985 berjaya di Oscar, mengingat film tersebut pernah memborong empat Piala Oscar pada tahun 1977.
Rasa waswas tersebut berhasil disalurkan (barangkali) lantaran film ini sangat amat lantang berbicara soal fasisme. Apalagi, sejak awal film, penonton sudah berhasil dibikin empati oleh karakter Strassera yang family man tapi juga gatal ingin terlibat dalam penuntasan kasus ini. Tak terhitung ancaman nyawa yang diterima oleh Strassera dan keluarganya sepanjang kiprahnya dalam persidangan bersejarah tersebut.
Namun, Strassera tak gentar, cenderung keras kepala. Ketakutan justru diperlihatkan oleh partnernya, Luis Moreno Ocampo (Juan Pedro Lanzani), tim, dan para saksi persidangan. Ini hal lumrah. Positifnya, penonton jadi punya teman untuk merasa waspada di beberapa adegan.
Sedikit Berpaling dari “Show, Don’t Tell”
Karena kebutuhan sejumlah poin penting dalam menarasikan fakta sejarah, film ini jadi agak melenceng dari hukum tak tertulis persinemaan, show, don’t tell. Banyak dari informasi yang, mau tak mau, harus disalurkan lewat dialog. Sebab jika tidak, tak terbayang durasi film ini akan jadi sepanjang apa.
Tapi, sejumlah eksposisi itu tertolong lewat montase ciamik dan cut-to-cut estetis yang memanfaatkan dialog para karakternya. Jika narasi berpotensi garing dan “banyak bacot”, maka berikan nilai lebih pada elemen sinematik. Barangkali itu jadi pegangan Argentina, 1985 jika berkaca pada editing yang ditawarkan.
Dengan demikian, Argentina, 1985, menuntut penontonnya untuk fokus, sebab cerita dijabarkan dengan kecepatan maksimal. Seruput kopi sebentar saja bisa gawat.
Tapi tenang, meskipun sebagian film ada di area persidangan dan menyorot ripuhnya tim Strassera mengumpulkan bukti– untuk membangun ketegangan naturalistik dan keakuratan sejarah guna menggarisbawahi pentingnya kasus tersebut dan dampak krusialnya terhadap masa depan kebebasan sipil di Argentina – penonton bisa bernapas lega sejenak saat film beralih ke sub-plot kehidupan Strassera dan Ocampo yang tak kalah asyik untuk diikuti.
Drama Courtroom yang Komikal
Sah saja. Lagi pula, objek humor bukan dari sejarah traumatis tersebut, melainkan sisi lain dari karakter Stassera yang berhasil diulik dengan baik oleh Darin dan Mitre. Penonton bisa tertawa di beberapa adegan meskipun filmnya bertema serius.
Sisi humor karakter Strassera dalam Argentina, 1985 bukan semata-mata imajinasi aktor dan sutradara untuk membuat filmnya lebih menarik. Tapi memang seperti itulah Strassera dikenal oleh masyarakat Argentina.
Selama proses pengembangan karakter, Darin menemukan fakta kalau Strassera punya selera humor yang unik. Kesantaiannya dalam menanggapi ancaman nyawa oleh oknum anonim dari balik telepon, serta keterbukannya membicarakan ancaman yang ia terima, membuat Strassera menyandang gelar ‘Si Gila’ oleh rakyat Argentina. Gila di sini bermakna positif dan apresiasi.
Fakta ini membuat Darin membuka jendela baru ketika mengadaptasi ‘Si Gila’ ke dalam film dan memberi lapisan lebih dalam atas kepribadian Strassera di samping keserisusannya dalam menentang kediktatoran Videla. Argentina, 1985 pun menjelma cerita segar, baik dari segi plot cerita maupun karakter.