Dalam sejarah pergerakan hak sipil di Amerika Serikat dan dunia, nama Malcolm X memiliki pengaruh besar sepanjang tahun 1960an. Lahir dengan nama Malcolm Little pada 19 Mei 1925, Malcolm dikenal akan sikap vocal dan kritisnya soal hak asasi masyarakat kulit hitam. Sikap itu sendiri mulai tumbuh sejak Malcolm mendapati ayahnya, yang seorang aktivis, mati dibunuh kelompok supremasi kulit putih.
Sikap tersebut makin menjadi-jadi pasca Malcolm dipenjara dalam kasus dugaan pencurian. Keluar dari penjara, Ia memutuskan masuk Islam dan mengubah namanya dari Malcolm Little menjadi Malcolm X. Nama belakang “X” itu sendiri mengacu ke nama leluhur Afrika Malcolm yang hilang. Dengan nama baru, Malcolm ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan berhenti memperjuangkan hak masyarakat kulit hitam.
Dalam berjuang, pendekatan Malcolm dikenal keras, non-kompromis. Hal itu membuatnya kerap berseberangan dengan aktivis-aktivis hak asasi masyarakat kulit hitam lainnya. Salah satu yang berseberangan dengannya adalah aktivis anti-kekerasan Martin Luther King Jr.
Sepanjang dekade 1960an, “perseteruan” Malcolm dan Martin menarik perhatian masyarakat yang muak dengan rasisme. Meski berseberangan, Malcolm menghormati Martin karena menurutnya perbedaan pendekatan tidak menutupi fakta bahwa ia dan Martin berjuang untuk masyarakat yang sama. Sayang, perseteruan itu tak berlangsung lama.
Pada 21 Februari 1965, Malcolm tewas dibunuh oleh pentolan Nation of Islam di mana ia mengundurkan kiri karena tak lagi sejalan. Kematiannya diwarnai teori-teori konspirasi bahwa Pemerintah AS dan FBI ikut menyokong rencana pembunuhan Malcolm. Hal itu diangkat dalam film Malcolm X karya Spike Lee dan membesarkan nama aktor Denzel Washington.
Meski meninggal di usia relatif muda (39 tahun), Malcolm meninggalkan pengaruh yang begitu besar ke masyarakat kulit hitam, bahkan ke industri sinema juga. Gaya Malcolm yang keras diyakini menginspirasi industri sinema untuk menampilkan karakter utama kulit hitam yang tough pada decade selanjutnya. Tahun 70an, berkembanglah apa yang disebut Blaxploitation. Nah, memperingati Black History Month, mari kita bahas soal apa itu Blaxploitation dan kenapa Malcolm X berperan di penciptaannya.
Pencetus Genre Blaxploitation
Pada saat tahun 1970-an bergulir, banyak masyarakat kulit hitam tidak puas dengan representasi mereka di media, salah satunya film. Kebanyakan film menampilkan masyarakat kulit hitam sebagai figure yang minor, non-integral, dengan karakteristik tidak realistis. Di sisi lain, tak sedikit juga yang mulai tak puas pada pendekatan pasif dalam merespon rasisme dan prejudis di mana kerap dikritik Malcolm X. Ketidakpuasan tersebut, diamplifikasi semangat pemberontakan, mendorong kelahiran Blaxploitation.
Sweet Sweetback’s Baadasssss Song disebut-sebut sebagai salah satu Blaxploitation pertama. Kisahnya disampaikan dari sudut pandang seorang pria kulit hitam yang tumbuh di rumah bordir, Sweetback. Adapun kisah Sweetback bermula ketika ia mendapati dua polisi kulit putih memukuli bocah kulit hitam. Tak terima melihat bocah itu dihajar, Sweetback melawan kedua polisi yang seketika menjadikannya buron.
Sebagai buron, Sweetback berusaha kabur dari kerjaan aparat kepolisian. Sepanjang kisah, Ia melintasi Amerika, dari perkotaan hingga ke perbatasan Meksiko. Sepanjang petualangannya, penonton diajak melihat potret brutalitas kepolisian Amerika terhadap masyarakat kulit hitam, termasuk upaya menutup-nutupi brutalitas itu sendiri.
Seperti dikatakan di awal, film Blaxploitation muncul dari kebutuhan komunitas kulit hitam untuk melihat film yang mencerminkan realitas mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka kerap menjadi target prejudis dan kekerasan oleh kepolisian. Ketika Sweet Sweetback’s Baadasssss Song menampilkan realitas tersebut, masyarakat kulit hitam menyambutnya sebagai representasi yang tepat.
Hal realistis lainnya adalah bagiamanan para tokoh kulit hitam di film tersebut tampil sebagai “everyday joe”. Mereka, by default, tak memiliki karakteristik heroik. Mereka adalah kelas pekerja dengan profesi “tabu” di masyarakat umum seperti mucikari, pengedar narkoba, pengedar, informan, dan pelacur. Dengan sistem sosial tak berpihak pada mereka (saat dekade itu), pilihan pekerjaan memang tak banyak.
Penggambaran perlawanan oleh Sweetback, yang tampil sebagai anti-hero, menjadi welcome addition. Di baliknya ada pesan perlawanan terhadap white-establishment, sesuatu yang diperjuangkan masyarakat kulit hitam sejak lama. Memang, di realita, Sweetback sudah pasti mustahil bisa kabur dari polisi. Boro-boro kabur, masih bisa hidup pun beruntung. Walau begitu, pesan perlawanannya tetap representatif.
Dengan segala penggambarannya soal perjuangan masyarakat kulit hitam, Sweet Sweetback’s Baadasssss Song karya Melvin Van Peebles disebut Blaxploitation yang definitif. Industri sinema dan televisi menerima genre tersebut dengan antusias. Seperti bisnis pada umumnya, Hollywood langsung merespon trend tersebut dengan membuat salah satu Blaxploitation klasik, Shaft (1971), yang meraup US$12 juta.
Tidak semua antuasias. Junius Griffin, Presiden Asosiasi Pembangunan Masyarakat Kulit Berwarna (NAACP) Beverly Hills, memprotes Blaxploitation. Menurutnya, genre itu “mengeksploitasi kekerasan” terhadap komunitas kulit hitam. Di sisi lain, ia juga merasa genre tersebut terlalu sering menampilkan masyarakat kulit hitam dengan pekerjaan-pekerjaan illegal. Ironisnya, istilah Blaxploitation adalah ciptaannya.
Kritik Griffin tak ngefek. Sineas-sineas terus maju dengan genre tersebut dan mendorong evolusi Blaxploitation. Sineas kulit hitam seperti (Alm) John Singleton dan Spike Lee, misalnya, mengurangi kadar kekerasan dan lebih menekankan slice of life pada Boyz N the Hood (1991) dan Do the Right Thing (1989).
Sutradara non-kulit hitam juga terpengaruh oleh Blaxploitation. Salah satu yang paling terkenal adalah Quentin Tarantino yang mengangkat genre tersebut lewat Jackie Brown dan Django Unchained. Semua film-film tersebut mempertahankan ciri khasnya: karakter utama Afro-Amerika, pekerjaan rendahan, melawan penindasan sistem rasis yang dipresentasikan aparat, serta nilai-nilai yang terinspirasi oleh pidato-pidato Malcolm X.
Inspirasi Malcolm X pun tak berhenti di satu genre, tapi juga menembusnya hingga genre lain yang mendominasi Hollywood sekarang, Superhero. Nah, apakah kalian tahu tokoh superhero yang terinspirasi olehnya?