Perpindahan dari indahnya kehidupan anak-anak menjadi dewasa memang tidak pernah mudah. Menjadi dewasa berarti harus meninggalkan masa anak-anak yang menyenangkan untuk menghadapi permasalahan orang dewasa. Belum lagi perubahan fisik yang menjadikan baju yang disukai tidak lagi cukup, perlunya membeli pakaian dalam dan keperluan pribadi, dan juga bertambahnya tanggung jawab. Kecuali yang terakhir, semua itu harus dihadapi oleh Margaret di film Are You There God? It’s Me Margaret.
Penantian menstruasi pertama, perubahan bentuk fisik, ciuman pertama, pindah ke lingkungan baru, hingga perdebatan agama. Topik-topik tersebut yang dihadapi oleh Margaret, seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Sebagai sebuah film coming of age, Are You There God? Its Me Margaret membawa kita melalui kompleksitas kehidupan secara jujur dan sederhana dari perspektif anak-anak. Sederhananya, film ini mencoba mengajak kita untuk melihat berbagai permasalahan dalam hidup dengan cara yang lebih sederhana.
Mengambil latar belakang di Amerika Serikat, tahun 1970, Margaret mendapati dirinya harus pindah dari New York, sebuah kota besar, menuju kota pinggiran di New Jersey. Penyebabnya, karena ayahnya mendapatkan promosi.
Di lingkungan baru, Margaret dengan cepat mendapatkan teman-teman baru. Namun, seperti kehidupan akademik pada umumnya, PR dengan cepat datang menghadang.
Sebagai tugas penelitian dari sekolahnya, Margaret diminta untuk mengeksplor aspek religiolisitas dari hidupnya. Problemnya, konsep itu lumayan asing bagi dirinya karena Margaret berasal dari keluarga interfaith di mana konsep religiositas dan keyakinan begitu fleksible dan cair. Ia pun belum menentukan akan memeluk agama yang mana.
Untuk mengatasi masalah agamanya, Margaret mulai mencoba berkomunikasi dengan Tuhan dengan membuka tiap doanya dengan kalimat “Are You There God? Its Me, Margaret”. Merasa kurang nyaman dengan kurang keterikatannya dengan agama, Margaret mengikuti berbagai praktek keagamaan, termasuk Kristen (agama ibunya) dan Yahudi (agama ayahnya). Di sisi lain, Margaret bersama teman-teman barunya bersiap menghadapi pubertas, salah satunya menstruasi dan perubahan bentuk payudara.
Dibandingkan film coming of age lainnya seperti Boyhood atau The Perks of Being a Wallflower, film ini jelas lebih ringan, bahkan dibanding The Edge of Seventeen yang disutradarai director film ini sendiri, Kelly Fremon Craig.
Dalam Boyhood, karakter utamanya bertumbuh dengan menghadapi kompleksitas keluarga broken home. Di The Perks of Being a Wallflower, Charlie sang karakter utama menghadapi masa masuk SMA-nya dengan dihantui trauma masa lalunya. Nah, di Are You There God? Its Me, Margaret, problemnya adalah masalah memilih keyakinan dan pubertas.
Saya tidak mencoba menyalahkan keputusan Craig di sini. Pendekatan yang ia ambil justru membantu membuat cerita lebih fokus dan mengalir dalam menyampaikan permasalahan Margaret. Are You There God? Its Me, Margaret bukanlah film untuk mengajak kita ‘berbicara’, tapi untuk ‘melihat’ permasalahan agama dari sudut pandang seorang anak perempuan.
Craig dan Judy Blume selaku penulis novelnya menyampaikan topik permasalahan yang dianggap tabu itu (seksualitas dan agama) dengan jujur. Tak ada paksaan dari pihak manapun agar sang anak mengikuti salah satu agama. Permasalahan seksualitas (menghadapi menstruasi pertama, memakai bra) juga disampaikan sejujur mungkin, termasuk pentingnya orang tua dalam mendampingi sang anak.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa Are You There God? Its Me, Margaret memiliki sedikit masalah dalam hal relevansi. Karena Craig tidak memodernkan setting ceritanya, misalnya dengan memasukkan unsur media sosial dan pride month, perspektif yang ditawarkan terasa sangat tua, tahun 70an. Aktivitas anak-anak seusia Margaret di periode itu jauh berbeda dengan anak-anak sekarang. Walau begitu, bukan berarti film ini tak bisa dinikmati. Masih ada banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran, terutama masalah religiositas yang perlahan mulai jarang dibahas di lingkup urban.
Akhir kata, Are You There God? Its Me, Margaret mungkin bukan film yang mudah diterima, termasuk yang dapat merangkul banyak pihak. Temanya relatif sensitif. Namun, film ini memberikan penonton rasa nyaman dan kehangatan yang telah lama hilang di film-film coming of age lainnya, yaitu rasa kebersamaan dan tumbuh seiring jalan cerita di tiap karakter-karakternya. Craig dengan apik tidak hanya memgembangkan karakter Margaret, tetapi juga orang-orang di sekelilingnya.