Sekuel ketiga dari trilogi tak bersambung besutan Kenneth Branagh (Belfast, Death on the Nile) kembali menghadirkan petualangan sang detektif Belgia, Hercule Poirot. Setelah memecahkan misteri dikereta Orient Express dan ditengah sungai Nil, kini petualangannya berada di kota indah nan kian tenggelam, Venice.
A Haunting in Venice mengisahkan bagaimana Poirot (Kenneth Branagh) yang sedang menikmati masa peniun di kota tersebut tiba-tiba didatangi oleh teman lamanya seorang penulis novel misteri terkenal, Ariadne Oliver (Tina Fey). Ia kemudian diajak untuk mengikuti sesi pemanggilan arwah. Tidak lama setelah sesi itu berlangsung, terjadilah pembunuhan. Hercule Poirot terpaksa untuk tidak pensiun dan kembali beraksi.
A Haunting in Venice memiliki vibe yang agak berbeda dibanding dua film sebelumnya. Film ini tidak hanya terasa namun juga terlihat lebih gelap. Awal mula kita memang diperlihatkan sisi kota Venice yang cerah, memperlihatkan arsitektur kota tua itu lengkap dengan kanal-kanal berisikan laut biru bergelombang. Tapi setelah Poirot dkk memasuki rumah tua tempat mereka menghadiri sesi pemanggilan arwah, semua berubah 180°.
Prepare Yerzelf, Madame et Monsieurs…Zere Has Been A Merder…
Feel goth dan horror mulai menjajah dan mengambil alih. Kenneth Branagh tidak menghendaki film ini menjadi full film horror yang menyeramkan tapi ia memberikan bumbu horror sebagai pelepas rasa monoton yang terkadang ada dalam setiap film whodunit. Sering kali, kita mendekati layar dan mencoba untuk fokus, melihat serta mendengarkan kesaksian para tersangka. Di situlah Kenneth Branagh menghadirkan twist dan mencoba untuk memecahkan konsentrasi kita.
Penempatan bumbu horror ini pun tepat dan pas. Jumlahnya tidak sedikit dan juga tidak terlalu banyak sampai dikatakan annoying. Penggunaan ‘Dutch Angle’ khas Kenneth Branagh turut membantu menambahkan rasa eerie dan uneasy film ini. Rasanya seperti masuk kedalam wahana rumah berhantu.
Diangkat dari karya novelis misteri ternama Agatha Christie berjudul Hallowe’en Party, A Haunting in Venice hanya meminjam nama karakter dan beberapa elemen minor saja dari novel tersebut. Sisanya adalah rombakkan total. Mulai dari setting, korban hingga tersangkanya. Dapat dikatakan ini adalah ide yang sangat bagus mengingat Hallowe’en Party adalah salah satu novel Hercule Poirot yang kurang diminati pada saat rilis.
Hasilnya, film ini jauh lebih baik dari novelnya. Hanya saja akibat berisikan karakter baru serta setting baru, detail backstory dari kesemuanya agak sedikit hilang dan mengakibatkan bagian paling menarik dari setiap whodunit, jadi terasa kurang. Walaupun ditopang oleh performa para all-star cast-nya yang jempolan, monolog dari setiap karakter terkesan cepat dan buru-buru. Tambah lagi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setiap kali kita mendengarkan kesaksian para tersangka, akan diinterupsi oleh elemen horror, membuat monolog mereka semakin pendek.
Penulis merasa, sampai akhir film, masih belum mengenal setiap karakter dengan cukup baik. Siapa Mrs. Reynolds (Michelle Yeoh)? Sejak kapan ia jadi seorang medium? Siapakah Rowena Drake? (Kelly Reilly) Artis? Penyanyi? Setiap karakter memiliki screentime yang terbatas bahkan bisa dikatakan untuk beberapa karakter tertentu terasa hampir seperti cameo belaka. Agak disayangkan karena film ini cukup membahas sakit psikis yang diakibatkan hal yang se-sepele patah hati hingga se-ekstrem stress pasca perang.
And Ze Merderer is…
Sebagai catatan terakhir, untuk film yang akarnya berada pada kisah detektif yang mencari fakta dan kebenaran, ada beberapa scene dalam film ini yang di luar nalar. Tidak terjelaskan selain dikarenakan hal-hal berbau spiritual atau paranormal. Walau begitu, perpaduan antara Whodunit x Horror ini works.
Berkat keduanya, menonton A Haunting in Venice menjadi seperti sebuah wahana yang membawa kita dari kesunyian monolog tersangka ke kaget pemacu jantung ala jumpscare dalam sekejap. Seperti naik roller coaster bertemakan rumah hantu. Hanya saja akibat runtime yang jauh lebih singkat dibanding film sebelumnya serta pembagian screentime tiap karakter yang terkesan buru-buru, membuat the who in whodunit terasa agak kopong. Walau begitu, ini adalah film Halloween yang cocok bagi kalian yang tidak suka dengan film horror tapi masih ingin merasakan suasana seram musim Halloween.