Awal tahun langsung dihantam film horor baru, tapi anehnya, “The Wolf Man” dari Blumhouse nggak punya hype segede “Five Nights At Freddy’s” atau “The Exorcist: Believer.” Padahal, selain diproduksi rumah besar, sutradaranya, Leigh Whanell, juga punya track record gahar dengan “The Invisible Man”, “Upgrade”, dan “Insidious: Chapter 3″. Jujur, awalnya agak ill-feel karena kurang promosi, tapi inget pengalaman nonton “Nope” yang juga “under the radar” dan ternyata keren banget, jadi penasaran, mungkin ini hidden gem lainnya?
Film “The Wolf Man” menceritakan Blake (Christopher Abbott) yang menerima kabar mengejutkan bahwa sang ayah, yang telah ia tinggalkan selama 20 tahun lamanya, meninggal dunia. Dengan bayang-bayang masa lalu yang penuh konflik akibat didikan keras sang ayah, Blake memutuskan membawa istrinya, Charlotte (Julia Garner), dan putrinya, Ginger (Mattilda Firth), untuk menghabiskan musim panas di rumah lamanya di Oregon.

The Wolf Man (2025). Source: IMDB
Namun, di balik keputusannya untuk kembali, terselip legenda menyeramkan tentang “Wajah dari Serigala,” sebuah penyakit misterius yang konon menyebabkan orang-orang menghilang dan berubah menjadi sosok mengerikan. Apa yang awalnya hanya terdengar seperti mitos ternyata perlahan berubah menjadi teror nyata yang mengancam keluarga Blake dan seluruh warga di sana.
Premisnya sebenarnya menarik karena kembali ke tema horor jadul yang nostalgic banget. Monsternya pun mencerminkan vibe klasik, dan ceritanya juga pakai formula khas: tokoh utama terjebak di rumah sambil berusaha selamat dari ancaman “monster” di luar.
Sebenernya nggak ada masalah sama latar yang cuma di rumah aja. “Don’t Breathe” yang memiliki konsep serupa pun bisa bikin tegang abis meski fokus di satu tempat. Tapi, sayangnya, film ini lebih terasa kayak “The Strangers”, dengan karakter yang mondar-mandir tanpa arah dan cerita yang akhirnya nggak ke mana-mana.

The Wolf Man (2025). Source: IMDB
Kudos buat sound designernya, yang jadi satu-satunya penyelamat di film ini. Surround sound-nya gila banget, bener-bener bikin “The Wolf Man” terasa lincah dan hidup di tiap adegan. Ditambah lagi, komposer Benjamin Wallfisch nggak main-main dengan scorenya, sukses ngangkat suasana jadi lebih intens. Lucunya, elemen terpenting, yaitu cerita, justru jadi titik lemah terbesar di film ini.
Dengan potensinya yang besar, eksekusi film ini terasa kurang menggigit. Alur ceritanya cenderung berulang, sehingga ketegangan dan rasa penasaran jadi cepat memudar. Dengan pacing yang lambat, penonton mungkin berharap ada payoff besar di akhir, tapi sayangnya hal itu tidak terjadi, semuanya terasa datar tanpa impact yang berarti.
Hal tersebut diperburuk plot twist yang seharusnya menjadi momen mengejutkan malah mudah ditebak, membuat cerita semakin kehilangan greget. World-building yang kurang tergarap pun memperparah, karena latar yang seharusnya menambah kedalaman cerita justru terasa kosong dan kurang berkesan.

The Wolf Man (2025). Source: IMDB
Yang paling bikin kecewa adalah kegagalan sinematografer dalam memanfaatkan kegelapan. Kalau dibandingin sama “Nope”, Jordan Peele pernah spill kalau mereka pakai teknik syuting di siang hari lalu diubah jadi malam pas post-production, jadi meski gelap, penonton masih jelas ngeliat apa yang terjadi. Tapi di “The Wolf Man”, nggak tahu deh teknik apa yang dipakai, karena di adegan gelap penonton bener-bener dibuat buta total, kayak nonton layar mati. Overall, film ini masih jauh dari kata bagus dan jelas butuh perbaikan besar, baik dari sisi naskah maupun teknis.
ANDIKALIX