Mengutip pengamat perfilman tanah air, Salim Said, bahwa saat ini film Indonesia terbagi 2; film dagang sisa masa lalu, dan film yang dibikin dengan gagasan. “Orang-orang dari film dagang ini bertolak dari resep-resep (yang disukai penonton), bukan gagasan,” kata Salim Said.
Memang agak jahat untuk mengaitkan Dosa Musyrik dengan kategori film dagang manifestasi ‘Dosa Asal’ Salim Said – istilah untuk menggambarkan akar kebobrokan film nasional (terutama) pada eranya yang memperlakukan film sebagai ‘barang dagang’ semata, tertatih mengejar sisi komersial dengan meniru film yang sedang laris sembari mengabaikan sisi estetikanya (Nonton Film, Nonton Indonesia, 2004). Toh, Hadrah Daeng Ratu, selaku sutradara, tetap memberi sentuhan estetika pada filmnya.
Maka, supaya lebih lentur dan tak terpaku zaman, perlu rasanya menyematkan kata ‘estafet’ di depannya. Sebab, belakangan ini, Hadrah Daeng Ratu begitu keranjingan menelurkan film-film dengan genre horor (religi) sebagai ‘barang dagang’nya; Makmum (2019), Sijjin (2023), Menjelang Ajal (2024), Pemandi Jenazah (2024), dan lainnya.
Sebagaimana yang pernah ia katakan, sutradara yang pernah diganjar Piala Citra berkat film pendeknya ini (Sabotase, 2009), menerima saja tawaran-tawaran yang datang, termasuk horor-hororan yang tengah ramai ini. Tentu haram hukumnya menyalahkan pilihan itu, namun tiap pilihan ada risikonya.
Untuk kali ini, pilihan tersebut menempatkan Daeng Ratu dalam kompetisi estafet horor-religi di lapangan yang sudah dipenuhi barisan produser sutradara senasib sepemikiran.
Selayaknya ‘Dosa Asal’, aturan tunggal dalam kompetisi itu; tiru film-film sejenis yang sebelumnya laris di pasar kita – silakan cari sendiri. Aturan itu sepertinya tak terkecualikan untuk Dosa Musyrik. Maka hasilnya pun sudah bisa ditebak.

Dosa Musyrik (Source: IMDb)
Dosa Musyrik dan Bobot Agama
Nugie (Marthino lio) dalam posisi terhimpit. Dia miskin, bekerja dengan gaji seadanya, terlilit utang, punya adik menganggur (setidaknya itu yang tampak) dan ibu yang sakit-sakitan. Untuk mengurangi bebannya, Nugie memilih jalan pintas mengantar ibunya berobat ke Mbah Narto (Pritt Timothy) – dukun setempat.
Ibunya memang sembuh – sembuh di tempat bahkan – tapi urusan utangnya (problem andalan karakter kelas bawah ini) belum beres. Rentenir memburunya, ngamuk-ngamuk dan mengancam. Nugie putar otak. Terbersitlah rencana mencuri uang Mbah Narto yang, sebelumnya ia perhatikan sekenanya, ditaruh di peti antik.
Tapi bodohnya, Nugie tak memeriksa isi peti terlebih dahulu. Bukan uang yang ada di dalam peti yang dia curi, melainkan keris keramat zaman Airlangga (kata salah satu karakternya) milik Nyi Roro Pati. Maka celakalah hidup Nugie dan orang-orang di sekitarnya. Nugie tak tahu kalau keris itu adalah buah persekutuan (musyrik) Mbah Narto dengan empunya.
Lewat sinopsis singkat itu, walaupun basi, Dosa Musyrik setidaknya menjanjikan jalan cerita terstruktur, kausal, serta karakter yang lengkap dengan intention-obstacle-tactics-nya.

Dosa Musyrik (Source: Cinema21)
Namun, perlahan tapi pasti, sisi-sisi itu tertindih dan terperangkap oleh balutan horor religi, lengkap dengan resep-resep penglaris-nya (tarian setan, mantra, doa, jump scare). Daeng tergopoh menghadirkan itu semua hingga buyar sudah fundamental struktur tadi. Rentetan kejadian repetitif mulai disusun sekadar untuk mendapat efek tertentu; kejut dan ngeri.
Nyi Roro Pati mulai meneror dibarengi jump scare kurang ajar + tilt shift yang entah apa maksudnya. Adik Nugie, Tari (Delia Husein), tanpa kontribusi apa pun untuk keluarga dan untuk cerita, terus-terusan mengeluh dan marah-marah ketika tahu kakaknya mencuri – “Mencuri itu dosa,” kata Tari (dialog yang mempertebal sisi religi film) . Dan, Nugie yang terlalu blo’on untuk cepat-cepat sadar kalau keris itu adalah akibat dari celakanya orang-orang di sekitarnya dan dihantuinya ia oleh sosok Nyi Roro Pati.
Dalam serangkaian teror yang terjadi, Nugie yang blo’on, dalam bingkai kamera, juga tampak bingung sendiri harus berekspresi seperti apa. Ia tergagap, kadang juga mondar-mandir. Dan, setelah itu semua berlalu, Nugie kembali blo’on seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Sementara Tari, ditempatkan dalam peran pasif. Kopong. Tugasnya semata menghantar dan memperkukuh bobot religi film. Dalam beberapa adegan, Tari tampak salat, wudu, membaca Al-Qur’an, mengingatkan Nugie tentang dosa, dan bangun di sepertiga malam untuk tahajud (ada pada alarm handphone Tari). Sebagaimana gambaran muslimah dalam horor religi belakangan.

Dosa Musyrik (Source: Cinema21)
Meski dengan jalan cerita klise dan banyak ditemui di film-film horor religi kekinian, Dosa Musyrik tetap khawatir penontonnya tak paham dengan motivasi sang karakter, sehingga beberapa kali disisipkan flashback – yang belum beberapa menit lalu jadi plot utama – sekadar untuk jaga-jaga kalau penonton lupa.
Menjelang babak akhir, struktur itu kembali coba dirapikan oleh Daeng. Meski dengan shortcut dan resolusi kuno yang mengorbankan elemen surprise. Meski, lagi-lagi, dengan formula eksposisi flashback yang kali ini menjadi keharusan.
Lantaran (cerita) digerakan oleh ‘kemusyrikan’, maka harus dilawan dengan ‘ketauhidan’. Begitulah, logika cerita kembali kusut dengan jalan pintas resolusi ‘agama’. Lafaz pun jadi elemen jitu penutup cerita. OVER BLACK: surat Az-Zumar ayat: 53. Siapa tahu ada yang tergerak dan bertaubat setelah menyaksikan film ini. Lalu, viral. Wallahualam.
Selain (lumayan) kuatnya struktur narasi di awal, Dosa Musyrik bukan film main-main. Film ini serius dalam menghadirkan resep-resep penglaris tadi lewat jalur sinematik. Keseriusan itu terutama tampak pada penataan artistik, rias, dan efek visual. Nyaris seluruh adegan yang yang melibatkan efek gore dan ngeri mampu mendongkrak sisi horornya.
Pun dalam penataan set lokasi yang jor-joran; pasar loak, rumah dukun, toko tempat Nugie bekerja, termasuk rumah Nugie yang sesak dengan barang-barang antik – yang mungkin bisa dijual bukan cuma untuk meringankan utang Nugie, jadi bujet produksi film pendek pun bisa, tapi, toh, karakternya blo’on.

Dosa Musyrik (Source: Cinema21)
Hadrah Daeng Ratu dan Cita-Citanya
Meski ada saja kelemahan-kelemahan, Daeng juga tak serta merta berpaling mengkhianati sisi estetika dalam produk-produk garapannya. Sentuhan-sentuhan sineas alumnus IKJ-nya masih terasa nikmat. Itulah bentuk cintanya terhadap film. Dan, itu kejahatan saya yang dengan terpaksa melabeli Dosa Musyrik sebagai sekadar buah kompetisi horor religi yang bertolak dari resep.
Kendati pun saya masih berharap, Daeng dengan potensinya ini, bisa mewujudkan ‘filmnya sendiri’ dengan ‘ceritanya sendiri’ yang ia harap dapat menyentuh penonton di masa mendatang, seperti yang pernah ia utarakan dalam bincang-bincangnya bersama Ernest Prakasa. Kita tunggu saja.