Dead Talent Society (Source: IMDB)
Review Dead Talent Society: Susahnya Jadi Hantu Serem

Siapa yang menyangka konsep ajang pencarian bakat alat Indonesian Got Talent dan Indonesian Idol sebenarnya bisa diterapkan ke genre horror sekaligus komedi. Dead Talent Society, ditulis dan disutradarai John Hsu, memnbuktikan hal tersebut tidaklah mustahil. Hadir sebagai percampuran komedi, horror, drama kehidupan (atau kematian?) hantu kelas proletar, Dead Talent Society mencoba menyampaikan bahwa seorang hantu tidak bisa sendirian untuk menjadi si paling seram, apalagi si paling urban legend. Ada kerja kreatif di baliknya. 

 

Kisah film ini sendiri berangkat dari sosok Rookie/Cho Hsiao-lei (Gingle Wang), seorang hantu yang belum lama meninggal. Belum lama meninggal, Rookie sudah mendapati tubuhnya akan menghilang permanen dalam waktu dekat. Gara-garanya, kerabatnya membuang “benda keramat” yang menjadi penghubungnya di dunia nyata maupun dunia bawah. 

 

Tidak mau menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak berarti, Rookie berniat untuk membuat kisah urban legend-nya sendiri agar ditakuti dan dikenang sepanjang masa. Tapi, apa lacur, dia tidak memiliki talenta untuk menjadi seram, alih-alih membuat kisah urban legendnya sendiri. Beruntung di mendapat bantuan dari  Makoto (Chen Bo Lin), salah seorang agen urban legend yang pernah menjadi manajer hantu diva, Catherine (Sandrine Pinna).

 

Dead Talent Society (Source: IMDB)

Dead Talent Society (Source: IMDB)

 

Lewat film ini, John Hsu dan para scriptwriternya berhasil memberikan sebuah cerita horror original yang menarik. Walau konsep persaingan para hantu untuk menjadi yang terseram sedikit banyak mengingatkan dengan premis Monster Inc-nya Pixar, film ini memiliki keunikannya sendiri dalam bercanda dan bercerita soal upaya para makhluk halus untuk bisa eksis dan hidup beriringan baik di dunia nyata maupun di alam gaib.,

 

Keunikan itui salah satunya datang dari eksposisi social issue-nya yang ngena. Lewat persaingan para hantunya, Dead Talent Society merepresentasikan situasi ril di mana masyarakat membentuk berbagai identitas alternatifnya, termasuk berdasarkan ekspektasi orang lain, demi tampil menonjol dan terpandang.  Peran Chaterine yang bersaing dengan Jessica (Yao Yi Ti) sebagai diva horor terseram di dunia hantu merupakan contoh persaingan tersebut di film ini. 

 

Tentunya eksposisi tersebut tidak disampaikan secara serius. Meski John Hsu menyisipkan elemen drama ke dalam kisah Dead Talent Society, sisi komedinya tetap terasa kental. Adapun komedi hadir dengan berragam bentuk di film ini, mulai via dialog, permainan special effect, hingga ragam aksi-aksi yang slapstick. Salah satunya ya datang dari bagaimana Makoto dan Cahtherine berusaha keras untuk membuat Rookie yang sekaku lap kanebo tampil presentable sebagai calon urban legend.

 

Dead Talent Society (Source: IMDB)

Dead Talent Society (Source: IMDB)

 

Film ini tidak hanya kisahnya yang menarik, tetapi juga bagaimana karakter-karakternya dikembangkan. Setiap karakter utama memiliki kisahnya masing-masing dengan konflik yang berbeda satu sama lain namun saling berkaitan. Mereka semua juga memiliki sisi gelapnya masing-masing yang menjadikan karakter mereka round. 

 

Round character pada masing-masing peran utama menjadi daya tarik tersendiri. Apabila diperhatikan seksama pada masing-masing point of view karakter utama, mereka memiliki sisi dan motivasi yang berkebalikan dari sifat utama yang ingin ditonjolkan pada film ini.

 

Sayangnya, narasi yang dibangun pada first act film ini agak terburu-buru. Banyak lubang pada plot yang cukup membuat penonton kewalahan untuk mengikutinya. Barulah pada act berikutnya penonton dapat mengikuti dan memahami hole yang ditinggalkan pada plot di awal cerita.

 

Dead Talent Society (Source: IMDB)

Dead Talent Society (Source: IMDB)

 

Sektor komedi tak lepas dari masalah. Pada permulaan first act, komedi dibangun dengan set-up yang slow burn. Hit and miss pada komedi di first act lumayan membuat Dead Talent Society terasa jemu. Lagi-lagi barulah pada second dan third act, punchline dari set up tersebut terasa dan sangat menghibur bagi para penonton.

 

Melihat dua problem di atas, jelas film ini sebetulnya membutuhkan remedy pada first-actnya untuk memperbaiki narasi yang dibangun dengan terburu-buru, serta komedi yang di-setup terlalu lambat. Tapi saya ragu itu akan terjadi kecuali bakal ada extended cut-nya. 

 

Bagi para penonton yang membutuhkan sebuah tontonan fresh and thirsting for a new different movie plot, film ini bisa menjadi pilihan yang tepat. Sayangnya, film ini lebih cocok disebut drama komedi daripada horor komedi. Setiap adegan horornya muncul, adegan tersebut sering ter-cut oleh presentasi cerita dan komedinya. Sehingga rasa horror yang diterima cukup tanggung saat ditonton. 

DIMAS FADHILLAH, ISTMAN MP

Bagikan:

Anda Juga Mungkin Suka

Leave a Comment