Quentin Tarantino pernah bilang; make it personal enough so you feel embarrassed to share it! Dan, Richard Gadd selaku kreator dari Netflix limited series berjudul Baby Reindeer, benar-benar menerapkan prinsip itu dalam kisah trauma penguntitan yang pernah dialaminya.
Jika kisah penguntitan punya premis; Si A menguntit si B, maka si B dirugikan oleh si A, itu sudah umum. Richard Gadd bercerita lebih dalam. Ia membumbui Baby Reindeer dengan masalah trauma dan sexual abuse yang ruwet, melelahkan, dan menyiksa batin.
Di balik judulnya yang imut, Baby Reindeer mengusung sub-genre black comedy-psychological thriller, melempar anti-humor yang disturbing, serta disokong gaya sinematik khas horor yang estetik.
Donny Dunn dan Martha Scott
Donny Dunn (Richard Gadd) – versi fiksi Richard Gadd dalam Baby Reindeer – adalah seorang komika yang bekerja di bar. Di masa ini, ia mengalami kemerosotan karier. Tinggal seatap dengan ibu dari mantan pacarnya, melempar lelucon-lelucon garing di atas panggung, punya teman kerja nyebelin, dan trauma yang membuatnya kehilangan arah.
Di momen paling rapuh itu, Martha Scott (Jessica Gunning) hadir di kehidupan Donny lewat meet cute mainstream ala film-film romansa; women walks into a bar. Donny yang iba dengan keadaan Martha karena datang dengan wajah murung, menawarinya minuman gratis.
Seperti membuka pintu untuk tamu asing, minuman gratis itu memancing Martha untuk menyelinap lebih dalam ke kehidupan Donny; tanpa batasan, mengacak-ngacak, dan tak mau pergi. Kebaikan Donny berbalas 40 ribu email, 350 jam voicemail, dan pesan sosmed yang gak tahu berapa banyak. Secuil kebaikan itu berujung obsesi.
Sejak insiden minuman gratis itu, Martha jadi tamu tetap Donny, di dunia nyata maupun dunia maya. Cuitan Martha yang diakhiri ‘sent from my iPhone’ , walau jelas jelas dikirim dari email, tak cuma jadi mimpi buruk buat Donny, tapi juga penonton. Dari mulai curhatan kecil sampai hal-hal sensual meneror tiap kali notifikasi muncul.
Ironisnya, sama seperti Donny yang penasaran dengan isi cuitan itu, penonton juga mau tak mau dibuat berharap agar Donny membaca cuitan Martha. Di titik ini, sialnya, giliran Donny dan penonton yang terobsesi.
Interaksi dua orang ‘sakit’ ini terlalu intens. Jadi mustahil untuk tidak menularkan virusnya ke penonton. Apalagi peran dua orang ‘sakit’ – yang gak mudah – ini berhasil dihantarkan oleh Richard Gadd dan Jessica Gunning lewat penampilan yang luar biasa tanpa celah.
Gadd seperti tanpa effort dalam memerankan alter egonya sebagai orang yang butuh pengakuan/pujian, desperate dan panikan. Sementara Gunning, dengan cara jalannya yang petantang-petenteng, histrionik dan muka tanpa dosa, berhasil jadi sinyal bahaya di tiap-tiap scene kemunculannya.
Martha, terutama, bukan peran yang mudah. Dia perempuan dengan emosi yang tidak stabil; polos, menyenangkan, penyanyang, tapi juga cepat marah, senonoh, impulsif, sampai tak segan melakukan kekerasan.
Hurt People Hurt People
Jarang ada penyelesaian sederhana untuk trauma yang dihadapi seseorang. Itulah yang menguar sepanjang 7 episode Baby Reindeer, baik bagi Donny ataupun Martha.
Seiring dengan perilaku Martha yang semakin obsesif dan Donny yang semakin self-destructive, keduanya terjebak dalam jurang kemerosotan yang mengerikan; kebencian terhadap diri sendiri, yang berakar pada trauma yang nyaris serupa. Kompleksitas moral ini tampaknya jadi jurus jitu Baby Reindeer untuk menjaga penonton tetap bertahan sampai episode akhir.
Namun, kendati bermuatan mental health, trauma, dan kekerasan, Baby Reindeer menolak untuk bersikap preachy, alih-alih Gadd justru menyelam lebih dalam ke kehidupan yang lebih kelam dan mengajukan sejumlah pertanyaan yang menakutkan untuk dijawab. Bukan lagi soal siapa yang dirugikan, tapi siapa yang paling kejam dalam situasi-situasi tertentu? Melepas sejenak atribut pelaku dan korban.
Tapi tentu, dengan posisinya sebagai protagonis – ditambah pendekatan voice over –, penonton punya empati khusus dengan Donny dan berharap banyak agar ia berhasil keluar dari teror stalker dan kembali hidup nyaman tanpa takut diusik dan ‘ditelanjangi’ Martha.
Tapi, yah, baru saja kita merayakan harapan itu, Baby Reindeer menutup ceritanya dengan tamparan yang menyenangkan sekaligus menyadarkan. Kembali lagi ke awal; mau ketawa atau enggak?