Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah Diktator, Otoriter, dan Korupsi. Hal-hal negatif dari sejarah dan pemerintahan Indonesia memang diisi oleh tiga hal tersebut. Oleh sutradara Makbul Mubarak, semua itu dia gali dan olah lewat filmnya, Autobiography.
Terlepas dari judulnya yang puitis dan akan menimbulkan banyak pertanyaan, tak disangka film seperti Autobiography menjadi “hidangan pembuka” perfilman Indonesia tahun 2023. Ini adalah (so far) salah satu film terbaik yang kami review tahun ini.
Ya, kami tahu film tersebut sudah tayang di Venice Film Festival tahun 2022, namun Autobiography baru dipublikasikan luas tahun ini. Tentunya film berkualitas seperti Autobiography bisa menjadi pertanda baik untuk perfilman Indonesia di 2023.
Autobiography diceritakan dari sudut pandang Rakib (Kevin Ardilova), pemuda pengurus rumah kosong milik Purna (Arswendy Bening Swara), pensiunan jenderal. Keluarga Rakib telah melayani leluhur Purna selama beberapa generasi. Akan tetapi, dengan ayahnya di penjara dan saudara laki-lakinya di luar negeri, Rakib adalah anggota terakhir dari keluarganya yang harus bekerja untuk Purna.
Ketika Purna kembali ke kampung halamannya untuk mengikuti pemilihan kepala daerah, Rakib, pada awalnya, sedikit kecewa. Kedamaiannya terganggu. Belum lagi, dia merasa terintimidasi dengan pembawaan sang jendral. Tetapi, ketika Purna mulai menunjukkan perhatian kepadanya, layaknya seorang ayah ke putranya, Rakib menerimanya dengan senang. Kepribadian besar Purna, kebijaksanaan serta kesopanannya, lambat laun menjadi berkesan buat si anak desa.
Sebagai ajudan Purna, Rakib mudah takjub dengan sosok bosnya yang sangat disegani oleh warga desa. Reputasi tersebut juga didapatkan oleh Rakib karena posisinya dekat dengan “penguasa”. Mental dan emosional Rakib juga berubah, menjadi lebih bersimpati terhadap sang jendral, apa lagi saat tanda-tanda pertentangan dari warga desa mulai terlihat. Namun, tidak pernah ia sangka hubungannya dengan sang jenderal akan menjadi kian rumit.
Sisa filmnya menunjukkan dinamika hubungan Rakib dan Purna, bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain, dan bagaimana mereka saling merespon hal-hal yang terjadi atau dilakukan. Secara gradual, ketegangan dan ketidaknyamanan mulai terasa, baik dari sisi Rakib ataupun penonton.
Semuanya dieskalasi lewat adegan-adegan, sound design, dan terutama sinematografi dari Wojciech Staroń. Shaky cam dan close-up shots yang ada di film ini memberikan rasa claustrophobic, gelisah.
Highlight film ini adalah Kevin Ardilova dan Arswendy Bening Swara. Arswendy Bening Swara bisa menunjukkan kewibawaan dan sifat kebapakan yang sangat hangat. Tapi semua itu bisa berubah seketika, dengan diperlihatkannya sosok jendral Purna yang angkuh dan mengintimidasi. Dan, pada akhirnya, ketika semua kualitas itu ada secara bersamaan, sosok Purna adalah potret yang sangat menunjukkan bagaimana kekuasaan absolut bisa korup secara absolut.
Sementara Kevin Ardilova mampu mengimbangi penampilannya, menunjukkan perubahan mental dan sikap Rakib yang awalnya malu dan penakut, menjadi sombong dan berani, dan akhirnya menjadi cerminan sang jendral.
Isu yang diangkat film ini terasa nyata dan relevan dengan apa yang terjadi di dunia kita, terutama Indonesia. Sosok laki-laki di posisi tinggi sangatlah disegani dan dihormati. Baik itu seorang jendral, politisi, atau bahkan ayah. Pada kenyataannya, status tersebut bisa disalahgunakan untuk berbagai macam alasan.
Penyalahgunaan kekuasaan sudah marak terjadi di Indonesia oleh para sosok pria berseragam. Tanpa menyebut nama, salah satu kasusnya sedang menjadi sorotan di media publik. Sosok ayah yang dianggap harus diikuti dan dihormati juga menjadi pengingat bahwa hubungan interpersonal dalam keluarga juga mudah dipermainkan, menimbulkan penyiksaan dan pelecehan, mempengaruhi secara fisik dan juga mental.
Autobiography telah menjadi debut feature length film yang sangat baik bagi Makbul Mubarak. Tapi, sangat disayangkan, buzz tentang film ini hanya terbatas untuk pecinta film. Selain itu, penayangan di bioskop-bioskop Indonesia sangatlah sedikit.
Itu adalah kenyataan pahit bahwa film yang sangat relevan untuk rakyat Indonesia tidak mendapatkan spotlight yang layak di bioskop dan cenderung baru mendapat second life ketika hadir di OTT. Lucunya, hal itu sama halnya dengan sosok-sosok penguasa dan orang tua abusive yang hanya dilihat oleh mereka yang peduli dengan permasalahan tersebut.