Kenangan menonton Dune: Part Two masih fresh di kepala walau hampir dua bulan berlalu. Dari melihat Paul Atreides (diperankan secara ciamik oleh Timothee Chalamet) menunggangi ‘opa’ Sandworm untuk pertama kalinya hingga dibaptis-nya ia sebagai Lisan Al-Gaib, tak ada satupun adegan yang tidak memorable.
Lagipula, siapa coba yang bisa melupakan sensasi bergetarnya studio bioskop ketika Paul memimpin serangan Fremen ke rombongan House of Corrino. Tidak heran, banyak yang membandingkan experience mneonton Dune: Part Two seperti menonton Lord of The Rings: Return of The King dulu.
Bukan saya saja yang terpukau sama film ini. Dune: Part Two juga memukau penonton di banyak negara dengan visualnya yang menakjubkan, worldbuilding yang complex, dan tema yang benar-benar dalam nan pantas untuk dikupas semua lapisannya. Hal itu terlihat jelas dari banyaknya pujian kritik terhadap Dune: Part Two dan pecahnya rekor box office (bahkan melampaui pendahulunya, Dune: Part One).
Kabar baiknya, Dune: Part Two bukan terakhir kalinya kita akan melihat Paul dan pasukan Fremennya. Warner Bros dan Legendary Film telah mengkonfirmasi film Dune: Part Three, adaptasi buku ketiga dari Hexalogi Dune, Dune: Messiah.
Bicara soal Messiah, nggak bisa kita nggak menyinggung perkembangan karakter Paul. Sebagai pusat kisah epik Dune, Paul berkembang di tengah konflik politik dan perang interstellar yang diklaim untuk keberlangsungan galaksi. Namun, Paul tidak seperti kebanyakan pahlawan di cerita sains fiksi. Paul lebih dari sekedar pahlawan. Ia adalah eksplorasi kompleks tentang ambisi, takdir, dan bahaya kepemimpinan karismatik. Jadi, jangan buru-buru menyebut Paul sebagai Messiah.
Siapakah Paul Atreides?
Mari kita refresh sedikit origin dari Paul Atreides. Ia adalah putra Duke Leto Atreides, seorang bangsawan yang dipercayakan untuk mengurus planet gurun yang keras, Arrakis. Arrakis sendiri adalah sumber tunggal spice, komoditas paling berharga di semesta Dune.
Spice tersebut, yang dikenal dengan nama Melange, merupakan campuran dari berbagai unsur yang hanya ditemukan di Arrakis. Benefitnya beragam, mulai dari memperpanjang umur, mendukung perjalanan luar angkasa, dan memberikan penglihatan masa depan. Space Guild, yang tidak ditampilkan di film Dune, mengkonsumsi Spice itu dalam dosis tinggi, hingga membuat tubuh pilot-pilot mereka bermutasi beyond recognition, karena membantu mereka menemukan rute terbaik
Namun, mencari Spice di Arrakis bukan perkara gampang. Planet itu terkenal keras dan memiliki penduduk asli, Fremen, yang battle-tested untuk hidup sekaligus berperang bersama cacing raksasa yang bekeliaran di padang pasang pasir Arrakis, Sandworm alias Shai Hulud.
Kedatangan House Atreides ke Arrakis, atas perintah Kaisar Shadam dari House of Corrino, mengganggu keseimbangan kekuatan di sana. Bangsa Harkonnen, yang dikenal kejam dan colonizer Arrakis sebelumya, tidak terima atas penunjukkan Atreides dan menyerang mereka.
Pengkhianatan, kekerasan, dan manuver politik memaksa Paul dan ibunya, Lady Jessica, anggota Bene Gesserit – sekte rahasia dengan program pembiakan untuk memanipulasi garis keturunan demi kekuasaan – mencari perlindungan kepada Fremen.
Paul, yang memiliki kemampuan unik dari pelatihan ibunya, perlahan mulai melihat penglihatan tentang perang suci, jihad, yang dilancarkan atas namanya. Fremen, yang mendambakan seorang mesias, menerima Paul sebagai pemimpin yang dinubuatkan, Lisan Al-Gaib.
Bukan Seorang White Savior, Bukan Pahlawan, Bukan Juga Penjahat
Meskipun kedatangan Paul di Arrakis dan perannya sebagai pemimpin Fremen pada akhirnya terlihat mengikuti White Savior trope yang sudah familiar, penonton dengan wawasan yang lebih luas akan mampu mengungkap narasi yang jauh lebih bernuansa.
White Savior, tema yang tersebar luas dalam dunia cerita, biasanya menempatkan pahlawan berkulit terang (kulit putih) sebagai satu-satunya harapan bagi orang-orang yang tertindas dengan warna kulit berbeda. Narasi ini sering kali bergantung pada stereotype, menggambarkan orang kulit berwarna sebagai pihak yang tidak berdaya dan membutuhkan penyelamatan oleh karakter kulit putih yang superior.
Tidak sulit menemukan White Savior trope dalam pembuatan film Hollywood. Film seperti “Avatar” dan “The Last Samurai” bisa menjadi contoh kiasan ini. Dalam “Avatar”, Jake Sully, seorang marinir lumpuh berkulit putih, dikirim ke bulan Pandora untuk bernegosiasi dengan Na’vi, penduduk asli berkulit biru, untuk mendapatkan akses ke sumber daya berharga. Melalui keajaiban teknologi, Jake menjadi satu kesatuan dengan Na’vi, memimpin mereka dalam pemberontakan melawan penjajah manusia yang eksploitatif. Film ini memperkuat stereotip penyelamat kulit putih berteknologi maju yang menyelamatkan budaya primitif dari diri mereka sendiri.
Demikian pula,”The Last Samurai” dengan presentasi karakter Kapten Algrennya. Sebagai pahlawan dan penyintas Perang Saudara Amerika, ia diperkerjakan Pemerintah Jepang untuk melatih pasukan mereka dengan skill peperangan modern. Namun, Algren menjadi kecewa dengan kebrutalan pemerintah dan membelot ke pihak samurai, kelas prajurit bangsawan yang terancam punah. Algren pada akhirnya mengorbankan dirinya dalam pertahanan terakhir melawan tentara Jepang modern, memperkuat statusnya sebagai penyelamat kulit putih.
Di Dune, Fremen sama sekali bukan komunitas tak berdaya seperti Navi di Avatar maupun Samurai di The Last Samurai. Mereka tidak menunggu penyelamatan Paul walau ramalan tentang Lisan Al Gaib kuat dalam budaya mereka, terutama di kelompok konservatif.
Mereka memiliki budaya yang kaya dan kompleks, hasil dari pembinaan selama bergenerasi tinggal di lingkungan yang keras. Mereka juga pejuang yang terampil, ahli dalam menghadapi bahaya gurun, dan telah mengembangkan cara hidup unik yang berpusat pada penghormatan terhadap ekologi Arrakis.
Paul adalah kebalikan dari Fremen. Alih-alih langsung menjadi pahlawan, Paul adalah orang luar yang harus mempelajari kebiasaan Fremen jika ingin bertahan hidup, apalagi memimpin mereka. Ini kita belum bicara motivasi Paul yang tidak bisa dengan mudah dikatakan heroik juga.
Motivasi Paul berperang bersama Fremen sesungguhnya egois dan self-centered. Dia didorong oleh keinginan balas dendam atas kematian ayahnya dan kerinduan untuk mengamankan warisan keluarganya. Visinya tentang masa depan, meskipun menawarkan jalan potensial untuk pembebasan Fremen, juga membuatnya takut dengan konsekuensi berdarah. Kepahlawanan Paul, jika bisa disebut demikian, adalah campuran kompleks antara keadaan, ambisi pribadi, dan harapan putus asa Fremen untuk masa depan yang lebih baik.
Long story short, Dune menghancurkan narasi penyelamat kulit putih dengan menghadirkan hubungan yang kompleks dan bernuansa antara Paul dan Fremen. Perjalanan Paul adalah tentang pertukaran budaya dan keuntungan bersama, bukan penyelamatan sepihak. Pembalikan kiasan yang sudah familiar ini hanyalah lapisan pertama dalam mengupas karakter Paul Atreides yang menarik.
Ia adalah karakter yang melebihi kategori sederhana macam hero, villain, apalagi White Savior. Dia memiliki kualitas yang patut dikagumi – keberanian, kecerdasan, dan rasa keadilan yang kuat. Dia sangat setia kepada keluarganya dan menunjukkan empati yang mendalam terhadap penderitaan Fremen.
Paul menyaksikan langsung penindasan brutal yang dialami Fremen di tangan Harkonnen, memicu keinginannya untuk melihat mereka bebas. Namun, perjalanan Paul penuh dengan moralitas yang ambigu. Dia mendukung kekerasan, memanipulasi kepercayaan Fremen untuk keuntungannya sendiri, dan pada akhirnya melepaskan holy war ke seluruh galaksi walau tahu konsekuensinya dan bagaimana panggilan jihad tersebut sejatinya memenuhi bayangan masa depan yang membuatnya takut, The Golden Path.
Dune menggambarkan transformasi Paul dengan penuh nuansa. Kita menyaksikan perjuangan internalnya saat dia bergulat dengan beban bayangan dan harapan yang diberikan kepadanya. Dihantui oleh konsekuensi dari tindakannya, Paul bergumul dengan beban kepemimpinan. Pilihannya, meskipun berpotensi membawa bencana, didorong oleh campuran kompleks antara keinginan untuk bertahan hidup, keinginan untuk melindungi orang yang dicintainya, balas dendam, dan empati yang tulus kepada Fremen.
Bahaya Cult of Personality
Dibanding sebagai kisah White Savior, kiisah Paul Atreides lebih pas dilihat sebagai sebuah peringatan, a cautionary tale. Kebangkitan dirinya menjadi penguasa adalahi contoh nyata dari cult of personality. Keyakinan mesianis Fremen membuat mereka buta terhadap kekurangan Paul, memberinya kekuatan luar biasa dan membebaskannya dari tanggung jawab atas tindakannya. Paul sendiri terjebak dalam jaring mitosnya sendiri, tidak bisa mengendalikan kekuatan destruktif yang telah dia ciptakan.
Tema ini adalah cerminan dunia kita di zaman sekarang. Kita melihat pemimpin karismatik yang memanfaatkan kecemasan masyarakat dan memanipulasi narasi untuk mendapatkan kendali. Para pemimpin ditempatkan di atas tumpuan, kekurangan mereka diabaikan atau dimaafkan oleh pengikut setia mereka. Dune berfungsi sebagai pengingat yang gamblang bahwa kepercayaan buta pada tokoh karismatik, terlepas dari niat awal mereka, dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan.Sepert pepatah lama, Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely.
Contoh internasional yang terlihat adalah cult of personality dari mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Cult of personality biasanya ditandai oleh patriotisme, demonstrasi massa, idealisasi, dan distorsi terhadap kebenaran. Dalam kasus Donald Trump, visi dia perihal Make America Great Again menjadi fondasi atas cult of personality-nya.
Cult of personality Trump berkembang terus-menerus sehingga dia telah menjadi ideologi itu sendiri. Trumpisme. Trumpisme mencakup berbagai ideologi sayap kanan, termasuk konservatisme nasional dan neo-fasisme, dan lahir dari retorikanya soal Make America Great Again.
Bagaimana Trump dengan mudahnya menggerakkan masa dalam jumlah besar untuk menyerbu Gedung Capitol, diawali dengan narasi palsunya perihal kecurangan pemilu Amerika, adalah contoh nyata bahaya Cult of Personality. Ya, kurang lebih mirip dengan Paul yang dengan entengnya memulai perang galksi, jihad yang memakan banyak nyawa, karena ambisi pribadi.
Pemujaan terhadap orang-orang di jabatan politik bukanlah eksklusif untuk AS. Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga terkenal dengan pengikut kultusnya. Beberapa orang percaya bahwa dia “diangkat secara ilahi” untuk menangani peningkatan kejahatan di negara itu.
Presiden Indonesia Joko Widodo, yang memasuki dunia politik sebagai “orang luar,” dengan cepat mendapat pengikut yang percaya bahwa pria dari Surakarta tidak mungkin melakukan kejahatan. Dan sekarang, Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang memiliki public image yang “gemoy”, walaupun masa lalunya bermasalah.
Tidak salah untuk mengagumi tokoh politik, begitu pula mempercayai mereka. Lambang harapan itu penting — mereka adalah tulang punggung sistem demokrasi kita. Tetapi, ketika kita melihat politisi kita sebagai tokoh seperti Tuhan, kemungkinan besar kita tidak akan mengkritik atau mempertanyakan kebijakan mereka. Kemungkinan besar kita tidak akan menuntut pertanggungjawaban dari mereka.
Kembali ke Paul, begitu ia menegaskan dirinya sendiri, dan diakui sebagai Lisan Al Gaib, dia langsung menyatakan perang suci yang akan mengorbankan jutaan orang. Dan, dengan mudah, kultusnya mengiyakan perintahnya tersebut tanpa satupun pertanyaan perihal konsekuensinya.
Jadi Paul Atreides Itu Apa? Dia Pahlawan yang Berbeda
Berbeda dengan pahlawan fiksi ilmiah pada umumnya yang meraih kemenangan melalui pertarungan kebaikan versus kejahatan yang jelas, kisah Paul Atreides penuh dengan ambiguitas moral dan konsekuensi tak terduga. Mari kita bandingkan Paul dengan beberapa pahlawan terkenal lainnya setelah komparasi dengan Algren dan Jake Sully. Let’s start with Luke Skywalker.
Perjalanan Luke dalam Star Wars adalah kisah heroik klasik. Ia adalah sosok kebaikan yang jelas melawan Kekaisaran jahat. Perjalanan Luke berfokus pada penguasaan the Force dan pada akhirnya mengalahkan Darth Vader. Sebaliknya, Paul berada di dunia abu-abu moral dimana batas antara baik dan jahat kabur. Meskipun dia bertarung melawan Harkonnen yang kejam, tindakannya sendiri memiliki konsekuensi luas yang menimbulkan pertanyaan tentang kepahlawanannya.
Oke, sekarang kita coba bandingkan Paul dengan Harry Potter. Harry adalah penyihir muda yang ditakdirkan untuk mengalahkan Lord Voldemort yang jahat. Sementara Paul memiliki peran yang telah ditentukan, dia secara aktif berkontribusi pada masa depan yang dia takuti.
Harry tetap relatif polos sepanjang perjalanannya, mengandalkan persahabatan dan keberanian untuk mengatasi tantangan. Sebaliknya, Paul bergulat dengan beban visi dan beratnya pilihan yang dia buat, menjadikannya pahlawan yang jauh lebih kompleks dan ambigu secara moral. Dan, jangan lupa, Paul memanipulasi ramalan tentang dirinya untuk menggerakkan perang galaksi, sesuatu yang tidak dilakukan Harry.
Jika ingin mencari komparasi yang mirip, Eren Yaeger dalam Attack on Titan lebih mirip dengan Paul dibanding pahlawan-pahlawan barat yang disebut di atas. Komparasinya bisa melihat konten instagramm kami di bawah ini.
Conclusion
So, to end this character study, perjalanan Paul Atreides dalam kisah Dune adalah sebuah character exploration menawan yang melampaui narasi pahlawan pada umumnya. Dia bukanlah White Savior tanpa cacat yang datang untuk menyelamatkan orang-orang yang tak berdaya. Dia juga bukan pahlawan yang jelas-jelas bertarung melawan kejahatan.
Paul adalah individu kompleks yang terjebak dalam keadaan luar biasa, bergulat dengan ambisi, bayangan masa depan yang berdarah, dan harapan putus asa dari orang-orang yang tertindas. Pilihannya, yang didorong oleh keinginan untuk keadilan, balas dendam, dan pertahanan diri, memiliki konsekuensi jangka panjang.
Dune, melalui kisah Paul, berfungsi sebagai peringatan tentang bahaya dari kekuasaan yang tak terkendali dan Cult of Personality. Kisah ini memaksa kita untuk mempertanyakan hubungan kita dengan pemimpin karismatik dan narasi yang mereka ciptakan.
Dune tidak menawarkan jawaban mudah, tetapi justru mengajak kita untuk mengkaji secara kritis kompleksitas kepahlawanan, kepemimpinan, dan pencarian abadi manusia untuk masa depan yang lebih baik. Saat Paul sendiri merenung di padang gurun, harga sebenarnya dari ambisi yang dia miliki terasa berat, meninggalkan pertanyaan mendalam bagi penonton: bisakah seorang pahlawan benar-benar bangkit di atas kekerasan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan mereka?
Mungkin jawabannya, seperti gurun Arrakis yang luas, selamanya tetap sulit dipahami.