Tiga tahun setelah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, sutradara Edwin akhirnya kembali dengan karya terbarunya yang tak kalah provoking, Kabut Berduri. Memiliki judul internasional Borderless Fog, Edwin mengangkat genre crime thriller ala Silence of The Lambs, Prisoners, Insomnia, dan Zodiac yang relatif jarang digarap di Indonesia. Walhasil, secara presentasi, ini film Edwin yang lebih slow burn dan dark jika dibandingkan dengan film-film ia sebelumnya.
Mengambil latar masyarakat Dayak, Kabut Berduri mengikuti penyelidikan yang dilakukan seorang detektif polisi bernama Sanja (Putri Marino). Ditemani oleh Panca (Lukman Sardi) dan Thomas (Yoga Pratama), Ia ditugaskan untuk menangani kasus pembunuhan yang cukup rumit di perbatasan Kalimantan di mana ditemukan mayat dengan kondisi kepala terpenggal. Mengerikannya, jenazah yang ditemukan tersebut terdiri atas potongan kepala dan tubuh dua orang yang berbeda.
Dalam proses penyelidikannya, Sanja mencoba mengumpulkan keterangan dan alibi dari warga sekitar untuk membentuk hipotesis perihal bagaimana pembunuhan itu terjadi, kapan, di mana, oleh siapa, dan apa motifnya. Proses investigasi tersebut mengantarkan ia, salah satunya, pada Pak Bujang, warga pendatang yang telah lama tinggal di wilayah perbatasan Kalimantan. Sebagai yang biasa bertugas patroli menjaga keamanan lingkungan, Sanja menyakini Bujang adalah sosok penting, person of interest, dalam kasus yang ia selidiki.
Dugaan tidak berhenti pada sosok Pak Bujang. Sanja juga menjadikan seorang putra daerah, Silas, sebagai person of interest. Berangkat dari kedua sosok itu, sedikit demi sedikit Sanja mulai menyusun kepingan informasi yang ia dapat untuk mengungkap dalang dan motif pembunuhan yang terjadi. Namun, seiring berjalannya waktu, kasus pun semakin rumit, melebar ke kasus lain, membuat Sanja harus menghadapi hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya sebagai detektif.
Edwin berhasil mengolah kisah yang cukup rumit ini dengan apik, baik dalam penceritaan maupun bahasa visualnya. Berbeda dengaqn Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Edwin mengambil pendekatan visual yang lebih stylistic. Permainan lighting, shot, dan kabut ia gunakan untuk membangun suasana yang intens dan thrillering. Sedikit banyak mengingatkan dengan Insomnia, Decision to Leave, bahkan Exhuma yang horror itu.
Presentasi ceritanya bisa dikatakan solid yang tak lepas dari penampilan para castnya yang apik dan berhasil mendeliver dialog mereka. Dari awal memang jajaran cast yang disusun Edwin sangat menjanjikan. Begitu mereka dibekali dengan naskah yang compelling dari Edwin dan Ifan Ismail, jajaran cast Kabut Berduri tampil bersinar dan padu sebagai satu kesatuan.
Bicara soal naskah, harus diakui bahwa di situlah kekuatan Kabut Berduri. Berbeda dengan kebanyakan film lokal bergenre crime thriller, film ini berhasil menyoroti permasalah sosial-politik yang terdjadi di Indonesia secara lebih membumi.
Banyak fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dikemas sedemikian rupa untuk dapat membangun misteri yang ada mulai dari polisi yang korup, budaya daerah yang mengikat masyarakat Indonesia, masalah perbatasan, hingga kepercayaan akan hal-hal supranatural pun diangkat dalam film ini . Sayangnya, ada beberapa isu yang sekadar lewat dan tak begitu mendalam dibahas. Padahal cukup potensial untuk diangkat dan menjadi bagian penting di dalam film.
Penggunaan latar yang unik and otentik membantu direksi cerita yang diambil Edwin. Latar tempat di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan memberikan sentuhan natural pada budaya Dayak yang ditampilkan dan membuka mata penonton tentang kondisi perbatasan tanpa harus mengangkat kisah konflik antara dua negara. FYI, syuting Kabut Berduri sendiri dilakukan di lokasi perbatasan Indonesia-Malaysia sungguhan, sekitar Sungai Utik, sehingga apa yang ada di layar mirip dengan situasi aslinya
Dari segi pace, seperti kebanyakan film misteri pembunuhan Kabut Berduri memiliki gaya penceritaan yang slow burn. Untuk beberapa orang dengan kesebaran setipis kertas, tentu film ini akan sulit diikuti Bahkan, memasuki second act, film tidak menambah kecepatannya yang berpotensi membuat jengah. It takes a while untuk filmnya benar-benar firing all cylinders dalam pengungkapan misteri-misteri di perbatasan Kalimantan. Untuk mereka yang sudah terbiasa dengan tipe film-film seperti ini, tentunya ini bukan masalah yang berarti.
Tantangan menonton Kabut Berduri tak berhenti di situ. Selain pace yang lamban, mengingat dan memproses seluruh informasi yang dipaparkan di film ini juga butuh extra effort. Sejak film dimulai, penonton langsung disuguhi rentetan informasi yang kompleks dan berat. Rasanya seperti terjangan gelombang yang menghantam tanpa henti. Keterangan sejarah dan konteks sosial politik di menit-menit awal film pun cukup bikin kewalahan.
Memahami segala informasi yang dipaparkan akan mempermudah proses mengikuti jalan cerita Kabut Berduri. Namun, jika tidak, maka experience menonton film ini akan seperti memasuki labirin tanpa peta. Alur cerita film ini penuh dengan cabang yang tak terduga dan menuntut konsentrasi tinggi penonton jika tidak mau kehilangan arah. Penonton harus fokus penuh agar dapat menangkap berbagai elemen cerita yang saling terkait dan bercampur.
Gawatnya, sudah pace-nya lamban dengan kepingin informasi yang bejibun banyaknya, Kabut Berduri tak memberikan jawaban yang pasti terhadap misteri di dalam filmnya. Walaupun misteri pembunuhan terpecahkan, apa yang akan ditunjukan di ending film ini akan menimbulkan tanda tanya besar perihal siapa dalang sebenarnya.
Rasanya memang seperti dipermainkan di mana tidak ada satu jawaban yang sepenuhnya definitif atas pembunuhan di perbatasan Kalimantan. Namun, sepertinya, memang itulah konsep dari film ini. Edwin seperti menantang penonton untuk ikut menjadi detektif bersama Sanja, mencoba menginterpretasikan sendiri apa yang terjadi, dan (hopefully) terus mendiskusikannya di kemudian hari.
In the end, apakah misteri di film ini adalah ulah dari masyarakat yang ada di tempat tersebut, ataukah karena polisi yang ‘korup’ dan ‘luar biasa tidak kompeten untuk bisa menyelesaikan kasus, atau karena ulah ‘makhluk lain’ yang diam di antara mereka? Tontonlah dan temukan jawabannya. Kabut Berduri dapat disaksikan melalui Netflix.
GIANDRI EVAN, MARTINAXCEL