Entah ada agenda apa, belakangan ini Jepang cukup getol menyuguhkan tontonan bertema sumo. Setelah Sumo Do, Sumo Don’t (2022), reboot dari film Masayuki Suo tahun 1992 yang tayang di Disney+ Hotstar, sekarang giliran Netflix yang ikut berpartisipasi lewat series berjudul Sanctuary. Apakah Jepang mulai risau karena olahraga ini mulai ditinggalkan penduduknya sendiri dan malah didominasi atlet asing? Atau karena cabor ini memberi peluang besar untuk menghadirkan cerita fresh di ranah drama olahraga?
Faktanya, Sanctuary memang menghadirkan drama/olahraga yang segar, dan bahkan mampu memantik rasa penasaran saya terhadap seluk-beluk sumo. Ternyata, kehidupan para pesumo (rikishi) itu kompleks, patriarkis, penuh gimik, politik, intrik, sampai senioritas.
Disutradarai oleh Kan Eguchi dan ditulis oleh Tomoki Kanazawa, Sanctuary mengisahkan perjalanan seorang pesumo amatir, Kiyoshi Oze alias Enno (Wataru Ichinose), yang sombong, tengil, dan kurang ajar meskipun kemampuan sumonya jauh di bawah rata-rata.
Oze bergabung di dohyo yang sedang berada di ambang kebangkrutan untuk mengobati ayahnya yang sakit. Selain itu, demi mengejar gelar Yokozuna (peringkat teratas dalam olahraga sumo).
Oze adalah orang yang tak punya sopan santun, bahkan ia tak pikir panjang apabila harus adu jotos dengan ibunya sendiri kalau memang diperlukan. Ia adalah orang yang menganggap shiko (kuda-kuda sumo) – yang dianggap sebagai esensi sumo oleh masyarakat – hanyalah omong kosong belaka.
Di dohyo tempat ia berlatih, Oze punya teman dekat, Shimizu (Shota Sometani), cowok kurus yang mengaggumi Oze meskipun Oze justru risih dan sering berlaku kasar kepadanya. Di sini, Oze bergaul dengan musuh (lengkap dengan wajah yang hateable), kawan, dan mentor.
Bangunan dohyo yang sesak dengan pria tambun telanjang, suatu hari kedatangan wartawan cantik, Asuka Kunishima (Shiori Kutsuna), mantan jurnalis politik yang ditugaskan untuk meliput olahraga sumo. Kunishima besar di Amerika dan menyimpan seribu pertanyaan atas budaya sumo.
Saya akui Sanctuary punya intro yang so good dan mengindikasikan penonton akan menyaksikan sesuatu yang gila. Tapi, apakah series delapan episode ini memang se-so good dan segila itu?
Dunia Sumo yang Brutal
Sumo adalah pertandingan dengan durasi singkat di mana para pegulatnya mesti saling dorong. Pegulat yang keluar arena dinyatakan kalah. Setidaknya itu yang tampak di turnamen. Di series ini, Eguchi mengajak penontonnya untuk memahami kalau sumo tidak se-simple itu.
Dalam Sanctuary pegulat sumo adalah tipe orang yang boker, memuji tainya sendiri, lalu menyuruh orang lain untuk menyiramnya. Untuk menggambarkan itu semua secara efisien, Sanctuary menetapkan karakter utamanya dengan perangai yang beringas.
Tapi, mau seberingas apa pun, Oze bukanlah satu-satunya jagoan di dohyo. Bisa dibilang, tak ada satu pun orang di dohyo yang takut dengan intimidasinya – bahkan yang paling culun sekalipun. Cacian dibalas cacian, hinaan dibalas hinaan, peloncoan berujung perkelahian sengit. Intinya, premanisme tidak berguna di dohyo.
Ichinose memerankan Oze dengan total. Ia punya struktur wajah yang multifungsi. Dengan wajah besarnya, Ichinose bisa dengan mudah meluapkan sejumlah emosi (marah, bengis, sedih, lelah, friendly, lembut, sampai cabul). Sisi buruknya, di usianya yang sudah 37 tahun, Ichinose tampak kurang cocok untuk berperan sebagai remaja-dewasa labil dan pemberontak.
Di samping adegan konfrontasi yang brutal, series eksibisi bokong pria gempal ini juga melempar sejumlah lelucon yang ekstrem. Komedi yang kelewat nalar dengan pola pematahan ekspektasi yang keterlaluan mampu menghasilkan gelak tawa.
Dunia Sumo yang Problematik
Lewat Sanctuary, Eguchi tak sungkan-sungkan mengkritik dunia sumo. Kegelisahan sang sutradara terhadap olahraga ini – barangkali – tercemin lewat karakter Kunishima. Dari mulut jurnalis perempuan ini, Eguchi mencurahkan skeptismenya atas dunia sumo.
Eguchi bukan cuma mempertontonkan, tapi juga mendialogkan kalau “dunia sumo punya banyak masalah”. Dua dari masalah tersebut cukup sering dijejalkan ke penonton, yakni; (1) kenapa dunia sumo permisif terhadap senioritas? dan; (2) kenapa perempuan dalam sumo jadi sesuatu yang tabu dan para pegulatnya jarang mendapat sorotan?
Kunishima berpendapat kalau menghalangi partisipasi perempuan dalam dunia sumo adalah suatu keabsurdan. Problem pesumo juga timbul dalam hal mengejar kedisiplinan yang menutup mata atas tindakan perundungan. Terlebih, tidak ada penalti atau teguran dari pelaku perundungan.
Entah sebagai bentuk cintanya atau malah sebagai bentuk perlawanan terhadap olahraga sumo, lewat dua pertanyaan itu, Eguchi seakan ingin seluruh dunia tahu sisi gelap dunia sumo.
Tapi, sebagaimana kunishima, series ini lambat laun tidak lagi mempersoalkan kejanggalan budaya sumo. Hanya ‘orang luar’ yang tebersit dengan masalah-masalah tersebut, dan kegamangan itu bersifat temporer. Kalau sudah terlalu lama menaruh perhatian di industri sumo, kamu akan jatuh cinta.
Selain sisi gelapnya, Eguchi mengajak – atau lebih tepatnya memaksa – penontonnya untuk mempelajari sumo lebih dalam dengan menyodorkan setumpuk istilah asing persumoan yang sukar dimengerti kalau tidak buka Google, seperti sekitori, komusubi, sekiwake, shiko, ozeki, keiko, shikona, Yobidashi, dan masih banyak lagi. Segi ini agak melalahkan buat sebagian penonton. Sebab, tak sedikit penonton adalah tipe saya-ke sini-cari-hiburan bukan malah nambah beban pikiran.
Beruntungnya, si sutradara minta penontonnya aktif dan mandiri untuk mengetahui budaya sumo Jepang lewat cerita yang memikat dan berhasil buat saya gak bodoamat sama istilah-istilah asing yang disodorkan.
Kritik Patriarki Tapi Hentai
Ketika Kunishima meloncat ke dalam dohyo atau ring sumo, ia seketika dibentak oleh salah seorang pegulat. Katanya, perempuan dilarang masuk dohyo. Ini salah satu wawasan dalam tradisi sumo yang disuguhkan Sanctuary. Dan, dalam Sanctuary hal ini turut jadi konflik meski tidak pelik.
Eguchi tepat menempatkan keresahan patriarkis tersebut lewat perspektif perempuan Jepang yang tumbuh besar di Amerika. Sehingga secara naluriah penonton merasa wajar, sebab barangkali ia sudah ‘tercemar’ budaya barat yang akrab dengan kebebasan.
Kendati demikian, di satu sisi, Sanctuary justru mengkhianati argumennya sendiri demi kemulusan plot cerita. Lewat mata pesumo yang haus sentuhan wanita, Eguchi pun mengadopsi male gaze (Laura Mulvey). Mayoritas karakter perempuan di series ini hanya diposisikan sebagai objek visual semata – meski tidak mendiskreditkan karena ada perwakilan perjuangan perempuan lewat karakter Kunishima.
Untuk menghadirkan imbas dari kehidupan dohyo yang mayoritasnya pria, tentu kehadiran wanita dalam kehidupan sang karakter jadi sesuatu yang sensasional dan apa pun kemauannya pasti dituruti (demi terpenuhinya seks).
Oze lemah terhadap wanita (seksi; terutama) dan jarang menatap mata ketika berbicara (cenderung jelalatan). Walhasil, angle kamera yang menjadi sudut pandang Oze saat berbicara dengan pacarnya, Nanami (Rio Teramoto), cukup banyak menyorot payudara. Pemilihan Rio Teramoto yang notabene seorang gravure idol berusia 21 tahun, pun, mencetus pertanyaan baru. Eguchi paham betul segmentasi penonton seriesnya bakal didominasi oleh laki-laki.
Pesumo tidak terpuaskan secara seksual. Rasanya tak satu pun dari pesumo di Sanctuary berpengalaman dengan perempuan. Jadi, selain jorok series ini juga horny; kamera sering menyorot payudara dan bagian tubuh perempuan lainnya, yang, bisa dilihat tapi tidak bisa disentuh.
Selain Kunishima yang tanpa cela sebagai perempuan pejuang dan mandiri, Eguchi menampilkan sejumlah karakter perempuan yang menonjolkan stigma, seperti hobi porotin laki-laki, murahan dan umbar keseksian, serta lihai memanfaatkan posisi suaminya.
Padahal kalau dilihat-lihat, kisah cinta Oze dan pacarnya ini amat sangat alay, hambar, dan klise khas sinetron kita, yang bahkan tidak memengaruhi garis besar cerita. Romansanya diakhiri dengan situasi menggantung plus kontras yang terlalu ekstrem jika disandingkan dengan realitas sumo.
Pria = Kompetisi
Dalam Sanctuary, Eguchi menggambarkan pria sebagai gender yang gemar berkompetisi. Apa pun jenis kompetisinya, tak terkecuali hal remeh – pujian ketika berkaroke, misalnya. Sebagian besar pria dalam series ini berkompetisi untuk menyandang gelar Yokozuna atau menjuarai turnamen. Tak peduli bagaimana caranya, saling sikut atau dengan kedisiplinan, yang penting tujuan tercapai.
Seolah kurang kompleks, dalam dunia pria yang maskulin dan penuh kompetisi ini, Eguchi masih sempat-sempatnya menyelipkan pesan LGBT, yang terasa mentah dan kehadirannya seolah hanya untuk mengisi kekosongan durasi.
Namun di balik kompleksitas maskulinitas, pria hanyalah manusia biasa yang punya hati. Ada kelembutan di balik pria tangguh bak monster sekalipun yang tergambar lewat Oze. Meski gengsi, Oze cinta dan peduli dengan ayahnya yang menjadi motif penguat Oze dalam bersumo.
Sanctuary menggambarkan kontras yang begitu kentara antara Oze dan ayahnya. Dalam sumo, Oze mesti memiliki kaki yang kuat dan fisik yang bugar, tapi di satu sisi, ayah Oze malah punya kaki yang timpang. Ayah Oze ibarat representasi kalau kekuatan itu tak hanya dilihat dari seberapa banyak orang yang sudah kamu kalahkan, tapi juga seberapa besar perjuanganmu untuk orang yang kamu cintai.
Cinta sebagai kekuatan ini disorot lewat detail-detail kecil yang begitu jeli diperhatikan oleh Eguchi. Mulai dari tanaman yang sering dirawat ayah Oze sampai kuku tangannya yang kotor dimanfaatkan sebagai objek komunikasi yang bermakna.
Kebablasan Subplot
Sanctuary berhasil menyuguhkan latihan dan turnamen sumo menjadi sesuatu yang enggaging. Sejumlah ritual di dunia persumoan juga menyenangkan untuk ditonton. Pertandingan sumonya pun mengesankan, terasa antara pertarungan brutal dan tontonan artistik.
Tapi, Sanctuary agak kebablasan dalam menyajikan subplot. Ada cukup banyak subplot yang terlalu jauh meninggalkan karakter utama. Cukup banyak karakter pendukung yang dapat porsi lebih padahal peran yang dimainkan tidak begitu signifikan untuk menyokong perjalanan Oze dalam menggapai tujuan. Sejumlah subplot juga kadang ditelantarkan begitu saja tanpa arah yang jelas.
Walhasil, durasi pun makin terpotong. Dan, keluwesan untuk menyuguhkan perkembangan karakter utama jadi terbatas. Kalau sudah begini, montase dan flashback mau tak mau jadi jalan pintas, yang sayangnya dalam Sanctuary kurang begitu optimal. Lewat trik ini, Eguchi jadi malah terkesan malas repot.
Di samping itu, sejumlah editing juga cukup menjengkelkan untuk disaksikan, seperti cut-to-cut yang bikin saya merespons ‘hah, gimana-gimana?’ dan slow motion tak mulus yang terkesan seperti footage mentah yang ditarik apa adanya tanpa memerhatikan FPS.
Tapi, dari semua keluhan itu, Sanctuary tetaplah tontonan yang seru dan penting, Mengakhiri review ini, kalau ingin menambah wawasan persumoan dengan materi yang tidak kaku dan senantiasa merangkul penonton amatir dengan segala pertanyaannya, tontonlah Sanctuary di Netflix