The Flash melanjutkan tren film-film multiverse yang ramai dieksplor beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, ada Marvel’s Spider-Man: No Way Home, Dr. Strange in the Multiverse of Madness, hingga A24’s Everything Everywhere All at Once yang memborong tujuh piala Oscar 2023.
Sony, baru-baru ini, juga merilis mahakarya animasi yang membawa isu multiverse, Spider-man: Across The Spider-verse yang bakal dilanjut dengan Spider-man: Beyond The Spider-verse tahun depan. Nah, bagaimana The Flash apabila dibandingkan film-film di atas? Well, film ini melebihi salah satu (potentially dua) di antaranya.
Disutradarai oleh Andy Muschietti (IT), The Flash adalah film solo pertama untuk superhero Flash aka Barry Allen yang diperankan oleh aktor “bermasalah” Ezra Miller.
Sebelumnya, karakter Barry Allen sudah lebih dulu muncul sebagai cameo di Batman v Superman: Dawn of Justice, Suicide Squad, dan baru kemudian mendapat peran yang lebih major di dua iterasi film Justice League. Dengan kata lain, film ini bukan pure film origin, tapi pengembangan lebih lanjut dari kisah yang dibangun di film-film sebelumnya.
Digadang-gadang akan menjadi film yang menjembatani transisi DC ke semesta sinematik baru, dari DC Extended Universe pimpinan Zack Snyder ke DC Universe pimpinan James Gunn, film ini mengadaptasi arc Flashpoint dari graphic novelnya.
Dalam kisah Flashpoint, Flash dikisahkan mencoba menulis ulang realita-nya dengan berlari ke masa lalu dan mencoba mencegah tragedi yang menimpanya. Tidak ia sadari, aksinya menyebabkan rentetan peristiwa, Butterfly Effect, yang mengubah, bahkan menghapus, eksistensi sejumlah superhero.
Versi film tidak mentah-mentah mengadaptasi kisah Flashpoint. Kisahnya tetap dibuka dengan Barry Allen memutuskan kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Bruce Wayne aka Batman (Ben Affleck) sudah memperingatkannya bahwa pergi ke masa lalu tak selalu berujung mengubah semuanya, bisa jadi menghancurkan semuanya, namun Barry tetap mantap dengan keputusannya.
Konflik dalam Speed Force membuat perjalanan Barry Allen ke masa lalu berjalan sesuai rencana. Ia tidak sengaja berakhir di alternate timeline. Gawatnya, Zod (Michael Shannon) exist di alternate timeline ini, membuat Barry harus mencari cara untuk menghentikannya. Batman dan Superman menjadi orang yang bisa ia harapkan, namun apa yang ia dapati adalah Batman dalam wujud kakek-kakek yang recluse (Michael Keaton). Superman juga tidak ada, digantikan oleh Kara aka Supergirl (Sasha Cale). What happens next is a multiversal chaos.
Melihat segala drama di balik produksi The Flash yang bisa ditarik mundur hingga tahun 2014, adalah sebuah keajaiban film ini akhirnya bisa tayang. We can assure you, The Flash is a blast (with one major problem). Tidak berlebihan menyebut film ini merupakan salah satu film terbaik DCEU sebelum menyebrang ke DCU.
Salah satu hal yang membuat The Flash begitu spesial adalah betapa menyenangkannya film ini. The Flash adalah jenis film di mana penonton merasakan kegembiraan sepanjang filmnya, a joyful ride. Salah satunya datang dari departemen karakter-karakternya dengan sang tokoh utama, Barry Allen, yang paling menonjol.
Barry Allen di film ini adalah perwujudan mood booster di tengah aksi para karakter hero yang epik. Ezra Miller menunjukkan bahwa dia adalah aktor yang brilian dengan memberikan performa terbaiknya dalam memainkan dua versi Barry Allen. Ia berhasil menghibur penonton sekaligus membuat penonton meneteskan air mata melalui aktingnya.
Para karakter pendukung tak kalah keren. Michael Keaton memberikan comeback yang hebat dengan kembali memerankan Batman. Kembali ke peran ikoniknya setelah kurang lebih 30 tahun, he hasn’t lost his edge.
Penonton film Batman garapan Tim Burton pastinya akan senang melihat aksinya yang surprisingly jauh berbeda dari dua film BatKeaton sebelumnya. Meskipun Bruce Wayne di film ini sudah berumur, Keaton berhasil menampilkan sosok Batman veteran yang lebih ahli, wise, fleksibel, dan high tech. Chemistry Keaton dengan Ezra Miller pun cukup solid sepanjang film.
Bagaimana dengan Supergirl versi Sasha Calle? Ia juga merupakan tambahan yang bagus pada film ini. Debut sebagai Supergirl, Sasha Calle menunjukkan performa yang luar biasa meskipun kurang dimanfaatkan.
Berbeda dengan Supergirl versi CW, sosok Supergirl di The Flash terkesan lebih ‘dark‘ , pendiam, dan ganas karena dirinya yang lama ditahan oleh militer Rusia dan bayi sepupunya, Kal-El (Superman), tidak selamat sampai bumi. Keberadannya tepat untuk menyeimbangkan tone pada film ini, mengingat sudah ada Barry Allen yang banyak bicara dan memiliki karakter yang fun.
Perlu digarisbawahi, karakter-karakter di atas memiliki adegan action yang tidak kalah fun juga. Andy Muschietti bisa dibilang cukup pintar dalam memaksimalkan kemampuan Barry Allen, yang sering kali terlihat “murah” pada series The Flash versi CW.
Salah satu momen yang paling keren adalah setiap adegan slow motion dari aksi ‘Flash’. Adegan itu berhasil membuat kagum penulis. Serupa dengan adegan ‘Flash’ pada film Zack Snyder’s Justice League. Terlebih, aksi dari kedua Batman, Supergirl, dan Jenderal Zod juga memuaskan di mana koreografi setiap perkelahiannya patut dipuji.
Karakter-karakter yang fun tentu tidak ada artinya jika tidak didukung plot yang compelling juga. Arc Flashpoint diadaptasi dengan apik. Beberapa perubahan dari comic counterpartnya menghadirkan kisah yang dramatis dan emosional. Walaupun flashpoint adalah cerita yang rumit, namun konsep time paradox di sini cukup mudah dipahami juga.
Nah, untuk yang familiar dengan arc Flashpoint, perjalanan timetravel memungkinkan berbagai macam varian tampil dan hal itu dimanfaatkan betul oleh film ini. The Flash dilengkapi dengan fan service yang gila. Berbagai karakter ikonik selain Batkeaton muncul kembali, membuat penonton bahagia bernostalgia.
Para penggemar DC, khususnya penggemar lama, pastinya akan sangat amat puas dengan kehadiran karakter-karakter ikonik tersebut. Beberapa di antaranya tidak terduga. Banyak penonton bertepuk tangan dan berteriak saat press screening The Flash. Menurut penulis, momen ini memang diperuntukkan untuk para penggemar dan mereka pastinya layak untuk mendapatkannya setelah sering kali merasa frustasi dengan keputusan kontroversial petinggi DC Studios yang lama.
Nah, dari sekian banyak kelebihan di atas, The Flash bermasalah dalam aspek visual. Di satu sisi, Andy Muschietti berhasil menghadirkan cinematographu yang cukup baik dengan memanfaatkan warna dan pencahayaan vibrant. Beberapa shot cukup indah dan terlihat menakjubkan. Bagaimana ‘Flash’ ditampilkan di layar lebar kerap memberikan perasaan heroism, speed, dan science pada saat yang bersamaan.
Sayangnya, di sisi lain, CGI-nya bermasalah. CGI film ini terlihat masih kasar sehingga gagal dalam menghasilkan visual yang realistis. Adegan pada speed force pun juga terlalu banyak menggunakan CGI, sehingga penonton mungkin tidak sepenuhnya puas atas apa yang ditampilkan pada momen tersebut.
Secara keseluruhan, walaupun CGI pada film ini kurang optimal, The Flash tetap merupakan film yang wajib untuk ditonton, terutama dengan adanya momen nostalgia yang diberikan. Film ini berdurasi 2 jam 30 menit tetapi berasa cukup singkat karena ini adalah film yang bagus dan sangat menyenangkan. Patut ditegaskan lagi, bagi penulis, The Flash adalah salah satu film DCEU terbaik. Perfect untuk mengakhiri DCEU sebelum beralih ke projek DCU.