Film yang dialognya memakai bahasa daerah tentunya akan memiliki keunikan tersendiri karena mengangkat budaya yang beragam di Indonesia. Salah satu contohnya ya film yang digarap oleh Paul Agusta berjudul ‘Onde Mande’ di mana mengangkat kisah kehidupan rakyat Minangkabau dengan budaya yang kental.
Kisah Onde Mande berangkat dari kisah seorang pensiunan guru bernama Angku Wan (Musra Dahrizal), sesepuh desa Sigiran di tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Angku Wan dikenal sebagai sosok yang visioner dan memimpikan kemajuan bagi desanya yang cukup tertinggal. Sosoknya pun cukup dihormati karena ide-ide briliannya.
Meski begitu, Angku Wan juga kesulitan untuk bercengkerama dengan para warga desa, kecuali di lapau milik pasangan suami istri Da Am (Jose Rizal Manua) dan Ni Ta (Jajang C. Noer). Suatu hari, ketika tengah meneguk teh telur favorit di lapau Da Am, Angku Wan bercerita dirinya tengah mengikuti sebuah sayembara dari perusahaan sabun.
Angku Wan pun meminta Ni Ta untuk menyalakan televisi dan menyaksikan pengumuman langsung pemenang. Tanpa disangka, Angku Wan memenangkan sayembara berhadiah 2 milyar. Ia menyatakan bahwa uang tersebut akan ia gunakan untuk pembangunan dan kemajuan desa.
Keesokan harinya, saat menjemput Angku Wan di rumahnya, Da Am justru menemukan Angku Wan telah wafat. Padahal, mereka berdua berencana pergi ke kota Padang untuk mengurus hadiah tersebut. Pertanyaannya sekarang, itu hadiah untuk siapa jadinya?
Budaya daerah yang ditonjolkan sangat relate dengan kehidupan masyarakat di tepi sungai Maninjau. Dialog yang full menggunkan bahasa Minang merupakan poin plus. Kisah tentang kedekatan hubungan antar masyarakat sangat amat kuat dalam film ini. Seperti warga desa pada umumnya yang gotong royong membantu yang lain.
Hal itu tentu tidak lepas dari performa jajaran castnya, character development, story, serta visualisasi tanah Minang yang dihadirkamn. Akting para pemain sangat apik didukung pengembangan karakter yang tidak kalah baik, membuat karakter-karakter yang ada terasa hidup.
Secara visual, tone warna dari film ini pun terasa cerah, membuat Danau Maninjau dan Kampung Sigiran enak dipandang dalam film ini. Tampak asri dan natural seperti desa yang isinya hanya warga asli dengan budaya yang kental.
Sayangnya, film ini punya kekurangan dalam hal cerita. Walau cerita yang disampaikan sangat menyentuh dan membawa penonton ikut masuk ke dalam alur film, klimaks yang disajikan kurang membuat emosional. Sebagai penonton, film ini terasa cukup di level terharu dan membuat diri ikut bersedih, namun belum sampa ke titik yang ingin ikut menangis saat melihat adegannya.
Terlepas dari kekurangannya, Onde Mande tetaplah film yang layak ditonton. Keberadaan film dan serial seperti Saiyo Sakato, Ngeri Ngeri Sedap, hingga yang terbaru Onde Mande memberi nafas segar ke perfilman Indonesia dan tidak menutup kemungkinan kisah-kisah berlatar daerah akan makin banyak.