Martin Scorcese, sutradara kawakan yang kerap kali menjadi musuh bersama para penggemar franchise superhero, kembali menggebrak dunia film lewat karya terbarunya, Killers of the Flower Moon. Namun, jauh sebelum rilisnya film ini, Scorcese sudah sering mengelurkan banyak film yang tak hanya bagus secara kualitas, namun juga patut dilestarikan. Selain itu, Scorsese, sepanjang karirnya, juga tidak ragu mengeksplor berbagai genre dan tema yang membuat portfolionya begitu diverse, tidak terbatas pada crime movie seperti anggapan kebanyakan orang.
Dari sekian banyak tema yang pernah ia eksplor, religion adalah salah satu di antaranya. Scorsese tidak pernah takut untuk memulai diskusi (baca: perdebatan) perihal iman lewat film-filmnya, hingga beberapa karyanya pun dicap kontroversial. Nah, salah satu film religinya yang patut ditonton berjudul Silence.
Silence sendiri diadaptasi dari sebuah novel semi-fiksi karya penulis asal Jepang Susaku Endo. Bersetting era Edo di, filmnya menceritakan perjalanan dua pastur Katolik berkebangsaan Portugal, Sebastiao Rodriguez (Andrew Garfield) dan Francisco Garupe (Adam Driver), ke pedalaman Jepang untuk mencari guru mereka yang bernama Pastor Fereira (Liam Neeson).
Di sela-sela perjalanan, Sebastiao dan Francisco juga menyebarkan ajaran injil ke warga-warga Jepang. Perlahana, jemaat mereka bertambah. Namun, seiring dengan bertambahnya pengikut, mereka juga kian menarik perhatian Kekaisaran Jepang. Pada akhirnya, Kekaisaran Jepang memburu mereka karena tidak mau Sebastian maupun Francisco membentuk komunitas Kristen di Jepang.
Alih-alih menjadikan Silence sebagai film apologetik Kristen sebagaimana film-film produksi Pureflix atau Angel Studios, Scorcese mengambil pendekatan yang berbeda. Beliau mengangkat tema identitas religius sebagai tema besarnya.
Di era sekarang, kepercayaan religius (agama) seakan sudah menjadi identitas yang melekat pada orang-orang. Walau sebenarnya agama adalah hubungan personal antara manusia dengan Sang Pencipta Alam Semesta, tidak sedikit yang meng-embrace agama sebagai identitas kunci yang bahkan harus dicantumkan di dokumen resmi. Nah, hal itulah yang mau dibahas oleh Martin Scorcese lewat film ini lewat presentasi komunitas Kakure Kirishitan (Kristen Rahasia).
Ketika melakukan perjalanan ke Jepang, Sebastiao dan Francisco tidak mendarat di komunitas Kristen murni. Sebaliknya, mereka mendarat di komunitas Kakure Kirishitan. Komunitas itu boleh dibilang unik. Mereka adalah hasil perkawinan dari dua kepercayaan, Kristen dan Buddha. Sampai sekarang, komunitas itu masih ada, walaupun dengan jumlah jemaat yang jauh lebih sedikit karena sebagian besar sudah berpindah ke Gereja Roma atau Gereja Protestan.
Oleh Scorsese, Kakure Kirishitan ia jadikan foreshadow atas nasib Sebastiao, terutama perihal kepercayaannya. Demi menyelamatkan jemaatnya, Sebastio rela murtad dengan menginjak sebuah ikon Yesus. Ia berpindah ke agama Buddha dan mengganti namanya menjadi Okada San’emon.
Sekilas, “pengkhianatan” Sebastiao terlihat sebagai hal yang patut disayangkan. Namun, di akhir film, ketika jenazah Sebastiao hendak dikremasi menurut ritual Buddha, ia didapati masih menyimpan salib kecil di balik pakaian terakhirnya. Hal itu menimbulkan berbagai dugaan dan diskusi perihal apakah Sebastiao benar-benar murtad atau sesungguhnya ia masih meganut Kristen.
Lewat karakter Sebastiao dan Kakure Kirishitan, Martin Scorcese ingin memberikan sebuah pesan bahwa yang namanya kepercayaan kepada Tuhan tidaklah berdasarkan kemana kita beribadah, agama apa yang tercantum di KTP, atau bagaimana cara kita berdoa (hal-hal lahiriah). Sebaliknya, bahwasanya agama ada hubungan yang personal antara manusia dengan tuhannya.
Manusia bisa saja digoyang imannya, namun apabila sudah percaya penuh, maka kepercayaan tersebut tidak akan luntur oleh apapun. Sebastiao, di permukaan, mungkin terlihat berdosa besar dengan murtad dan menginjak ikon Yesus. Namun, ketika ending menunjukkan bahwa ia masih menyimpan salib kecil di tubuhnya, hal itu memunculkan dugaan bahwa Sebastiao tidak pernah benar-benar murtad karena apa yang ia lakukan hanya untuk menyelamatkan jemaatnya. Dengan kata lain, keimanan dan kepercayaan Sebastiao tak pernah luntur karena ia tetap percaya akan ajaran Kristen, namun ia berpikiran terbuka atas agama Buddha untuk kepentingan yang tak kalah besar.
Hal di atas nukan sesuatu yang populer terutama di Indonesia. Namun, setidaknya, hal itulah yang coba disampaikan oleh sang filmmaker dengan tujuan untuk mengkonstruksi ulang ideasi daripada kepercayaan religius itu sendiri.
Akhir kata, penulis bukanlah teolog apalagi ahli agama, melainkan hanya seorang penggila film yang terkesima dengan sebuah masterpiece karya Martin Scorcese yang kebetulan mengangkat tema agama yang berjudul Silence. Bahwa pada dasarnya, sebuah film selain menjadi bahan diskusi di keramaian, bisa juga menjadi sebuah bahan kontemplasi di tengah kesunyian.