Film ke-11 dari sutradara Joko Anwar selama 20 tahun berkarya, Pengepungan Bukit Duri, memberikan warna baru di industri perfilman Indonesia. Sebuah karya yang digadang untuk memicu pembicaraan soal isu sosial yang terjadi saat ini. Bagaimana perbedaan yang ada bisa menghancurkan sebuah negara jika kita tidak bisa berubah.
Film ini diangkat dari kisah Edwin, seorang guru pengganti, mengambil pekerjaan di SMA Duri, sekolah khusus di Bukit Duri untuk remaja bermasalah. Motivasi utamanya, mencari keponakannya yang hilang. Di sana, ia menghadapi tantangan siswa-siswa berandalan dan lingkungan sekolah yang rawan konflik. Di saat Kerusuhan besar melanda Bukit Duri, SMA Duri ikut terdampak, “mengurung” Edwin dan para guru di dalamnya bersama para siswa-siswa yang memiliki niat jahat terhadap mereka.
Karya Jokan kali ini patut diacungi jempol. Cukup berani dari film dia yang lain, isu minoritas disini sangat kental dinarasikan. Kedekatan cerita dengan para penonton bahkan mungkin bisa memicu trauma yang merasakannya, bahkan sudah diperingatkan sebelum film ini rilis.
Kekuatan utama film ini terletak pada visualisasi distopia Kota Jakarta yang suram dan penuh kekerasan. Production Value dibangun secara maksimal sesuai apa yang ingin dibentuk dari chaosnya Kota Jakarta. Stasiun, sudut kota, sekolah, semuanya divisualisasikan dengan baik, ditambah grading dan sinematografi yang efektif.
Kemampuannya dalam menggali pesan-pesan mendalam mengenai kondisi sosial yang diskriminatif, sistem pendidikan yang bobrok dan liar, serta sentimen SARA yang sayangnya masih cukup dominan untuk dibahas saat ini. Narasi yang disampaikan dari paruh awal cukup intens dan menegangkan dengan penggambaran kekacauan yang ada, mendapatkan perhatian penonton dari awal.
Namun, pada paruh akhir perlahan ceritanya cukup dragging, agak menyebalkan ditengah-tengah rasa mencekam yang ada. Para Cast yang ada bisa menghidupkan karakter yang ada, walaupun ada yang kurang diberi pengembangan karakter. Dari segi plot juga disajikan terasa padat dengan berbagai elemen tanpa memberikan resolusi yang memuaskan di bagian akhir film. Memberikan kesan tanggung dan menimbulkan kekecewaan beberapa penonton.
After all, film ini adalah sajian yang cukup penting bagi masyarakat tentang betapa pentingnya kita bicarakan pendidikan di Indonesia, serta pembahasan soal perbedaan SARA yang masih disinggung era ini. Semoga apa yang ditampilkan tetaplah menjadi fiksi dan kita semua bisa lebih baik dari sekarang.