The Last of Us adalah sebuah pencapaian tersendiri di industri hiburan. Tidak hanya sukses besar di industri game dengan 200 lebih penghargaan di kantongnya, namun juga menjadi hit di layar kaca. Bagaimana tidak, di saat kebanyakan adaptasi game ke film atau serial berguguran, The Last of Us menjadi satu dari sedikitnya franchise yang secara rutin mencetak review apik tiap episodenya.
Dibuat oleh Neil Druckmann selaku kreator gamenya dan Craig Mazin yang memukau karena series Chernobyl, serial The Last of Us mengadaptasi kisah gamenya yang rilis di console PlayStation 3 pada 2013 lalu. Premisnya kurang lebih sama, virus cordyceps mengambil alih dunia, mengubah mayoritas populasi manusia menjadi “zombie” berjamur. Mereka yang tidak tertular dipaksa bertahan hidup dengan tinggal di koloni-koloni kecil yang militeristik.
Tidak semua mau bertahan hidup di koloni-koloni tersebut. Kelompok teroris bernama Fireflies mencoba menjungkirbalikkan sistem yang ada, menyakini mereka lah harapan umat manusia bertahan hidup. Oleh karenanya, untuk menaikkan “daya tawar”, mereka berambisi menemukan vaksin yang bisa menyembuthan manusia dari gigitan zombie cordyceps. Kesempatan untuk mewujudkan vaksin itu muncul dalam sosok gadis remaja bernama Ellie.
Ellie, Si Gadis Kebal
Ellie berbeda dari gadis-gadis seusianya karena ia immune. Gigitan zombie cordyceps tidak berdampak kepadanya. Fireflies berniat menguji kondisi Ellie tersebut untuk menciptakan vaksin yang mereka idam-idamkan. Cilakanya, basis mereka di Boston QZ, koloni di mana Ellie berada, tidak memiliki cukup teknologi untuk mensintesa vaksin. Mau tak mau, Ellie harus diselundupkan keluar dari Boston ke basis Fireflies yang lebih canggih, di Salt Lake City. Joel Miller, seorang smuggler dari Boston, ketiban tugas tersebut dan dimulailah perjalanan panjang ia bersama Ellie.
Pedro Pascal, yang dikenal oleh fans Star Wars sebagai Din Djarin di The Mandalorian, diberikan mandat untuk memerankan karakter Joel tersebut. Sementara itu, co-star Pedro Pascal di Game of Thrones, Bella Ramsey, mendapatkan peran Ellie. Adapun Troy Baker dan Ashley Johnson, yang memerankan karakter Joel dan Ellie di versi gamenya, juga tampil di serialnya walau dalam kapasitas yang lebih minor.
Di luar empat nama di atas, Neil Druckmann dan Craig Mazin selaku showrunner juga mengajak aktor dan aktris ternama lainnya. Dari Indonesia, mereka mengajak aktris dan aktor veteran Christine Hakim dan Yayu Unru. Keduanya memerankan figur medis dan militer yang mendapati bahwa wabah Cordyceps bermula dari lumbung gandum di Indonesia yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.
The Last of Us = Pertaruhan HBO?
Dengan adanya line-up aktor, aktris, produser, serta showrunner yang melibatkan nama-nama besar, bisa dikatakan The Last of Us adalah perjudian besar HBO selaku produsernya. Tidak sedikit adaptasi video game yang menjadi tiket sekali jalan untuk merusak karir orang-orang yang terlibat di dalamnya. Namun, seperti yang bisa kita lihat, HBO menuai jackpot di mana serial ini tak hanya rutin mencetak skor apik, tetapi juga mencatatkan jutaan penonton tiap episodenya. Bukan capaian mudah untuk sebuah serial baru, apalagi hasil adaptasi game pula.
Arguably, kisah The Last of Us sebenarnya tidak terlalu sulit diadaptasi. Presentasi kisah gamenya, sejak awal, sudah ready made untuk format serial. Hal itu dilihat dari pembabakan atau pemenggalan kisah gamenya yang menyerupai rangkaian episoide. Adapun di gamenya, pemenggalan itu ditandai pergantian musim atau lokasi di mana Joel harus menyelundupkan Ellie secara mulus.
Hebatnya. dari kisah yang sudah ready made untuk serial itu, tim produksi masih bisa-bisanya melakukan sejumlah perubahan (bahkan penyempurnaan) untuk menaikkan kualitas ceritanya. Substansi kisahnya masih sama, namun sejumlah delivery diubah yang menekankan pada pengembangan karakter dibandingkan spectacle. Walhasil, karakter-karakter di serial The Last of Us terasa lebih hidup, realistik, relatable, di mana membuat segala kematian terasa begitu menohok dan emosional.
Episode 3 The Last of Us = Episode Terbaik?
Tidak ada episode yang lebih pas untuk mendeskripsikan kelebihan di atas selain Episode 3. Mengambil sub-plot Bill’s Neigborhood, Druckmann dan Mazin mengambil direksi berbeda. Alih-alih memfokuskan ceritanya ke petualangan Joel, Ellie, dan Bill melewati puluhan zombie cordyceps demi mendapatkan aki mobil, fokusnya diubah ke kisah cinta Bill dan kekasihanya, Frank.
Bill sejatinya adalah seorang recluse, introvert, yang enggan menghabiskan waktu bersama orang lain. Di saat tetangga-tetangganya sibuk mengungsi bersama militer Amerika, Bill memilih bersembunyi di rubanah rumah orang tuanya. Di saat pemukimannya sudah sepi, ia mengambil alih kendali sebagai “raja kecil”, memblokade segala akses masuk, memasang puluhan jebakan, dan membangun sistem hidup yang menjamin dirinya self-sustained hingga akhir hayat.
“Kedamaian” Bill “terganggu” ketika ia mendapati seseorang jatuh ke lubang jebakan yang ia buat. Orang itu tak lain adalah Frank. Bill awalnya enggan membantu Frank keluar dari jebakan itu, namun pada akhirnya ia lakukan juga. Tak hanya mengeluarkan Frank dari jebakan, Bill bahkan memberinya pakaian, air hangat, dan makan malam mewah, lengkap bersama anggurnya.
Makan malam keduanya ditutup dengan Frank memainkan lagu Long, Long Time dari Linda Ronstadt di piano Bill. Tak ia sadari, lagu tersebut adalah favorit Bill. Perlahan, situasi menjadi kian intimate dan Bill mulai membuka dirinya ke Frank, bahkan siap melakukan segalnya demi melindungi dia.
Kisah pencarian aki yang relatif simple di gamenya berubah menjadi wholesome, mengeksplorasi konsep cinta tanpa batas, bahkan dalam situasi kiamat sekalipun. Di sisi lain, menjadi foreshadow atas relasi Joel, yang memandang hidup secara negatif sejak kematian putrinya, ke Ellie. Dari Frank, Bill belajar bahwa dalam situasi kiamat pun selalu ada satu orang yang pantas untuk diselamatkan dan kematian Sarah, putri Joel, tidak akan mengubah fakta tersebut.
Episode 3 baru salah satu contohnya. Masih ada episode 4 dan 5 yang, arguably, memberikan pukulan paling menohok di akhir ceritanya. Druckmann dan Mazin, lagi-lagi, melakukan perubahan yang tampaknya minor namun berdampak major. Mereka mengubah karakter Sam dari yang aslinya remaja di game menjadi anak-anak dengan gangguan pendengaran. Hal itu meningkatkan stake, ketegangan, dari upaya kabur Joel, Ellie, Sam, dan kakaknya, Henry, dari Killa City yang diambil alih milisi lokal. Di sisi lain, bikin kami, yang sudah tahu kisah gamenya, jatuh hati ke Sam tidak siap melihat akhir nasibnya.
Perubahan-perubahan itu menjadikan serial The Last of Us tidak hanya terasa novel bagi penonton baru, yang mungkin sudah menonton berbagai franchise post-apocalypse/ zombie story, tapi juga penggemar lamanya. Penggemar lama tentu sudah bisa membaca bagaimana kisahnya akan berakhir, namun dibuat penasaran perihal bagaimana Druckmann dan Mazin mengeksekusi (dan memodifikasi) kisah aslinya.
Hasilnya, harus diakui, melebihi dugaan. Jarang menemukan seorang storywriter seperti Druckmann yang begitu intuned dengan dunia yang ia buat, sehingga ia bisa dengan mudah mengotak-atik karyanya sesuai dengan format penceritannya. Jangan khawatir, momen-momen ikonik seperti ketika duo Joel dan Ellie menemukan koloni jerapah, yang juga favorit penulis, tidak hilang dari adaptasi ini.
Sebuah Reimagining yang Sempurna
Tidak berlebihan mengatakan serial ini sebagai sebuah langkah reimagining yang digarap serius untuk membawa kisah semesta The Last of Us menjadi fitted in dengan media serial TV. Dan, semua itu, didukung cinematography dan production value yang khas HBO. Hats off untuk Craig Mazin dan Neil Druckmann serta komposer Gustavo Santaolala yang juga membuat score untuk series ini karena dia pun membuat score untuk versi gamenya.
Untuk hal yang tidak penulis sukai, hampir tidak ada. Hanya saja pacingnya seperti tidak konsisten. Kadang cepat, kadang intense, kadang slowburn, seakan setiap episode mendapatkan treatment yang berbeda untuk eksekusinya. Namun terkadang hal ini menjadi sebuah aspek positif juga karena penonton mendapatkan semacam cooling down setelah menonton episode yang sangat intense. Dan, kadang, di episode dengan pacing lambat ini, kita disuguhkan dengan momen-momen hangat seperti subplot bertema keluarga dan cinta.
Minimnya laga bisa menjadi kekurangan tersendiri. Hal itu mengingat versi gamenya memiliki elemen action yang tidak sedikit, bahkan brutal untuk ukurannya. Semua itu di-toned down di serialnya, membuat kisah The Last of Us lebih terasa seperti love and family drama. Buat kami, hal itu langkah bagus untuk membuat penonton invested dengan semesta bentukan Druckmann. Namun, kami bisa paham misalkan ada yang menganggapnya kekurangan.
Mengakhiri review ini, serial The Last of Us bukanlah series yang dibuat semata untuk menyenangkan fans, namun juga ajakan untuk penonton non-gamer agar ikut menyelam ke kisahnya. Aksi yang memukau, adegan horor yang menegangkan, momen haru dan hangat, semua tersaji di dalam serial ini. Tidak mengherankan, sejak serial The Last of Us tayang, penjualan game The Last of Us, baik versi PS3, PS4, maupun PS5, meningkat. Melihat apa yang ditawarkan The Last of Us Part 2 di gamenya, para penggemar baru akan merasakan roller coaster ride of emotion, ketika season 2 rilis nanti.
CHRIS NUGRAHA | ISTMAN MP