Dulu ketika lima orang berkumpul di suatu tongkrongan, pikiran yang terlintas untuk memberdayakan ikatan pertemanan mereka adalah dengan cara membentuk sebuah grup band. Kini ketika lima orang berkumpul, yang terjadi adalah kegiatan memiringkan smartphone diikuti sumpah serapah 30 menit kemudian.
Dari fenomena tersebut, lahir tuduhan yang menyebutkan bahwa anak zaman sekarang lebih memilih bermain game online ketimbang bermusik. Apa benar begitu?
Well, setidaknya Zara Adhisty melalui perannya sebagai Riani di film Virgo and The Sparklings berhasil membantah tuduhan itu. Meskipun awalnya diliputi keraguan, toh akhirnya Riani mau-mau saja diajak ngeband di sebuah band rintisan yang bernama The Virgos. Hal itu membuktikan anak muda yang mempunyai hasrat bermusik belum punah sepenuhnya.
Perjalanan Awal The Virgos
Nah, masalah yang bisa dibilang lumayan absurd di awal keberadaan The Virgos adalah tidak hadirnya sang penjaga low frequency. Ya benar, The Virgos tidak sekalipun kepikiran untuk merekrut seorang bassist. Bisa jadi mereka mengidolakan The White Stripes yang hanya beranggotakan dua personil itu.
Hingga saat ini saya masih menyesali preferensi output sound yang dikehendaki Riani dan kawan-kawan. Kenapa? Karena beberapa judul lagu mereka bisa terdengar lebih groovy apabila bersedia menambah satu slot personil lagi. Suatu keputusan yang seharusnya bisa meringankan split bill biaya rental studio.
Walaupun begitu, keputusan merekrut Ussy (Satine Zaneta) sebagai donatur berkedok personil tetap adalah langkah gemilang. Ussy memiliki seorang ayah kaya raya yang tampak seperti asian parents pada umumnya, demanding, penganut kaidah helicopter parenting, dan tentu saja menuntut anaknya untuk mempelajari musik klasik. Pengaruh ayahnya di kehidupan Ussy memberi konsekuensi positif berupa satu set studio musik lengkap dan konsekuensi negatif berupa kredo klise, “classical music only!”
Fasilitas gratis seperti itu adalah berkah untuk tiap musisi di kota yang tarif rental studionya mencapai angka ratusan ribu per jam. Berhubung latar tempat terbentuknya band ini berada di kota Bandung, pusatnya dunia skena dan musik underground di Indonesia, ekosistem musik penuh persaingan yang mereka lalui terlihat cukup musically accurate.
Hadirnya sebuah kompetisi musik yang diikuti oleh The Virgos adalah cerminan fase awal remaja yang ingin memulai karir bermusik. Sayangnya film ini lupa menggarisbawahi “fase awal” sebagai bentuk menghindari idiom rip logic. Bayangkan, di latihan pertamanya The Virgos mampu mendaur ulang lagu Salah milik Potret menjadi aransemen baru yang lebih kompleks dan berisi banyak sinkopasi.
Kalau itu semua masih belum cukup cacat logika, di latihan keduanya mereka langsung menghajar lembaran partitur dalam sekali lihat dan boom, lagi-lagi jadilah sebuah aransemen baru yang tidak kalah kompleks. Praktik membaca partitur dalam sekali lihat tersebut dinamakan prima vista. Bahkan komposer sekaliber Mozart pun juga butuh berlatih sebelum menampilkan pertunjukkan prima vista.
Kompetisi Musik yang Sekadar Hiasan
Virgo and The Sparklings memperlakukan berbagai ornamen musiknya hanya sebagai properti belaka. Berulang kali saya meringis melihat bagaimana stereotipe di dalam dunia musik ditampilkan dengan tidak akurat. Satu-satunya hal yang mendekati kenyataan adalah kepekaan Riani untuk mematikan ampli sebelum mencabut kabel jack.
Salah satu adegan ketika mereka berlatih juga menunjukkan sinkronisasi musik yang berantakan. Terlihat berkali-kali suara cymbal crash justru terdengar saat sang drummer memukul snare, atau yang paling parah adalah saat lagu memasuki bagian lead guitar tapi tangan kiri Riani di fret gitar malah menunjukkan sebaliknya alias diam tak bergerak. Mungkin hal ini berkaitan dengan final cut filmnya yang mengalami banyak koreksi.
The Virgos sudah, lalu bagaimana dengan band saingannya? Jujur saja penampilan Scorpion Sisters sebagai musuh di kompetisi terlihat sangat meyakinkan walaupun dipaksakan untuk terlihat intimidatif. Lagipula tidak ada kok anak band yang memakai aksesoris gothic ke manapun dia pergi.
Sayangnya kedigdayaan Scorpion Sisters yang dideskripsikan sebagai band skillful bereputasi tinggi tidak terbukti sama sekali. Kecuali Carmine (Mawar De Jongh), sang vokalis, anggota lain di band ini malah seperti poser yang statusnya di dalam band hanya sebagai personil cabutan. Tidak ada satupun pertunjukkan musik akrobatik yang mengamini status reputasi mereka.
Sebenarnya keberadaan Scorpion Sisters di film ini harus berat hati saya bilang sudah terjerumus ke dalam peran sampingan yang tidak memiliki pengaruh apapun ke plot cerita. Kompetisi musik yang sedang mereka ikuti pun juga terkesan kosong.
Tidak adanya grup band lain yang muncul juga turut menegaskan kalau elemen musik film ini tidak digarap dengan maksimal. Biasanya, band-band yang tergabung dalam satu kompetisi yang sama biasanya akan saling memprovokasi entah melalui pamer skill di belakang panggung atau menyabotase settingan sound di atas panggung. Intrik persaingan seperti inilah yang membuat kompetisi musik terlihat hidup, bukannya sebagai hiasan semata.
Sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan judul lain semacam Scott Pilgrim vs. the World atau Suckseed yang berhasil menggunakan musik sebagai salah satu kendaraan plotnya.
Kesimpulan
Tentu saja film adalah medium yang sama sekali berbeda dengan realita sebenarnya. Di film, materi keduniawian harus dipadatkan ke dalam satu titik yang akhirnya harus mengkhianati logika demi sebuah dramatisasi. Kalau semua film harus musically accurate, tentu saja Scott Pilgrim tidak akan susah payah menembakkan dari gitarnya.