Hari ini adalah hari bersejarah untuk sinema. Bagaimana tidak, karena pada hari ini lah dirayakannya Back To The Future Day, sebuah selebrasi dan penghormatan terhadap salah satu magnum opus sutradara Robert Zemeckis.
Berawal dari ide gila Zemeckis di tahun 1980 untuk membuat kisah perjalanan waktu, franchise Back to The Future berkembang pesat dan tidak terjebak di format film saja. Hingga artikel penghormatan ini ditulis, franchise Back To The Future telah dikonversi ke berbagai medium
Uniknya, meski banyak yang tahu akan franchise time travel ini, tidak banyak yang tahu kenapa Back To The Future Day digelar di tanggal 21 Oktober. Apalagi, jika ditarik mundur ke jadwal perilisian pertamanya, Back To The Future pertama rilis di bulan Juli, bukan Oktober. Nah, jawabannya ada pada setting cerita filmnya.
Disutradarai Zemeckis dan Bob Gale dengan budget US$19 juta dan menghasilkan record box office US$388,8 juta, Back To The Future mengikuti kisah petualangan eksistensial siswa SMA Marty McFly (Michael J Fox) ke tahun 1955. Semua itu bermula dari gagalnya percobaan mesin waktu Doc Brown (Christopher Lloyd) karena diserang teroris.
Kenapa 21 Oktober?
Doc Brown menmpatkan teknologi mesin waktunya pada sebuah mobil berpintu gull wing, DeLorean, yang harus dipasok tenaga plutonium untuk bisa melakukan time travel. Nah, Marty, yang sejatinya hanya bertugas mendokumentasikan uji coba DeLorean, tak sengaja terlempar ke tahun 1955 karena menggunakan mobil itu untuk kabur ketika teroris menyerang Doc Brown. Di hari itu, 21 Oktober 1985, hidup Marty berubah untuk selamanya.
Nah, 21 Oktober itu lah yang menjadi acuan dirayakannya Back To The Future Day. Malam percobaan yang gagal itu mengawali petualangan melintasi waktu, dari masa lalu hingga masa depan, dari periode koboy hingga kota distopian, yang mengisi kisah trilogi Back To The Future.
Tentu saja kisah di film pertama menjadi yang paling memorable. Terlempar ke tahun 1955, tak hanya Marty McFly harus mencari Doc Brown muda untuk memperingatkan dia akan temuannya plus ancaman di masa depan, ia juga harus memastikan “calon” orang tuanya menjadi sepasang sekasih. Jika tidak, mengacu pada teori Grandfather Paradox, eksistensi Marty akan dihapus dari alam semesta alias tak pernah ada.
Gawatnya, kehadiran Marty ke masa lalu yang justru memicu rangkaian butterfly effect yang mengancam eksistensinya sendiri. Ibunya jatuh cinta pada Marty sendiri. Sepanjang film, Marty harus pontang-panting memastikan ia bisa kembali ke masa depan dengan selamat dan tidak hilang dari dunia.
Tak Hanya Sukses Secara Finansial
Film pertama tak hanya menjadi yang paling memorable, tetapi juga paling sukses secara finansial. Film tersebut menjadi yang terlaris pada tahun 1985 dan kemudian menjadi fenomena internasional. Hal ini membuka jalan bagi film Back to the Future kedua dan ketiga, yang dirilis berturut-turut pada tahun 1989 dan 1990.
Sekuelnya, sayangnya, tidak mencapai prestasi sebaik film pertamanya. Walau begitu, trilogi Back To The Future tetap dianggap sebagai salah satu kisah time travel paling berpengaruh. Saking berpengaruhnya, Back To The Future melahirkan berbagai spin-off seperti video game, serial animasi, panggung musikal, bahkan wahana bermain di taman hiburan Universal Studios di Universal City, California; Orlando, Florida; dan Osaka, Jepang (semuanya sekarang tutup).
Bagi sinema dan budaya pop sendiri, Back To The Future memiliki dampak jangka panjang yang tak bisa diabaikan. Franchise ini membangun kesadaran bahwa film fiksi ilmiah pun bisa bersifat “serius” sekaligus fun. Serius di sini bukan berarti kurang humor, tapi maksudnya narasi dibuat dengan baik dan dinamis di mana sisi fun dan serius bisa bersatu padu.
Like it or not, Back To The Future memiliki one of the best blockbuster script ever written. Kontennya (plotnya) boleh dibilang kompleks, namun konsepnya menarik, pengembangan karakternya compelling, dan ide-ide naratifnya memikat sekaligus menimbulkan spektrum reaksi emosional yang luas dari penontonnya.
Lika-liku Untuk Back To The Future
Walau premis dasar film ini hanya Marty harus memastikan kedua orang tuanya tetap berpacaran di masa lalu dan dirinya menemukan jalan kembali ke masa depan, namun hal itu dieksekusi secara rapih lewat serangkaian setup, detour, problem, dan clue di sepanjang film yang diakhiri dengan payoff yang memuaskan.
Target utama Zemeckis di film tersebut adalah membangun kesan “Berkejaran Dengan Waktu”. Waktu Marty di masa lalu bersifat terbatas dan keberhasilan ia menjaga eksistensinya bergantung pada bisa atau tidaknya ia memanfaatkan waktu yang ada.
Pada dasarnya, Marty harus bermain by the book untuk memastikan masa depan terjadi apa adanya dan ia tetap ada. Namun, keberadaan dia di tahun 1955 sendiri sudah memicu deviasi waktu sehingga mau tidak mau ia harus bermain gali lubang tutup lubang di waktu yang serba terbatas, menutup celah-celah deviasi yang dipicu event-event yang tak seharusnya terjadi.
Pada paruh terakhir film, Marty dihadapkan pada serangkaian peristiwa yang perlahan memakan habis waktunya. Tensi terbangun lewat tebak-tebakan apakah Marty, dalam waktu yang menipis, berhasil menghindari ancaman Biff Tannen, apakah ia berhasil mempersatukan orang tuanya secara romantis, apakah ia berhasil mencapai lokasi Doc Brown tepat waktu, dan apakah ia berhasil pulang ke masa yang benar. Tegang sekaligus kocak!
Sebelum adanya film semacam itu, film fiksi ilmiah terkadang dianggap sebagai “film konyol” atau “film anak-anak”. Sejak Back To The Future, dengan script dan direksinya yang rancak itu, genre fiksi imlah telah berkembang secara signifikan.
Oleh karena itu, baik itu untuk menghidupkan kembali perjalanan waktu Marty dan Doc yang aneh atau untuk melihatnya untuk pertama kali, Back to the Future adalah tontonan wajib yang pasti akan membuat Anda bermimpi melakukan perjalanan melintasi waktu. JIka anda belum pernah menontonnya, tidak ada tanggal yang lebih untuk mencoba selain 21 Oktober.
VANESSA, ISTMAN