Pernahkah kalian bertahan pada hubungan toxic dengan sang mantan? Pernahkah kalian rela kelaparan selama 6 hari hanya demi stok foto berlatarkan kafe elit di akhir pekan? Atau dalam konteks sinema, pernahkah kalian sengaja membayar untuk ditakut-takuti oleh sebuah film horor?
Kalau iya, mungkin kalian harus segera mengulik apa yang pernah diserukan Muse di dalam lagunya yang berjudul Stockholm Syndrome.
Apa itu Stockholm Syndrome?
Stockholm syndrome adalah fenomena anomali psikologis pada korban kekerasan yang ditandai dengan tumbuhnya rasa ketergantungan, empati, dan bahkan jatuh cinta kepada sang pelaku.
Sejarah mencatat, istilah Stockholm syndrome pertama kali muncul ketika terjadi peristiwa perampokan bank di Stockholm, Swedia pada tahun 1973 yang melibatkan penyanderaan sejumlah orang. Koneksi misterius antara para perampok dan korban inilah yang mendasari penamaan Stockholm syndrome oleh kriminolog asal Swedia bernama Nils Bejerot.
Orang yang menderita Stockholm syndrome cenderung mengartikan perilaku kekerasan sebagai salah satu bentuk ekspresi kasih sayang. Pada beberapa kasus, penderita juga merasakan ketergantungan yang mengikat sehingga kebiasaan disakiti ini menjadi sebuah adiksi.
Anehnya, tidak ada yang dengan akurat mengklasifikasikan apa saja bentuk efek kekerasan yang diterima para penderita secara sukarela. Walaupun begitu, pada akhirnya kekerasan verbal maupun non-verbal sudah pasti bermuara ke efek akhir yang tidak bisa dihindari. Rasa takut.
Fenomena Stockholm Syndrome dalam Sinema
Seiring berjalannya waktu, hubungan pelaku-korban mengalami banyak pergeseran tafsir sesuai dengan situasi macam apa yang melatarbelakanginya. Hari ini korban tidak selalu menjadi pihak yang dirugikan, dan pelaku bukan berarti mengacu pada sosok yang terlibat tindak kriminal.
Hubungan pelaku-korban kini bisa merujuk pada kegiatan transaksional yang telah disepakati. Dalam hal ini adalah hubungan antara film horor sebagai pelaku dan penonton sebagai korban. Sebuah replika mini dari salah satu fenomena psikologi paling misterius di dunia.
Film horor pada dasarnya hanya menawarkan parade pemicu rasa takut entah dalam bentuk jumpscare atau rentetan sekuen mencekam yang atmosferik. Sedangkan peran plot di film horor berfungsi untuk mengantar penonton menyingkap satu per satu lapisan misteri secara satu arah. Gong garis finalnya tetap saja diambil alih oleh sebuah jumpscare.
Di sisi lain, para penonton yang rela mengeluarkan uangnya demi terpapar rasa takut tentu saja bisa dianggap sebagai korban sukarela. Mereka adalah cerminan dari hubungan pelaku-korban di dunia industri hiburan modern.
Apakah salah? Tentu saja tidak. Sayangnya sama seperti Stockholm syndrome di kasus aslinya, hubungan film horor-penonton ini juga menumbuhkan ketergantungan dan adiksi. Semua orang tiba-tiba kecanduan untuk ditakut-takuti tiap akhir pekan tiba. Hal inilah yang menyuburkan jumlah produksi film horor tanah air meskipun rasa takut yang dihasilkannya cenderung generik.
Hiburan Horor dari Zaman ke Zaman
Meskipun terdengar sinis, tetapi ungkapan bahwa film horor adalah pemacu adrenalin adalah sebuah omong kosong. Adrenalin yang dihasilkan oleh film horor hanyalah adrenalin palsu yang efek kejutnya bisa dikalkulasikan sebelumnya.
Kalau dipikir-pikir, menonton film horor sama seperti kita diserahi kendali manajemen risiko yang sudah ter-autopilot. Orang-orang, khususnya masyarakat urban yang hidupnya sudah penuh risiko tak terkendali, adalah target penonton yang paling tepat untuk memenuhi kualifikasi ini.
Lagipula, siapa coba yang tidak ingin merasakan sedikit sensasi horor tapi tetap memiliki peluang hidup lebih dari 99 persen?
Terbukti manusia telah merakit wahana horornya sendiri di sepanjang zaman. Edgar Allan Poe memulainya di tahun 1835 dengan menerbitkan sebuah novel horor berjudul Berenice. Tulisannya memacu penulis-penulis lain seperti Ambrose Bierce dan H.P. Lovecraft untuk ikut meramaikan bentuk awal hubungan pelaku-korban di medium horor berupa novel.
Seakan belum cukup, pada tahun 1898 sutradara revolusioner Prancis, George Mellies, melahirkan film berjudul Le Manoir du Diable yang disebut-sebut sebagai film horor pertama di muka bumi.
Baru pada tahun 1900 hingga 1920-an muncul trend mengadaptasi naskah film horor berdasarkan literatur klasik sebagai sumber materi utamanya. Di periode inilah lahir cult classic legendaris seperti Frankenstein dan Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Lalu di dekade berikutnya giliran Universal berjaya di skena horor dengan classic monsters-nya.
Konklusi
Masifnya pembuatan hiburan bergenre horor tentu saja didasari atas satu motif yang sama. Lonjakan antusiasme pembaca dan penonton. Karena itulah, cara kerja selera pasar industri hiburan memang tidak akan pernah bisa disalahkan.
Uniknya, sebuah publikasi yang diterbitkan Nicola Tufton pada tahun 2008 lalu malah menyebutkan Stockholm syndrome sebagai mitos kedokteran atau pseudo-sains karena tidak adanya kriteria diagnosis yang valid.
Mungkin saja fenomena hubungan pelaku-korban versi film horor-penonton ini adalah murni bagaimana penawaran selalu berpasangan dengan permintaan dalam sebuah siklus ekonomi. Mungkin saja.