Netflix kembali merilis film bersama Jamie Foxx. Setelah Project: Power dan Day Shift, kali ini keduanya berkolaborasi lewat komedi absrud soal kloning berjudul They Cloned Tyrone.
Jules Taylor, penulis di balik film Creed 2 dan Space Jam menjadi sutradara dari film ini. Untuk jajaran castnya, Netflix tidak hanya memajukan Jamie Foxx saja, tetapi juga menghadirkan lini aktor kulit hitam berbakat lainnya seperti John Boyega (Force Awakens, The Woman King) sebagai Fontaine sang tokoh utama serta Teyonnah Paris (Wandavision, Candyman) sebagai Yo-yo.
They Cloned Tyrone menceritakan Fontaine, seorang pemuda pengedar narkoba di sebuah kota kecil bernama Glen, yang pada suatu hari terlibat konflik dengan saingan sesama pengedar narkoba. Dalam konfklik tersebut, ia tertembak berkali – kali sampai “meninggal”.
Keesokan harinya, Fontaine mendapati dirinya terbangun sehat walafiat, tetapi tanpa ingatan sedikitpun tentang peristiwa dirinya ditembaki malam sebelumnya. Slick Charles (Jamie Foxx), seorang mucikari yang melihat langsung peristiwa penembakan Fontaine, terheran – heran saat dirinya ditagih hutang oleh Fontaine yang kembali sehat tanpa ada luka sedikitpun.
Kebingungan dan yakin betul Fontaine sejatinya sudah mati, Slick Charles mengajaknya untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak berdua saja, namun dibantu oleh Yo-Yo, seorang PSK yang bekerja untuk Slick Charles dan juga saksi dari peristiwa penembakan Fontaine malam sebelumnya. Teori mereka, Fontaine telah dikloning.
They Cloned Tyrone mengusung genre comedy mystery yang terasa fun untuk ditonton dengan pemilihan konflik yang unik dan rasanya jarang dibawakan di film – film lain. Porsi dari komedi di dalam film ini rasanya pas dan sangat khas dengan komedi “black people neighborhood” yang dibawakan dengan logat black people yang sangat kental.
Sedikit banyak, film ini mengingatkan dengan Sorry To Bother You, komedi misteri di mana orang kulit hitam harus berbicara dengan dialek kulit putih untuk sukses atau diubah menjadi manusia kuda.
Porsi misteri dalam film ini juga rasanya tidak terganggu dengan komedi yang ada. Malahan, komedi yang disuguhkan sering kali melengkapi suasana misteri, membuatnya menjadi lebih menegangkan, menyenangkan, tanpa menghilangkan esensi dari scene – scene misteri tersebut.
Jules Taylor juga sukses membuat film ini terasa seperti film lawas 80an lewat tone warna yang pas, layar yang diberikan efek grainy sepanjang film, dan production design yang identik dengan film-film blaxploitation. Tidak lupa dengan pemilihan scoring di berbagai scene yang semakin memperkuat suasana black people neighborhood di kota Glen.
Patut diberikan apresiasi juga untuk trio Boyega, Foxx, dan Parris yang surprisingly memiliki chemistry yang sangat kuat sepanjang film. Chemistry itu tetap terasa bahkan ketika mereka tidak lengkap bertiga dan harus berpasang – pasangan dalam satu scene.
John Boyega patut dibilang sukses membawakan karakter Fontaine secara totalitas dalam berbagai scene menegangkan, komedik, maupun emosional dalam film ini. Tidak ketinggalan acting yang apik juga ditampilkan Teyonah Parris dan Jamie Foxx dalam membawakan perkembangan karakter masing – masing dari awal hingga akhir film.
Part yang dirasa agak kurang dalam film ini mungkin terletak pada konklusi film yang belum sepenuhnya menyelesaikan konflik yang dibangun di sepanjang film. Rasanya film ini masih membutuhkan sekuel lanjutan untuk menutup konflik tersebut. Akan tetapi, minus part ini rasanya tidak mengurangi keseruan dan kualitas dari film ini.