Saltburn mungkin bukan yang pertama kali mengakomodasi kesintingan. Namun, bagaimana cara kesintingan itu dieksekusi dengan pendekatan yang lebih stylish tentu menyuguhkan kesan fresh, walaupun ujung-ujungnya tetap saja sinting!
Emerald Fennell, selaku sang sutradara, juga bukan yang pertama kalinya mengolah kesintingan. Mengawali debut penyutradaraan melalui Promising Young Woman, Fennell sudah lebih dulu bereksperimen dengan hubungan antar manusia yang menjurus ke arah disfungsional. Hasil ramuannya pun melahirkan formula untuk diterapkan di film keduanya, Saltburn.
Menyoroti tahun pertama Oliver (Barry Keoghan) sebagai mahasiswa, Saltburn berupaya menghadirkan lika-liku keseharian di universitas sembari melancarkan kritikan tajam ke borok pendidikan yang tak kasatmata. Serupa dengan Promising Young Woman, kesenjangan berujung perundungan di lingkungan akademis juga menjadi samsak kritikan bagi Saltburn.
Adanya segregasi antara murid populer dan non-populer itulah yang melingkari keseharian Oliver. Nasibnya berubah setelah menjalin pertemanan dengan Felix (Jacob Elordi), sosok high profile di kampus tempatnya berkuliah. Beberapa waktu berselang, makin erat pula hubungan mereka, Oliver pun diundang untuk menghabiskan masa liburan di rumah megah milik keluarga Felix yang rupanya bernama Saltburn.
Di rumah besar inilah Saltburn mulai mengumbar kesintingan filmnya. Bukan cuma terlibat dalam berbagai tradisi abnormal, Oliver turut dipaksa memaklumi ketidakwajaran para penghuni rumah itu. Parade kesintingan yang ditampilkan berpotensi mengundang rasa mulas, hingga mual teruntuk mereka yang tidak tahan. Jika anda sudah mendengar deskripsi adegan bathtub di film ini, itu baru satu dari sekian banyak kesintingan yang ada di film ini.
Mungkin satu-satunya obat penawar yang menjauhkan dari rasa mual adalah bagaimana segala kesintingan ini dibalut dengan visual dan production design yang ciamik. Tone hangat dengan berbagai ornamen klasik bangunan Saltburn memberi kesan seolah film ini adalah sebuah period drama, meski latar sesungguhnya berada di zaman modern.
Disodori hal abnormal bertubi-tubi justru tak membuat Saltburn terasa repetitif karena amunisi kesintingannya menyimpan beragam variasi. Ada yang cukup memanfaatkan suara sudah mengundang rasa ngilu, ada pula yang benar-benar melampaui nalar siapapun yang menontonnya. Tidak percaya? Tunggu saja hingga film ini bergulir ke adegan pemakaman.
Emerald Fennell sejatinya tengah membangun sebuah realita ideal bernama Saltburn, di mana dindingnya yang kokoh membentengi kenyataan utopis di baliknya. Tatkala benteng tersebut dirubuhkan, para penghuni di dalamnya didera kemustahilan menghindari duka. Sama seperti Oliver, pada akhirnya mereka dipaksa menatap fenomena segregasi langsung di depan mata.
Terlihat sekali bagaimana Fennell bersenang-senang dengan proyek barunya ini. Tidak lagi berusaha keras menabur kritikan dan pesan seperti di film sebelumnya, kini ia fokus bereksperimen di koridor estetika. Banyak sekali pencapaian teknis yang mampu membuat mata siapapun terpancang betah menonton deretan fragmen estetiknya.
Namun, dengan segala hal yang dimilikinya, sayangnya Saltburn jauh dari kata spesial. Filmnya tertatih-tatih melanjutkan kesintingan yang kadung dibangun dengan baik. Alhasil, babak ketiganya yang diperuntukkan sebagai babak eksposisi malah gagal menjelaskan segalanya. Tak berlebihan mengatakan film ini berhenti di kata “Sinting”, dan gagal mencapai kata “Berbobor”
Banyak sekali praktik manipulasi antar karakter di film ini. Namun tentang bagaimana metode manipulasi tersebut dilakukan masih samar. Kurang terlihat usaha lebih lanjut untuk menjelaskan segalanya secara terperinci. Memang adakalanya film tak perlu bersusah payah menyuapi penonton dengan eksposisi, tapi sayangnya bahasa paling dominan di film ini adalah eksposisi itu sendiri.
Akhirnya Saltburn malah dituntaskan dengan terburu-buru. Seolah juga ingin segera merampungkan filmnya karena sudah tak kuasa menahan mual, beginilah kata Emerald Fennell dalam wawancaranya bersama Vanity Fair:
“I know that if I shock my mother, I’ve gone too far.”