Di tahun 1930-40an, di kala Nazi berkuasa dan menginvasi negara-negara Eropa, hidup seorang gadis Yahudi berusia tak lebih dari 16 tahun. Ia gemar menulis dan menuangkan curhatannya dalam buku harian yang mengilhami banyak manusia di seluruh dunia dalam ‘kebajikan’. Lewat diari lugunya, jutaan manusia sadar akan pentingnya menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Dialah Anne Frank.
Namanya diabadikan dalam monumen sejarah, museum, yayasan, sampai pohon sekalipun. Namanya juga kerap disematkan dalam pidato ‘tokoh-tokoh penting’ seperti John F. Kennedy dan Nelson Mandela. Lewat buku hariannya, sejumlah jurnalis dan penulis tergerak untuk menuangkan kisahnya maupun kisah serupa. Berbagai panggung teater sampai film juga berlomba mempersembahkan penghormatan kepadanya.
Kisah Anne Frank menjelma menjadi salah satu narasi holocaust terkenal. Kisah tragis kekerasan antisemit itu diabadikan lewat buku harian yang digarapnya saat bersembunyi dari kejaran Nazi. Meskipun telah menjadi subjek dari banyak adaptasi yang berbeda, sebagian besar karya yang lahir dari buku harian tersebut mengadaptasi sudut pandang Anne sendiri.
Saking populernya Anne Frank, berbagai karya yang menyoroti kehidupan bocah ini dipercaya menjanjikan cuan. Padahal di balik nama besarnya, ada nama-nama lain yang turut berjasa dan kadang luput dari penceritaan, salah satunya Miep Gies. Ia rela membahayakan nyawanya demi keselamatan Anne Frank sekeluarga dan sejumlah Yahudi lainnya di masa itu.
Miep Gies (sekretaris Otto Frank – ayah Anne Frank) hanyalah warga sipil Amsterdam biasa. Ia, bersama suami dan rekan kerjanya, menyembunyikan keluarga Frank selama kurang lebih dua tahun dari kezaliman Nazi, dan punya peran besar dalam publikasi buku harian Anne Frank.
Lewat kata-katanya yang terkenal: “No one should ever think you have to be special to help others. Even an ordinary secretary or a housewife or a teenager can, in their own way, turn on a small light in a dark room,”, tercetuslah judul drama biografi ini.
Nazi di Mata Miep Gies
Berlatar perang dunia ke-2, A Small Light mengungkap kembali kisah Anne Frank yang tragis lewat mata seorang wanita Belanda kelahiran Austria, Miep Gies (Bel Powley), yang membantu melindungi keluarga Frank selama pendudukan Nazi di Amsterdam.
Ketika Nazi masuk ke Belanda dan keluarga Frank gagal memperoleh visa ke Amerika Serikat, Otto Frank (Liev Schreiber) meminta bantuan Miep untuk menyembunyikan dan menghidupi keluarganya, termasuk istrinya, Edith (Amira Casar), dan kedua putrinya, Margot (Ashley Brooke) dan Anne (Billie Boullet).
Series delapan episode dari National Geographic yang ditulis Tony Phelan dan Joan Rater ini menceritakan bagaimana Miep menghadapi rezim antisemit sembari berjuang menyelamatkan keluaga Frank. Ia dan suaminya, Jan (Joe Cole) digerakan oleh nurani semata tanpa tahu cara mengantisipasi konsekuensi yang akan muncul atas tindakannya.
Miep dan Jan tak pernah perhitungan dalam membantu para Yahudi yang jadi target kekerasan Nazi. Bahkan, di saat mereka sendiri dalam keadaan kekurangan, pikiran keduanya disibukkan dengan rencana penyelamatan Yahudi yang lebih masif, terstruktur, dan radikal.
Miep – dengan mata lebarnya yang indah– adalah wanita gesit, emosional, penuh perhitungan, dan mudah panik. Sebaliknya, Jan adalah pria yang tampak tenang, lamban, spontan, nekat, dan menyimpan dendam mendalam pada penjajah. Keduanya kolaborasi pas dalam cerita ini.
Di masa-masa tenang, Miep sesumbar mengatakan Hitler hanya bocah narsis yang terjebak di tubuh orang dewasa dan warga Belanda punya solidaritas yang tinggi dalam menghadapi ancamannya. Namun, saat keadaan berbalik, ia terperangah, tidak hanya pada kekejaman penjajah, tapi juga kepada saudara setanahairnya (non-Yahudi) yang memilih bergeming ketika menyaksikan praktik kekejian Nazi.
A Small Light sedikit mengambil jarak dari Anne Frank. Ini adalah kisah tentang orang-orang pemberani yang menjadi saksi kekejaman Nazi dan mencari cara untuk membantu mereka yang menjadi sasaran.
Menyimpang (Sedikit) dari Sejarah
Meskipun sudah ditekankan di setiap episode bahwa drama biografi ini sudah didramatisasi sedemikian rupa untuk keperluan plot cerita, tetap saja tak semua penonton bisa memakluminya – terbukti dari kritik media massa sampai kolom Internet Movie Database (IMDb). Padahal, kalau mau sedikit saja berlapang dada dengan penyimpangan tak seberapa itu, A Small Light tetaplah cerita utuh yang bisa dinikmati.
Polemik akurasi sejarah itu timbul lantaran sejumlah adegan, mulai dari usia Miep ketika memperoleh pekerjaan, aksen karakter, pembatalan paspor Miep, sampai yang paling (dianggap) penting, yakni hilangnya peran Bep Voskuijl.
A Small Light dinilai gagal memberi kesan urgen dalam peran Bep Voskuijl (staf Otto Frank). Padahal, dalam kisah originalnya, Voskuijl adalah teman terdekat Anne yang ikut membantu keluarga Frank bersembunyi, sama seperti yang dilakukan Miep sepanjang series.
Tapi setidaknya – demi kepadatan cerita dan fokus terhadap tokoh utama – kontribusi Bep Voskuijl (Sally Messham) telah disematkan dalam alur cerita Miep secara halus. Tanpa eksposisi lanjutan, sebagai penonton kita juga sudah tahu – dari adegan, kemunculan (delapan episode penuh), dan penempatan Voskuijl dalam cerita – Voskuijl sudah tentu punya peran besar dalam penyelamatan keluarga Frank.
Kezaliman Nazi di Amsterdam
Berkesempatan syuting di Amsterdam, A Small Light mampu menjawab banyak pertanyaan tentang seperti apa penampakkan kengerian Nazi di Amsterdam saat Hitler menginvasi Belanda. Nilai-nilai produksi yang diusung mampu menunjang pergolakkan politik pada zaman itu.
A Small Light menunjukan secara gamblang kebimbangan warga Belanda saat menghadapi kebengisan di luar nalar pasukan SS. Warga lokal tahu dan iba atas kekejaman yang ditargetkan pada saudara sebangsa mereka, tapi tak tahu mesti berbuat apa. Diam nurani menjerit, berontak nyawa hilang.
Persahabatan Miep dengan Tess (Eleanor Tomlinson), yang dengan sengaja mengabaikan realitas dunia di sekitarnya, bisa jadi cerminan hal tersebut. Melalui Tess, Miep mendapat pandangan pertamanya tentang bagaimana ketidaktahuan dapat merusak orang yang sejatinya berhati baik. Tapi, penonton tetap bisa empati dengan karakter Tess, sebab alasan mengapa Tess rela menutup mata dari kekejaman Nazi dapat dipahami sebagai insting bertahan hidup.
Di samping itu, A Small Light cakap dalam memanfaatkan detail kecil untuk meningkatkan ketegangan cerita, seperti ketukan pintu, siulan, sampai romansa sembrono yang mengarah pada ancaman nyata.
Perubahan Suasana Mendadak
Salah satu elemen yang cukup menyebalkan dalam A Small Light ialah perubahan emosi yang terlalu mendadak. Meskipun treatment yang demikian mampu mengisyaratkan ketidakpastian hidup di masa itu, hal ini cukup mengganggu suasana hati saya sebagai penonton.
Ketika suasana sedang tegang-tengangnya, adegan bisa seenak jidat beralih ke scene receh lengkap dengan musik komik. Atau sebaliknya, ketika suasana sedang hangat dan lucu-lucunya sekonyong-konyong ancaman datang. Hati ini rasanya belum siap untuk beralih sedemikan cepat dari pergolakan emosi yang disodorkan secara terus menerus.
Singkatnya, series ini bisa dibilang kekurangan scene mencekam yang intens, mengingat ini kisah tentang penderitaan rakyat terhadap kekuasaan fasis. Porsi untuk scene romansa, komedi, dan small talk terlalu mengimbangi ketegangan yang disodorkan. Alhasil, bisa disimpulkan series ini emosional, tetapi tidak terlalu sentimental tentang perlawanan wanita sipil terhadap fasisme Nazi.