A Man Called Otto (Source: IMDB)
Review A Man Called Otto: Tentang Bunuh Diri, Tapi Gak Ngeri

A Man Called Otto, disutradarai oleh Marc Forster (World War Z, Finding Neverland), adalah surprise hit di awal tahun ini. Di saat bioskop sepi blockbuster di awal tahun dan baru akan digebrak dengan Ant-Man: Quantumania, A Man Called Otto berhasil menghadirkan kisah yang heartwarming via tema yang uniknya tergolong taboo: Bunuh diri. 

 

Diadaptasi dari novel asal swedia berjudul A Man Called Ove, film ini menceritakan kisah seorang pria tua galak bernama Otto Anderson (Tom Hanks).

 

Sejak ditinggal istrinya, Sonya (Rachel Keller), yang wafat karena kanker, Otto kehilangan gairah hidupnya. Kegiatan dia sehari-harinya tak lebih dari menggerutu sepanjang hari  atau memaki orang-orang di sekitarnya. Pada satu titik, dia sudah tak kuat lagi menjalani hidup tanpa Sonya dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya saja. 

 

A Man Called Otto (Source: IMDB)

A Man Called Otto (Source: IMDB)

 

Berbagai rencana bunuh diri mulai Otto susun dengan matang. Di kepalanya sudah terkumpul sejumlah ide, dari gantung diri hingga diterabas kereta api. Namun, belum sempat dieksekusi, “gangguan” mulai hadir dalam wujud tetangga barunya, Marisol (Mariana Treviño) bersama anak-anak dan suaminya, Tommy.  

 

Bermula dari sekedar membantu suami Marisol memarkirkan mobil, kehidupan Otto mulai berubah. Ia yang biasa menghabiskan waktu sendiri mulai banyak terlibat dalam kegiatan keluarga Marisol. Itu belum menghitung mendapat makanan-makanan Marisol yang sedap punya. Perlahan, kehidupan Otto yang tertutup mulai terbuka, yang sebelumnya dingin kian hangat.

 

Dengan segala perubahan itu, pikiran bunuh diri belum juga hilang dari kepala Otto. Ia masih ingin menyusul Sonya ke akhirat. Walau ragu mulai timbul di kepala, rencana bunuh diri tetap jalan juga. Lalu, bagaimana nasib ia selanjutnya?

 

Dari sinopsisnya saja, bisa terlihat A Man Called Otto memiliki plot yang relatif straightforward jika tidak ingin dikatakan predictable. Gak banyak distraksi, plot filmnya fokus menceritakan kehidupan kakek Otto yang tanpa arah dan usahanya untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. That’s it. 

 

A Man Called Otto (Source: IMDB)

A Man Called Otto (Source: IMDB)

 

Tapi, terus terang saja, film ini tetap menarik. Salah satunya nilai plusnya ada pada development karakter Otto. Luka masa lalu yang dialaminya membangun kepribadiannya. Walau kehangatannya diselimuti kekesalan sedingin es, ia tak pernah menutup potensi es itu dicairkan di kemudian hari karena ia sadar betul ada banyak orang peduli dan membutuhkannya. Backstorynya pun diceritakan secara runtut dan visual, tidak hanya dari dialog.

 

Selain karakter Otto, penulis juga suka dengan karakter Marisol dan Tommy yang selalu merepotkan Otto namun dapat memberikan dampak yang berarti bagi pembangunan karakter Otto seiring berjalannya cerita.

 

Karakter Marisol, di awal-awal, mungkin bisa terasa menyebalkan. Dia tidak berhenti nyerocos dengan aksen latina-nya yang medok. Apalagi, karakternya keras kepala mampus. Namun, hal itu perlahan membuat karakternya kian menarik. Ia bagai sparing partner yang sepadan untuk Otto. Otto tidak pernah memiliki “lawan” yang cukup tahan dengan dirinya, membuat kehadiran Marisol terasa kian spesial dan ia dengar segala ucapannya. 

 

Hal lain yang penulis suka dari film ini adalah aspek teknisnya. Soundtracknya terasa sangat heartwarming sebagaimana penceritaan film ini. Walaupun sebagian besar setting film ini adalah di musim dingin, namun tetap bisa memberikan pengalaman sinema yang hangat bagi penonton.

 

A Man Called Otto (Source: IMDB)

A Man Called Otto (Source: IMDB)

 

Sinematografinya ikut berkontribusi dalam hal penyampaian narasi film ini. Hal itu mengingatkan penulis bahwa film adalah media audio visual, tidak semua harus diceritakan secara verbal, namun juga harus ada penceritaan secara visual. Angle-angle dan teknik sinematografi yang digunakan di film ini betul-betul memberikan kontribusi besar dalam penceritaan sehingga memudahkan penonton untuk memahami suasana dan apa yang sedang terjadi. Hasilnya, penonton bisa semakin terasa larut dalam cerita.

 

Walaupun terasa sangat berkilau dan seperti tanpa cacat, penulis tetap merasa ada beberapa plothole yang membuat cerita film ini jadi agak kurang lengkap. Namun, kekurangan tersebut sangat bisa termaafkan dengan segudang kelebihannya yang sukses memikat hati.

 

Mungkin hal itu terjadi karena penghematan durasi sehingga ada beberapa plot yang tidak dimasukan ke dalam film. Walau begitu, menurut penulis sendiri, durasinya terasa kurang karena masih ingin melihat interaksi kakek Otto bersama tetangga-tetangganya.

 

Akhir review. A Man Called Otto adalah sebuah karya yang dibuat dengan hati yang lembut. Mungkin, karakter kakek Otto adalah karakter yang sangat kasar dan tidak ramah, namun itulah yang membuat film ini menjadi spesial. Di balik ketidakramahan dan kisah percobaan bunuh dirinya, tersimpan sebuah kisah yang sangat hangat hingga bisa menimbulkan haru di antara penonton.

 

Penulis sangat menyarankan untuk segera menonton film ini sebelum turun layar, karena cerita, karakter, dan pengalaman sinematik yang ditawarkan membuat waktu 126 menit yang teman-teman sisihkan menjadi sangat, amat, worth it.

Bagikan:

Anda Juga Mungkin Suka

Leave a Comment