Wafatnya kera pertama dengan kecerdasan seperti manusia, Caesar (Andy Serkis) membawa dampak yang besar bagi keberlangsungan makhluk hidup di bumi, ridak terkecuali manusia dan kera. Kera mendominasi hampir seluruh wilayah di muka bumi dan keberadaan manusia semakin langka dan mengalami kemunduran. Bahkan, umat manusia bisa dibilang kembali menjadi makhluk primitif yang tidak mengenal huruf maupun angka.
Beratus-ratus tahun kemudian, spesies kera terbagi menjadi beberapa kelompok dan hidup tersebar. Salah satunya Klan Elang, yang hidup berdampingan dengan burung Elang yang menjadi simbol dari kelompok mereka. Ada satu upacara adat untuk menuju fase kera dewasa, disebut Bonding Day. Pada perayaan suci itu, para kera yang mau akil baligh harus mencari telur elang dengan berkelana di hutan dan menjaga telur itu sampai upacara adat selesai. Telur tersebut dirawat sampai menetas dan mereka akan merawat burung-burung tersebut dengan baik.
Noa (Owen Teague), Soona (Lydia Peckham), dan Anaya (Travis Jeffery) mencari telur burung yang “bernyanyi” kepada mereka. Naas, Noa kurang beruntung dengan telur yang dimiliki nya sehingga harus mencari telur baru dengan waktu yang singkat. Tetapi, bukan menemukan telur, mereka malah mendapati masalah besar menghampiri desa Klan Elang yang membawa malapetaka bagi semua penduduknya.
Masalah besar itu bernama Proximus Caesar (Kevin Durand). Mengklaim sebagai rajanya para kera, ia mencoba menghapus ajaran damai Caesar pertama dan berambisi melacak semua jejak peradaban manusia yang tersisa. Ia mengganti ajaran Caesar pertama dengan semangat Survival of The Fittest di mana kelompok atau komunitas kera terkuat, yang menurutnya adalah kerajaannya, berhak untuk memperbudak komuntas atau kelompok yang lebih lemah.
Film ini akan menceritakan bagaimana perjalanan Noa menemukan kembali keluarganya dan tekad dia untuk membawa pulang semua Klan Elang yang tersisa di tengah-tengah ancaman Proximus. Apapun caranya, walaupun itu harus melawan spesies sesamanya atau bahkan mengkhianati sekutunya.
Untuk menonton film ini, PSR bisa menyarankan 2 cara. Pertama, kamu bisa menonton film ini tanpa harus menonton film-film sebelumnya yaitu Rise, Dawn, dan War of The Planet of The Apes. Alasannya, karena secara garis besar film ini mengambil kisah besar yang berbeda dan tidak sepenuhnya terkait pada trilogi Rise, Dawn, dan War. Walaupun ada beberapa istilah asing dan referens ke film-flm sebelumnya, film ini by design dibuat accessible untuk penonton baru.
Pilihan kedua, jika kamu memang mau menonton secara chronologcal order, maka kamu akan mendapat pengalaman yang lebih rewarding dalam menonton film ini. Ada banyak easter egg dan referensi yang bisa kalian dapatkan. Khusus untuk review ini, penulis akan mengambil perspektif penonton awam alias pendekatan pertama.
Overall, untuk penonton awam, film ini cukup menarik untuk ditonton, dibarengi dengan visual dari latar tempat dan para kera nya yang begitu detail. Sutradara Wes Ball secara convincing telah membangun dunia post-apocalypse yang terasa hidup dan nyata di mana manusia tak lagi berada di puncak rantai makanan. Tak mengherankan, Wes memang sudah terlatih dalam hal itu melhat direksnya di seri Maze Runner. Pengalaman menonton yang didapat bakal bikn tertarik untuk menonton film-film sebelumnya.
Honestly, penulis paling terkesima dengan visual effects CGI nya yang epic dan bagaimana kisah yang dibangun bisa accessible untuk penonton baru maupun rewarding untuk penonton lama. Sayangnya, ada beberapa scenes atau plot yang terasa kosong atau emotionless, dan dampaknya terasa pada struktur dan pacing yang terkadang terasa lamban atau disjointed. Walau begitu, hal tersebut bukan deal breaker karena film ini tetap menawarkan kisah coming of age yang thrilling perihal warisan, pengetahuan, dan kekuasaan.
In the end, film ini bisa PSR kasih approve untuk jadi rekomendasi tontonan kamu di weekend ini! Believe me, you’ll be surprised with what this movie brings to the table!
RAINI RAHMI