Garin Nugroho merilis film terbarunya berjudul Puisi Cinta yang Membunuh dengan jajaran cast yang menjanjikan seperti Mawar Eva de Jongh, Baskara Mahendra, Morgan Oey, Ayu Laksmi, Raihaanun, Kelly Tandiono, Unique Priscilla, Imelda Therinne, Cindy Nirmala, dan Yayu Unru.
Diadaptasi dari buku yang ditulis Garin Nugroho sendiri dengan judul Adam, Hawa, dan Durian, film ini bisa dibilang tumpahan perasaan Garin Nugroho dari bentuk puisi ke dalam bentuk visual. Apakah Garin Nugroho terbilang berhasil memberikan sebuah film selayaknya film adaptasi buku seperti NKCTHI? Short answer, tidak sebaik itu.
Meski memiliki portfolio film yang baik, ternyata sutradara yang terbilang karyanya selalu ditunggu para cinephile juga bisa gagal menyampaikan bentuk film eksperimental ini bisa dinikmati. Tidak seperti Kucumbu Tubuh Indahku, film ini terkesan serba nanggung, mau dibawa ke arah yang penuh dengan eksperimen dan estetika atau mau dibawa bentuknya lebih friendly dengan penonton awam?
Dibuka dengan beberapa set artistik yang ciamik dan dialog-dialog yang puitis. Adegan demi adegan dibuka terkesan seperti membaca puisi, tidak bisa ditelan mentah-mentah kata per kata, harus dimaknai terlebih dahulu dengan rasa. Puisi cinta yang kemudian ditransformasi menjadi sebuah genre thriller-horror romantis ini malah membingungkan penonton.
Di beberapa bagian awal sangat memuaskan, namun begitu mencapai babak ketiga, film ini malah menjadi membingungkan. Seakan-akan ingin menjelaskan arti dari keseluruhan film ini, malah seakan-akan disuguhkan ketidakpentingan demi ketidakpentingan. Entah informasi apa yang ingin dicapai dari beberapa karakter yang muncul untuk menjelaskan situasi yang terjadi dalam film ini. Keberadaan mereka yang memiliki backstory yang menjanjikan ini hanya ditinggalkan begitu saja.
Meski begitu, patut diakui, setiap karakter di sini memiliki akting yang luar biasa meski tidak memiliki peran yang cukup besar. Film ini merupakan contoh yang tepat bagaimana dapat membuat subplot yang sedikit, tapi bisa berkesan dan terngiang-ngiang hingga film pun berakhir.
Editing dan jahitan antar plot di film ini bisa dibilang melompat-lompat. Entah ini keputusan Garin Nugroho yang ingin membuatnya supaya terlihat puitis atau memang murni kesalahan tim editor yang mungkin tidak punya waktu dan budget untuk menyelesaikan film ini dengan deadline tertentu.
Film ini jelas tidak bisa dinikmati sebagai popcorn movie, tapi harus dinikmati dengan penuh fokus. Di sisi lain, tidak perlu menganggap film sebagai art house movie, karena sebenarnya jika disaksikan secara menyeluruh, film ini tidak sedalam itu. Akan tetapi, secara sisi artistik, film ini layak untuk disaksikan di bioskop.