Longlegs menjadi salah satu film yang banyak dibahas akhir-akhir ini. Ramai diklaim sebagai salah satu film horror terseram yang pernah ada, sulit untuk tidak memasang ekspektasi setinggi langit terhadap film garapan Oz Perkins (Blackcoat’s Daughter) ini.
Harus diakui, materi promosinya sangat-sangat convincing. Menggabungkan genre procedural-crime dengan supernatural horror, promosi Longlegs berhasil mencitrakan dirinya sebagai serial-killer thriller yang tidak hanya terasa surreal dan evil, tetapi juga puzzling. But, apakah produk akhirnya seperti promosinya? Satu kata: Almost.
Film ini mengisahkan seorang pembunuh berantai dengan julukan Longlegs (Nicholas Cage). Berbeda dibanding kebanyakan pembunuh, Longlegs memiliki kemampuan untuk membunuh orang tanpa meninggalkan jejak. Hal itu membuatnya tidak hanya sulit untuk ditangkap, tetapi juga ditakuti.
Hal tersebut tidak menghentikan langkah Detektif Lee Harker (Maika Monroe) dan Agent Carter (Blair Underwood) untuk menguak modus operandi Longlegs yang tidak wajar. Berbekal kekuatan psikis yang mempertajam instingnya berkali-kali lipat, Lee berambisi mencegah aksi Longlengs sebelum jatuh korban lebih banyak.
Tidak diperkirakan oleh Lee dan Carter, aksi Longlegs diselimuti elemen-elemen supernatural. Bagaimana tidak, jejak-jejak aksi Longlegs jauh dari kata wajar atau alami. Lee dan Carter mau tak mau tidak hanya harus mengandalkan kekuatan psikisnya, tetapi juga harus menggunakan pendekatan supernatural untuk memecahkan kasus ini.
In general, sebagai crime thriller dengan elemen supernatural horror, film Longlegs dikemas dengan sangat rapi. Kasusnya engaging dengan teka-teki yang mampu bikin penasaran dengan solusinya. Hal itu diperkuat dengan narasinya yang maju mundur dengan tiap alurnya di-treat khusus dengan aspect ratio berbeda.
Aspect ratio 2.35:1 digunakan untuk alur cerita maju, sementara 1.33:1 digunakan untuk alur cerita mundur. Pendekatan unik tersebut harus diakui sungguh membantu untuk lebih mudah memahami perbedaan dan transisi antara kedua alur cerita yang ditawarkan Longlegs.
Audio-visual wise, presentasinya juga tidak murahan. Trope-trope standar horror seperti jumpscare memang masih ada, namun eksekusinya pas dan efektif berkat kombinasi aspek visual dan sound design yang A1. Sebagai contoh, scoring yang eerie dan visualisasi yang gothic, bikin bulu kuduk berdiri, bikin gelisah sepanjang cerita, sehingga setiap kejutan (baca: jumpscare) yang ada begitu menghentak jantung. Yang lemah jantung, hati-hati saja.
Hal di atas belum menghitung imagery-imagery mengerikan yang bisa ditemukan di beberapa bagian film. Gambaran-gambaran yang demonik, berdarah, dengan bumbu-bumbu gore dan mutilasi, sukses membangun citra mengerikan dan mengecam pada diri Longlegs, bahwa seolah-olah dia bukan manusia, tetapi iblis yang dikirim langsung dari dunia lain.
Deskripsi mengerikan perihal Longlegs dan modus operandinya tidak akan terwujud tanpa bantuan akting Nicholas Cage. Aktor nyentrik itu berakting di batas maksimum, menambah lapisan kedalaman pada karakter yang ia perankan dan cerita yang disampaikan. Sayangnya, Maika Monroe, sebagai Detektif Lee, tidak memiliki gravitas yang mampu mengimbang Cage walau harus diakui dia memiliki pembawaan “final girl” pada dirinya.
Kualitas-kualitas yang dimiliki Longlegs cukup sahih untuk menyebutnya sebagai horror yang bagus. But, untuk menyebutnya sebagai film horror terbaik tahun ini, terlalu berlebihan. Longlegs adalah contoh bagus film yang been there done that.
Tidak ada hal yang benar-benar baru ataupun revolusioner pada film ini karena presentasinya yang familiar atau pernah dilakukan film ini. Jika kalian pernah memainkan game Alan Wake, Longlegs juga terasa mirip dengan game tersebut. In the end, Longlegs seperti Silence of the Lamb atau Zodiac dengan presentasi yang lebih evil.
ANDIKALIX/ ISTMAN