Seri adaptasi game The Last of Us telah menjadi sensasi sejak episode pertamanya tayang, mendapatkan sanjungan dari kritikus, fans, dan juga penonton umum. Walaupun Season 1 belum selesai tayang, banyak orang sudah menganggap The Last of Us sebagai seri yang meruntuhkan kutukan adaptasi game. Tak bisa dipungkiri, kualitas seri yang tayang di HBO itu memang jauh lebih baik dibanding mayoritas adaptasi game lainnya.
Namun setelah Episode 3 keluar, beberapa orang mulai memberikan respon negatif. Tak hanya penonton umum, gamer pun juga. Sasaran mereka adalah elemen naratif yang ada di episode dengan subtitle A Long Long Time itu. Elemen naratif yang disasar tak lain tak bukan adalah fokus pada hubungan Bill dan Frank yang diperankan secara apik oleh Nick Offerman dan Murray Bartlet.
Apa Yang Dipermasalahkan Dari Episode 3?
Beberapa orang menganggap episode 3 adalah “filler” yang tidak memajukan plot. Ada juga yang menganggapnya tidak penting karena Joel & Ellie tidak menjadi fokus. Hal yang pasti, banyak orang yang sangat vokal mengkritik elemen LGBTQ+ atau “woke” di episode itu karena dianggap merusak karakteristik Bill di sumber aslinya.
Agak disayangkan bahwa masih ada beberapa orang yang hanya melihat hal-hal seperti ini melalui sudut pandang mereka, tanpa melihat perspektif sekelilingnya. Bahkan, Episode 3 dan episode-episode sebelumnya kena “review bomb” sebagai bentuk protes.
Hanya karena satu dan lain hal , kisah seperti The Last of Us Episode 3 ataupun media naratif lain dianggap “buruk”. Hal yang sebenarnya bisa dilihat dengan wawasan yang lebih luas, malah di lihat melalui point of view yang sangat sempit. Akibatnya, pembahasan mengenai Episode 3 berpindah dari salah satu episode terbaik beberapa tahun belakangan menjadi hal-hal yang tadi disebut: “gay”, “woke”, dan “filler”.
Penulis memiliki argumen berbeda. Terlepas dari elemen-elemen yang disebut tadi, Episode 3 adalah pencapaian signifikan dari segi naratif atau storytelling. Co-showrunner Craig Mazin dan Neil Druckmann, yang juga penulis utama gamenya, membuat deviasi yang justru memperkuat tema kisah aslinya.
Lewat pengalaman Mazin menjadi showrunner miniseri Chernobyl, dan pengetahuan Druckmann mengenai cerita gamenya, kisah Episode 3 melampaui tembok hubungan yang dianggap beberapa pihak sebagai “hal yang tidak bisa diterima”.
The Last of Us = Kisah Cinta?
Kunci dari bagaimana Episode 3 bisa menembus batasan tersebut adalah “Cinta”. Inti dari kisah Episode 3 adalah “Cinta”. Dan, bisa dibilang, inti dari The Last of Us, baik game maupun serinya, sejak awal adalah Cinta di tengah Distopia. Walhasil, ketika Episode 3 menyingkirkan zombie-zombiean dan menaruh perhatian sepenuhnya bagaimana cinta tumbuh di tempat yang terduga, sejatinya itu adalah penghormatan paling nyata terhadap tema The Last of Us.
Dalam interview Buzzfeed dengan Neil Druckmann, sang co-showrunner membahas bahwa kisah game The Last of Us bertumpu pada bagaimana cinta adalah hal yang universal. Maksud Druckmann, cinta mampu melampaui segala batasan karena setiap orang tentunya mengerti dan merasakan cinta. Cinta pun juga bisa terjalin dengan berbagai cara, oleh orang-orang yang berbeda.
Menggunakan perspektif tersebut ke Episode 3, jelas bahwa Mazin dan Druckmann mencoba mengangkat apa yang sudah ada di gamenya sejak awal untuk mengkreasi narasi yang menggugah dan menyentuh hati. Episode 3 adalah sebuah kisah cinta universal, bukan eksklusif kisah gay atau kisah cinta gay.
Bagaimana dengan anggapan Episode 3 hanya “filler”? Mari kita start dari definisi “Filler Episode” itu sendiri apa.
Episode 3, Bukan Episode Filler
Pada definisi awalnya, “filler” adalah episode dengan biaya atau kualitas lebih rendah yang digunakan untuk mengisi slot waktu saluran televisi tertentu. Namun, seiring berjalannya waktu, definisi itu mengalami sedikit perluasan. TV Tropes, misalnya, menyatakan “filler” sebagai entri dalam serial yang tidak terkait dengan plot utama, tidak mengubah hubungan antar karakter secara signifikan, dan umumnya hanya berfungsi untuk mengisi ruang.
Dari definisi-definisi tersebut, bisa dibilang Episode 3 tidak masuk ke dalam kategori episode “filler“. Dari segi production value, cinematography, dan hal-hal lainnya, episode 3 jelas-jelas sangat berkualitas.
Dari segi plot, di permukaan memang kelihatannya kisah cinta Bill & Frank tidak terkait dengan plot utama. Selain itu, sorotan lebih banyak berada di pasangan tersebut dibandingkan Joel & Ellie. Tapi, jika perspektif “hate” dikesampingkan dan episode 3 dianalisa lebih dalam lagi dengan pikiran terbuka, kisah Bill & Frank adalah hal yang memperkuat tekad Joel untuk menjaga Ellie layaknya anak sendiri.
Seperti diperlihatkan di episode 1 dan 2, Joel telah kehilangan Sarah, anaknya, dan Tess, partnernya. Ada kehampaan tujuan hidup dan rasa cinta dalam diri Joel. Tapi, melalui pesan yang ditulis Bill (dan pesan Tess di episode sebelumnya), Joel menjadi sadar bahwa akan selalu ada satu orang yang layak diselamatkan. Bagi Bill, orang itu adalah Frank. Untuk Joel (dan Tess), Ellie lah yang menjadi orang tersebut.
Episode 3 Masih Dipahami Secara Dangkal
Dari semua hal yang sudah dibahas, anggapan bahwa Episode 3 adalah episode buruk, karena alasan seperti “gay”, “woke”, dan “filler”, adalah analisa yang sangat “surface level”, cetek, dangkal. Setiap cerita bisa dipahami lebih mendalam, melalui perspektif yang berbeda, untuk mengerti esensi dan inti dari naratifnya.
Sebuah analisis cerita produk budaya pop, seperti Episode 3 The Last of Us, tidak seharusnya terbatas pada konten yang terlihat, tetapi sebaiknya juga mengikutkan konteks dan konsep. Dua hal terakhir, kebanyakan reviewer, mengesampingkannya, baik disengaja ataupun tidak sengaja, sehingga tak jarang esensi dari sebuah cerita, seperti cerita Episode 3, hilang begitu saja di tengah review.
Lalu apa esensi dan inti dari naratif Episode 3? Kisah cinta yang memberikan tujuan hidup baru, yang mendorong seseorang untuk berubah dan melakukan segala hal demi orang yang dia cintai.
Akhir kata, kalau beberapa orang mengira The Last of Us mengenai zombie dan survival, berarti mereka “miss” esensinya. The Last of Us, baik game dan serinya, menceritakan tentang rasa cinta yang karena satu dan lain hal mendorong manusia untuk melakukan hal yang ekstrim, mau itu baik ataupun jahat. Dan kalau Episode 3 dikritik mati-matian karena hal-hal tertentu oleh beberapa orang, menjadi pertanyaan apakah mereka memiliki perasaan dan rasa cinta itu sendiri atau tidak.