Gersangnya pemandangan. Manusia-manusia yang putus asa. Ketiadaan hukum dan moralitas. Meskipun sedikit sekali bukunya dijadikan film (bila dibandingkan dengan Stephen King), namun perkenalan saya pada dunia Cormac McCarthy menyadari bahwa di balik hati nurani yang dimiliki, manusia hanyalah sebuah entitas tak berdaya yang menghadapi dunia yang tak bermoral.
Saya sendiri baru menonton dua (dari empat) film yang diadaptasi dari novel karya Cormac McCarthy. Pengalaman pertama masing-masing filmnya, yakni No Country for Old Man dan The Road yakni sama, yaitu serangan rasa kantuk. Seiring berjalannya usia, saya semakin memahami kedua film tersebut dan merasakan kesamaan dengan dunia yang kita pijaki, meskipun keduanya berada di waktu yang berbeda.
Dunia yang Gersang, Dunia Keputusasaan
Selagi saya menulis ini, saya terduduk di dalam kereta yang melintasi Tokyo. Asing di negeri orang dan jauh dari rumah, terkadang perasaan kalut menghampiri dan dalam hati berkata, “Apa yang terjadi? Bagaimana semua ini bisa terjadi?” Namun, perasaan itu dengan segera hilang dan sadar bahwa masih ada kereta yang harus terkejar.
Mungkin itulah yang dirasakan oleh sang sherif Ed Tom Bell dan sang ayah, ketika berhadapan dengan dunia yang sedang dihadapi.
Dunia yang dikenal Ed Tom Bell sang sherif tua di No Country For Old Men hanyalah sebuah kota tandus di pedalaman Amerika Serikat. Segalanya begitu sederhana dalam hidupnya, hingga suatu saat dia harus mengejar Anton Chigurh, seorang pembunuh berdarah dingin yang mengejar seorang warganya. Di akhir cerita, sang sherif yang kalah akhirnya merenungkan mimpinya.
Dibandingkan dunia Ed Tom Bell, dunia yang harus dilalui ayah dan anaknya di film The Road adalah dunia apokaliptik. Mereka harus menghadapi kanibal dan penjahat di sepanjang cerita untuk bertahan hidup. Lanskap pemandangan yang asing nan gersang menghiasi jalan mereka menuju ke Selatan. Di dunia apokaliptik seperti itu, hanya ada akhir yang tragis bagi para protagonis, sedangkan harapan adalah sesuatu yang telah hilang ditelan bumi.
Terlepas dari kedua film adaptasi novel lainnya (yang mendapatkan sambutan buruk dari para peninjau) yang belum akan saya tonton, kedua film yang diambil dari 12 novelnya seakan merangkum dari seperti apa dunia yang menafikkan humanisme dan membiarkan takdir yang kejam menentukan nasib manusia ala McCarthy.
Indahnya Dunia Kegelapan McCarthy
Cormac McCarthy yang lahir dengan nama Charles Joseph McCarthy Jr pada 20 Juli 1933 baru saja meninggal 13 Juni 2023. Sepanjang karirnya, dia ‘hanya’ menulis 12 novel, lebih sedikit dibandingkan penulis populer lainnya seperti Stephen King atau JK Rowlings. Terkenal dengan gaya penulisannya yang tidak menyertakan tanda baca yang khas demi, karya-karya McCarthy membawa pembacanya turut serta ke dalam dunia novelnya.
Saya sendiri baru membaca satu bukunya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu No Country for Old Men. Berbeda dengan karakter dalam dunia Harry Potter atau Percy Jackson, saya tidak merasa tertarik dengan kisah pelarian Llewyn Moss dari Anton Chigurh. Namun, McCarthy membawa saya ke dalam jalinan takdir yang getir yang memilin kisah Moss, Chigurh, dan sang sherif tua Ed Tom Bell.
McCarthy menuliskan ceritanya bukan untuk jatuh cinta atau memahami perjuangan karakternya, melainkan membawa pengalaman kepada pembacanya untuk merasakan ‘dunia yang ditinggalkan, dunia yang dilukai oleh diri kita sendiri dan oleh kekuatan di dalam dan di luar kendali kita’ sebagaimana yang dideskripsikan oleh Sophie MacKintosh terhadap pilihan dunia McCarthy. Namun dibalik dunianya yang penuh kekejaman dan keputusasaan, kita masih bisa menemukan keindahan dari sifat manusia seperti “Batu putih kering dari dasar sungai mati yang bulat dan halus seperti telur misterius” sebagaimana diambil dari bukunya Blood Meridian (1985).
Seiring dengan usainya perjalanan hidup McCarthy, mungkin kita akan semakin jarang menemukan dunia western yang tandus atau dunia apokalips yang hancur. Dengan karya-karyanya yang bisa dikatakan hampir mustahil difilmkan (hanya dua dari empat judul yang disambut hangat oleh kritikus dan penonton), studio-studio besar tentunya tak ingin menghamburkan uang demi dunia penuh kekerasan McCarthy. Industri sinema kita tidak akan menyambut dunia McCarthy, sebagaimana ucapan Ed Tom Bell, “And I think a man would have to put his soul at hazard. And I won’t do that. I think now that maybe I never would.”