Proses rekontruksi sebuah komposisi musik klasik harus melibatkan kedisiplinan penuh, mulai dari menaati rambu-rambu musik di lembaran partiturnya, hingga akurat dalam menginterpretasikan gagasan sang komposer. Untuk seseorang berjuluk “maestro”, hal tersebut tentu saja mudah untuk dilakukan, tapi tidak dengan sebuah film berjudul Maestro.
Maestro sejatinya hadir sebagai proyek aktualisasi diri seorang Bradley Cooper. Menjadi sutradara sekaligus aktor utama pemeran Leonard Bernstein, Cooper memperlakukan film garapannya selayaknya rekontruksi komposisi musik klasik. Dia tekun mempelajari tokoh yang diperankannya, disiplin mendaur ulang gerak tubuh dan cara bicaranya, tapi luput mencurahkan gagasan. Kesalahan fatal seorang maestro yang kadung dikuasai ambisi.
Jika bukan karena mengenal sosok Leonard Bernstein, jujur saya tak akan menyangka Cooper sedang memerankan tokoh sungguhan. Kedisiplinannya dalam berakting tampak begitu otentik sehingga ia hampir tak dikenali. Cooper adalah Bernstein, Bernstein adalah Cooper.
Tak Peduli Bagaimana Maestro Bercerita
Beruntunglah Cooper, ia dikelilingi oleh jajaran karunia akting berupa Carey Mulligan, Matt Boomer, dan Maya Hawke yang selain menguatkan penokohan Cooper sebagai Bernstein, tapi juga lalai ia manfaatkan. Tugasnya sebagai sutradara yang sudah sepenuhnya tuntas di bagian akting, dinodai oleh ketidakmampuannya mengolah naskah.
Cooper seolah tak pernah peduli bagaimana Maestro akan bercerita. Dia bahkan memulai filmnya dengan melompati setengah masa hidup Leonard Bernstein. Alhasil kita tak pernah tahu mengapa karakteristik dan sifat-sifat Bernstein bisa terbentuk, apa motivasi yang mendasari berbagai keputusannya, dan semua itu karena Cooper enggan menyediakan proses abstraksi guna meraba siapa sosok yang sedang dihidupkan kembali melalui film biopik ini.
Menonton Maestro di satu jam pertamanya—yang ditandai dengan penggunaan warna hitam putih—terasa seperti membaca satu halaman penuh wikipedia tentang Leonard Bernstein.
Bagaimana dia bertemu tokoh A, lalu bertemu lagi dengan tokoh B, hingga menjalin hubungan dan berkonflik dengan tokoh C, semuanya adalah materi wikipedia yang difilmkan dengan sangat tekstual. Bahkan, wikipedia malah lebih sudi menampilkan kejeniusan musikal Bernstein ketimbang film itu sendiri.
Musik dikisahkan sebagai bagian terpenting dari kepingan hidup Bernstein. Namun, kecintaannya pada musik rupanya hanya bercokol di dialog, atau lebih pantas disebut rangkaian obrolan kosong penambah durasi film. Setidaknya film ini sukses mencapai durasi dua jam.
Sudah Malas Bercerita, Kehilangan Fokus Pula
Satu-satunya hal positif yang bisa diperoleh dari paruh pertama film ini adalah sintesis berupa selipan segmen musikal dari sosok Bernstein dan kekasihnya, Felicia Montealegre (Carey Mulligan), yang merupakan seorang aktris. Segmen itu terasa spesial berkat gerak kamera yang berhasil menangkap intimasi di antara keduanya seraya menjembatani adegan berikutnya dengan sebuah transisi apik.
Namun, “transisi” berbalik menjadi masalah ketika paruh kedua film mulai beralih fokus pada isu orientasi seksual Bernstein. Jika yang disebut “transisi” itu ditandai oleh usainya penggunaan warna hitam putih, maka yang terjadi hanyalah penyusutan kreativitas belaka. Cooper sedang mempertunjukkan kemalasan bercerita.
Apa yang sebenarnya ingin Cooper sampaikan? Jika ingin menghidupkan kembali kejeniusan musikal Leonard Bernstein, justru kehidupan romansanya yang ditonjolkan. Jika ingin mengumbar keresahan tentang kejamnya dunia heteronormatif, usahanya sekadar malu-malu. Lalu apa? Tentu saja ambisi meraih Oscar pertamanya sebagai aktor utama.
Maestro berakhir menjadi luapan ego penuh ambisi dari Bradley Cooper. Memang, aktingnya begitu sempurna dan tak menyisakan. Riasan tebal di penghujung film pun tidak sanggup menopengi mimik wajahnya yang tak hanya otentik, tapi juga berisi semburat pergolakan batin sosok yang diperankannya.
Namun, Cooper bisa dibilang kurang maksimal dalam perannya sebagai sutradara. Dia layaknya seorang buta nada yang sedang menggubah notasi secara sembrono hingga harmoni yang menyeruak adalah bebunyian disonan nan sumbang, sama seperti film garapannya yang dipenuhi bagian rumpang. Ternyata Maestro tak selalu menghasilkan karya masterpiece.
Keberhasilan film ini masuk ke nominasi Best Picture Oscar pada akhirnya menjadi pertanyaan tersendiri. Apa yang dilihat juri dari film yang gagal mencoba menjadi maha karya ini?