Seks jadi salah satu “daya tarik” wisata di Thailand. Seks jadi nilai berita dalam jurnalisme. Seks juga tak jarang jadi nilai jual sinema. Doctor Climax melahap ketiganya; Thailand, berita, dan sinema dengan lingkup narasi seksualitas yang dikemas secara edukatif dan dipoles dengan agak nakal meski penuh sensitivitas.
Ceritanya tentang Dr. Nat (Ter Chantavit), seorang dokter dermatologi yang bercita-cita jadi penulis novel berbekal imajinasi kotornya. Bertemanlah ia dengan Thong Thien (Chaiwat Thongsaeng), jurnalis di Bangkok Express, dengan maksud memperoleh masukan tentang nasib novel yang ia tulis. Tapi Thien tak terkesan dengan novel Dr. Nat.
Di satu sisi, Bangkok Express sedang terpuruk menghadapi kompetitor yang menjual potret model berpose vulgar di lembarnya. Thien terinspirasi untuk menghadirkan hal serupa namun dengan cara yang lebih edukatif, yakni tanya-jawab seks. Dr. Nat ditawarkan untuk mengisi kolom itu. Meski awalnya enggan, ia tertarik juga.
Dr. Nat percaya seks bukan hal kotor dan tak perlu malu untuk membicarakannya, toh, semua orang melakukannya. Dengan prinsip itu, ia dengan tekun membalas berbagai jenis surat terkait seks dari pengirim anonim berlandas jurnalisme kepiting.
Namun, di balik itu semua, kehidupan rumah tangganya sendiri justru di ambang kehancuran, salah satu faktornya karena seks yang melempem. Problem lain juga hadir dalam wujud Linda (Goy Arachaporn) – desainer grafis Bangkok Express – yang jadi pelarian Dr.Nat dari istrinya, Tukta, (Chermawee Suwanpanuchoke).
Dari judul dan sinopsis, kesannya series ini penuh dengan seks dan seks ala Sex Education yang punya premis agak-agak mirip. Penulis pun sempat berpikir ke arah sana. Surprisingly, walaupun mengusung judul yang menggoda, nyatanya series ini tak sevulgar itu, terutama dalam menyajikan adegan ranjang. Eksplanasi verbal seksnya lah yang justru blak-blakan.
Barangkali hal itu sejalan dengan visi sutradara untuk menghadirkan ketabuan seks secara meyakinkan karena fokus sepenuhnya Doctor Climax ada pada persepsi seksualitas dan pembahasannya di masyarakat.
Seksualitas tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga rumah tangga dan masyarakat secara keseluruhan. Itulah yang jadi sorotan utama Doctor Climax.
Penulis skenario sekaligus sutradara Kongdej Jaturanrasmee punya pendekatan unik dan fondasi kuat dalam bertutur melalui seks; “Seks adalah alat yang baik untuk mendiskusikan gambaran masyarakat yang lebih luas,” katanya. Tawaran yang menarik.
Di masa itu (1970an – seting Doctor Climax), Thailand dilanda kekacauan politik dan kemiskinan. Imbasnya, prostitusi menjamur demi memenuhi ekonomi dan hasrat turis yang berdatangan (termasuk tentara perang). Sedikit banyak mengingatkan dengan serial Thailand SixtyNine.
Thailand kerap jadi tujuan istirahat dan rekreasi prajurit militer AS yang lelah berperang pada Perang Vietnam. Meningkatnya kemiskinan di pedesaan, khususnya pada tahun 1960an dan 1970an, menyebabkan industri seks di perkotaan menguntungkan dan menggiurkan.
Thai Film Archive sebagai referensi dalam menghadirkan nuansa 70an tak sia-sia dilakukan. Doctor Climax begitu meyakinkan dalam menampilkan Bangkok periode tertentu, menambah keaslian kisah yang diceritakan.
Nuansa 70an itu juga memperkaya penggambaran karakter. Series ini menggunakan shortcut dalam menjelaskan karakternya melalui wardrobe. Cara pintar untuk memperkenalkan karakter tanpa repot menjelaskannya lewat narasi berbelit. Lihat saja bagaimana series ini menampilkan Dr. Nat yang kaku, Linda yang bebas, dan Thong Thien yang maskulin. Bahkan karakter Tukta juga berhasil menjelma cerminan perempuan idaman Thailand yang mewakili pengaruh peran agama dan stratifikasi gender di masa itu.
Tetapi, Doctor Climax mengambil jarak aman dari masalah-masalah tertentu di periode itu. Prostitusi disenggol sedikit-sedikit saja, selebihnya isu dialihkan dan memilih berbicara soal (salah satu) “penyebab” dari mencuatnya aktivitas kotor ini; pendidikan seks.
Series delapan episode ini berusaha memberi gambaran bagaimana awam dan tabunya masyarakat Thailand di masa itu soal seks. Kalau memang demikian niatnya, Kongdej berhasil.
Namun yang sulit dipahami, mengapa kolom tanya-jawab Dr. Nat sebegitu kacau dampaknya dan sekeras itu memeroleh pertentangan, sementara ada masalah yang lebih urgen; prostitusi – juga kompetitor Bangkok Express dengan lher journalism-nya.
Bahkan antagonisnya, Pornchai (Nimit Luksameepong), pun bergerak tanpa motif yang kuat untuk mencegat penerbitan kolom Dr. Nat. “Mendisiplinkan masyarakat”, katanya. Ancaman dengan motivasi dangkal begitu kesannya seperti dibuat-buat. Cukup lama bagi saya untuk memeroleh setitik jawaban.
Pertaruhan Dr. Nat jauh lebih mengkhawatirkan kala menyangkut kehidupan rumah tangganya. Tak seperti konfliknya dengan Pornchai, sehubungan dengan masalah rumah tangga Dr. Nat, penonton diberi kesadaran penuh bahaya yang akan datang.
Meski begitu, Doctor Climax yang diperlakukan sebagai cerminan bagaimana minimnya pendidikan seks masyarakat kala itu melalui pertanyaan-pertanyaan yang dikirim ke Dr. Nat – mulai dari pertanyaan standar sampai ngawur – begitu kuat dampaknya membuat cerita jadi lebih menarik.
Soal pertanyaan-pertanyaan seksnya, Kongdej sepertinya paham betul hal-hal lucu dan miris tentang ketidaknyamanan seseorang/ masyarakat terhadap seks – mungkin karena terinspirasi kolom seks asli. Series ini menyajikan fakta-fakta seksnya tanpa niat jahat dan lugas dalam cara medis sehingga penonton juga belajar sesuatu.
Dr. Nat menjawab setiap pertanyaan seks dengan kehati-hatian dan penuh sensitivitas. Bahkan Doctor Climax memberi perlakukan spesial untuk setiap pertanyaan dengan menyelipkan adegan khusus kisah pengirim surat dan masalah seks yang dialami. Eksplorasi terutama datang dari editing, pergerakan kamera, dan musik, sampai terkadang hasilnya komikal – miris, bukan kurang ajar.
Walaupun tetap mempertahankan komedi khas Thailand yang nyeleneh, komedi Doctor Climax tak terlalu esensial untuk kebutuhan cerita. Tak jarang gimik lucu-lucuan yang dihadirkan lewat humor ‘norak’ dan slapstick-nya itu berlebihan dan bikin cerita jadi lambat.
Namun ada masalah yang lebih krusial dari sekadar humor garing , yakni pacing. Meski pacing bisa digubah saat proses syuting dan editing, pacing dalam Doctor Climax tampaknya berakar dari skenario. Bahkan saya hampir beralih tontonan karena ceritanya lari di tempat (episode-episode awal). Terlebih segala jenis klise bermunculan.
Doctor Climax kelamaan klimaks. Akibatnya penonton kecapekan. Beruntung hal itu terbayar di episode-episode selanjutnya tatkala series ini menghadirkan bigger problem dan menutup tiap episodenya dengan shocking moment. Formulaik tapi work.