“The rush of battle is often a potent and lethal addiction, for war is a drug”
–Chris Hedge dalam buku War Is a Force That Gives Us Meaning
Tak bisa dipungkiri bahwa semenjak serangan dua pesawat terhadap gedung World Trade Center di Amerika Serikat (AS) pada 9 September 2001, dunia yang kita tempati tak pernah sama lagi. Tak berlebihan menyebut event yang diberi nama sandi “9/11” itu sebagai salah satu peristiwa monumental bagi Amerika setelah Kejatuhan Uni Soviet di akhir Abad 20.
Kejatuhan Uni Soviet membuat AS membutuhkan tantangan (bila tidak dibaca sebagai ‘musuh’) yang baru. Berbagai konflik yang berkembang setelah kejatuhan Raksasa Timur (Perang Teluk, Perang Bosnia) pun tak cukup memuaskan ‘keinginan’ berperang Paman Sam, sebagaimana kutipan di kalimat pembuka tulisan ini. 9/11 memberi kesempatan berperang itu.
Begitu 9/11 terjadi, tak ada lagi titik balik bagi penduduk bumi karena semboyan ‘War on Terror’ Amerika dan sekutunya. Seperti yang dikatakan oleh Jean Baudrillard, serangan tersebut adalah “decisive moment” yang selamanya mengubah lanskap politik, sosial dan psikologis Amerika.
Dampaknya tak hanya terasa dalam segi sosiogeopolitik Amerika, tetapi juga mengubah lanskap sinema Amerika (dan dunia) alias Hollywood. Insiden yang menewaskan hampir tiga ribu orang tersebut masih meninggalkan bekas luka di sinema. Tak hanya bagi industrinya, tapi juga penontonnya. Seluruh dunia bisa merasakan bagaimana sinema Amerika berubah pasca 9/11 dan salah satunya perihal bagaimana sebaiknya mengintepretasi peristiwa tersebut.
Sinema Dan 9/11 Sebagai Peristiwa Apokaliptik
Tulisan oleh Michiko Kakutani di New York Times dua hari setelah serangan menggambarkan aspek peristiwa ‘9/11’ dan gambaran filmik yang mirip dengannya. Hal itu disampaikkannya lewat komentar “ada kesan awalnya déjà vu dan ketidakpercayaan di pihak penonton ini”. Ia juga mengutip keterangan salah satu saksi mata yang berkata “orang-orang yang melihat bencana mengira mereka sedang melihat Die Hard 2”. Seorang juru kamera CNN, yang berada di lokasi, pun berkata kepadanya, “seperti meliput film horor yang sangat buruk’.
Interpretasi media massa kemudian menggaungkan serangan tersebut kepada dunia dengan judul-judul bombastis dalam bahasa apokaliptik. Beberapa di antranya seperti ‘‘Is This The End of The World?’ (Apakah Ini Akhir dari Dunia?), ‘‘Doomsday America” (Hari Kehancuran Amerika)‘ hingga yang sekadar ”Apocalypse” (Kiamat).
Gema itu kemudian mempopulerkan topik apokaliptik dalam berbagai media seperti novel The Road karya almarhum Cormac McCarthy yang dianggap penggambaran wajah apokaliptik Amerika dan berbagai dokumenter. Namun, media yang paling efektif untuk menyampaikan gambaran perihal 9/11 adalah sinema. Sinema, salah satunya, menyediakan benang merah antara bagaimana perubahan perspektif kiamat terbentuk dengan insiden 9/11.
Yang menarik, tema apokaliptik yang menggambarkan serangan 9/11 tak sepenuhnya berdasar pada serangan tersebut. Pendekatan yang muncul beragam jika tidak ingin dikatakan “liar. Berbagai referensi dikutip dan tidak sedikit yang mengacu pada ramalan kiamat oleh Nostradamus. Nostradamus meramal, bumi akan berakhir ketika masuk milenium baru.
Salah satu contohnya ada dalam tulisan yang berjudul “You’ve Gotta Keep the Faith: Making Sense of Disaster in Post 9/11 Apocalyptic Cinema” di Journal of Religion & Film (2015). Sang penulis, Matthew Lagget, menggambarkan serangan 9/11 sebagai perwujudan ramalan kiamat Nostradamus di mana ‘kekuatan jahat’ dan ‘setan’ pada ramalan terkait direpresentasikan oleh sosok ‘teroris’ dan ‘terduga teroris’. Singkatnya, Lagget berkata, kiamat tidak datang dari langit melainkan bangsa asing di luar Amerika.
Gambaran apokaliptik yang digaungkan tak lama setelah 9/11 itu ikut merembet ke industri sinema, mempengaruhi pendekatan cerita dalam film-film blockbuster. Salah satunya, apabila film-film bergenre Disaster dan Sci-fi dulu menyediakan ending yang lebih optimistis, film Disaster dan Sci-fi pasca 9/11 lebih berani mengakhiri film se-pesimistis mungkin (baca: bad ending).
Sulit membedakan? Coba bandingkan film Disaster dan Sci-fi sebelum 9/11 yaitu Independence Day dan Armageddon dengan film sesudah 9/11 seperti War of The Worlds dan Cloverfield. Dua judul pertama menyediakan ending yang penuh dengan harapan kemenangan umat manusia. Dua judul terakhirr menekankan kehancuran dan keruntuhan peradaban masyarakat (Amerika) setelah serangan. Manusia mungkin bertahan hidup di kedua judul terakhir tapi dunia tak lagi layak bagi mereka.
Amerika Sebagai Jagoan Sinema Pasca 9/11
Meski 9/11 membuat sinema Amerika lebih berani mengambil bad ending, tidak semuanya memajukan treatment itu,. Ada yang kembali mengangkat genre War Movie dengan setting Timur Tengah, seperti dulu setelah Perang Vietnam, dan menekankan perasaan feel good, patriotik, dan superior.
Ada juga film-film yang menggambarkan detik-detik selama dan setelah serangan 9/11 dengan nuansa yang lebih optimistis, seperti World Trade Center karya Oliver Stone atau United 93 karya Paul Greengrass yang mengambil tempat di salah satu pesawat yang dibajak teroris Al-Qaeda. Pada intinya, industri sinema mencoba mengkapitalisasi peristiwa 9/11 tanpa memicu trauma warga Amerika.
Gayung bersambut, Presiden Amerika saat itu, George W. Bush, menggaungkan semangat War on Terror. Hollywood seperti mendapat momen, isu, dan justifikasi membuat film-film perang setelah 9/11 dengan Amerika sebagai jagoannya.
Menariknya, industri sinema tidak hanya sempat menjadikan topik 9/11 sebagai pengingat yang mengubah peradaban manusia, tapi juga mendefinisikannya pemisah antara ‘dunia Amerika dan sekutunya’ dengan mereka di sisi seberang yang didefinisikan sebagai ‘musuh’ Amerika dan ‘Dunia Bebas’.
Dalam hal tersebut, sinema tak hanya menjadi media untuk menyajikan perspektif Amerika pasca 9/11, tetapi juga menggambarkan ambisi politik Amerika. Beberapa di antaranya bahkan tidak tersirat dengan menunjukkan agresivitas mereka untuk menghancurkan apa yang mereka sebut “musuh”.
Dalam “Regarding the Pain of Others: Scenarios of Obligation in Post-9/11 US Cinema” yang dipublikasikan oleh Journal of American Studies (2011), Guy Westwell mendeskripsikan bagaimana beberapa produk sinema Amerika yang populer seperti Man of Fire (2004), Taken (2008), dan Rambo (2008) menggambarkan Negeri Paman Sam sebagai sosok korban yang diwakilkan dalam bentuk wanita atau anak kecil.
Hal itu, menurut Westwell, untuk membangun pemahaman bahwa ketika musuh mengancam Amerika, maka kekerasan yang bersifat retributif dibenarkan. Secara eksplisit Hollywood menggambarkan peran Amerika sebagai pembebas sekaligus pembalas terhadap ancaman musuh Amerika.
Apakah kesan yang dibangun itu bertahan? Jawabannya masih. Mekipun tema pahlawan super dan adaptasi komik atau biografi semakin umum diangkat, kisah-kisah kepahlwanan khas Amerika pasca 9/11 tetap digemari oleh industri Hollywood. Seolah-olah seperti propaganda perang pasca Perang Dingin dan Perang Vietnam terulang lagi. Hal itu mungkin seperti yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa “Sejarah akan berulang dengan sendirinya”,
Namun, waktu adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Seiring berjalannya waktu, topik itu akan mengabur (bahkan berubah) dengan sendirinya di bawah derasnya arus perkembangan dunia yang terus bergerak maju hingga terjadi peristiwa monumental berikutnya.
Hal itu mirip dengan komentar Jendral Douglas MacArthur, Pahlawan Perang Pasifik, yang menolak meluasnya Perang Vietnam karena bahwasanya orang Amerika akan semakin enggan berperang demi negaranya. Dikaitkan dengan 9/11, perkembangan terbaru menunjukkan pemahaman terhadap 9/11 sekarang tak lagi sehitam putih dulu. Dari yang sesederhana War on Terror, berkembang diskursus 9/11 adalah imbas dari buruknya kebijakan luar negeri Gedung Putih. Film Vice bisa membantu memberikan gambaran itu.
Pada akhirnya, sebagaimana kutipan Chris Hedge dalam awal tulisan ini, tema perang pasca 9/11 kemudian menjadi cerita yang digambarkan oleh industri Hollywood layaknya obat-obatan yang kemudian menjadi resisten bagi jiwa masyarakat Amerika dan dunia.