Semua rivalitas memiliki kisah di baliknya. Banyak di antaranya bersifat tragis tanpa adanya titik damai untuk mereka yang berseteru. Namun, tak sedikit juga yang berakhir manis, dengan lawan berubah menjadi kawan. Obi-Wan Kenobi dan Anakin Skywalker, Rocky Balboa dan Apollo Creed, Neo dan Agent Smith, hingga Prof X dan Magneto adalah beberapa rivalitas terbaik dalam sejarah sinema dengan kisah yang tak kalah compelling di baliknya.
Tentu kita tidak bisa melupakan Optimus Prime dan Megatron dari franchise Transformers. Jika ditarik mundur, perseteruan keduanya sudah berlangsung puluhan tahun, melintasi beragam medium dari serial animasi, komik, hingga film. Berbagai kisah pun sudah disampaikan perihal rivalitas mereka.
Namun, seperti kebanyakan franchise yang kisahnya sudah berlangsung puluhan tahun dan transmedia, sulit untuk mengetahui mana kisah rivalitas Optimus dan Megatron yang sifatnya canon dan definitif. Di sisi lain, bagi fans baru, sungguh sebuah PR untuk mengejar ketertinggalan atas lore keduanya yang terus berkembang.
Bagaimana jika semua itu diringkas, menjadi kisah yang accessible bagi segala kalangan, dan berfokus pada periode-periode tertentu pada kisah rivalitas mereka? Itulah premis dasar dari Transformers One, film terbaru dari franchise robot yang mampu berubah menjadi beragam bentuk kendaraan dan senjata tersebut.
Disutradarai oleh Josh Cooley, yang juga penulis dari beberapa title Toy Story, Transfomers One mengambil setting jauh ke belakang. Film ini tidak bersetting di bumi masa kini seperti Transformers garapan Michael Bay, tetapi di Cybertron sebelum Perang Sipil Cybertronian antara Autobot pimpinan Optimus Prime dan Decepticon pimpinan Megatron terjadi.
Baik Optimus maupun Megatron tidak langsung terlahir sebagai leader dan pejuang seperti yang kita kenal. Bahkan, Optimus maupun Megatron bukan nama asli mereka. Sebelum menjadi pemimpin kedua faksi terbesar dalam sejarah Cybertronian, mereka adalah Orion Pax (Chris Hemsworth) dan D-16 (Bryan Thee Henry), robot kelas proletar yang bekerja di pabrik-pabrik suku cadang kota Iacon.
Terlahir dari kelas pekerja, baik Orion maupun D-16 memimpikan Cybertron yang lebih adil dan demokratis di mana robot-robot seperti mereka juga memiliki kesempatan untuk berkembang dan memiliki hidup layak, tidak selamanya terjebak di pabrik yang penuh oli, panas, dan pengap itu. Mereka juga ingin bisa bertransformasi seperti robot-robot kelas elit,. Problemnya, bagaimana menyuarakan keluhan itu terhadap Sentinel Prime (Jon Hamm), de facto leader Cybertron pasca pembantaian para Prime oleh Quintesson?
Berbagai cara dilakukan Orion dan D-16 untuk menarik perhatian Sentinel Prime, termasuk mengikuti balapan Iacon 5000 yang brutal, mematikan, dan rutin diselenggarakan untuk menghibur warga Cybertronian. Namun, alih-alih mendapat jawaban, mereka malah diasingkan dari permukaan Iacon, ke level terdalam, di mana mereka tidak hanya menemukan robot pemulung cikal bakal Bumblebee, B-127 (Keegan Michael Key), namun sebuah distress signal dan peta dari Alpha Trion (Laurence Fishburne) yang menunjukkan bahwa there are more than meets the eye perihal naik tahtanya Sentinel Prime.
Di atas kertas, premis Transformers One patut diakui memang terdengar keran. Elemen pertarungan kelas, perang sipil, kudeta, dengan bumbu rivalitas di atasnya langsung memunculkan bayangan akan sebuah drama politik yang kental. Realitanya, Transformers One relatif jauh dari bayangan tersebut. Seperti yang sempat diktakan di atas, Transformers One dibuat se-accessible mungkin untuk berbagai kalangan alias dibuat untuk penonton anak-anak.
Ya, buang jauh-jauh drama politik Cybertronian ala trilogi War of Cybertron yang ada di Netflix. Transformers One ibarat paket Happy Meal yang porsinya kecil, cepat dikonsumsi, kemasannya fun, tapi ada elemen keren di dalamnya. Dengan durasi kurang dari dua jam, Transformers One memangkas banyak sekali elemen integral yang mendefinisikan rivalitas Optimus dan Megatron pada lore Transformers established.
Sebagai contoh, Transformers One tidak memandang penting sejarah panjang Megatron sebagai salah satu petarung handal di medan gladiator Cybertron. Bagaimana Orion sejatinya mengidolakan Megatron karena kemampuan berubah dan bertarungnya, walau dikhinati di kemudian hari, juga tidak disinggung. Transformers One lebih memilih untuk fokus pada elemen-elemen rivalitas yang ramah anak dan bisa diberi bumbu komedi.
Hasilnya adalah relasi Optimus dan Megatron yang relatif asing untuk penggemar setia Transformers ataupun mereka yang selama ini mengikuti filmnya. Idolship yang mengawali rivalitas mereka diganti dengan “Bro-ship”. Kepribadian mereka pun dibuat berbeda walaupun naskah dari Andrew Barrer, Gabriel Ferrari, dan Eric Pearson secara apik menunjukkan bagaimana kepribadian baru itu nantinya akan mengarah ke karakteristik yang penonton sudah familiar.
Orion, misalnya, digambarkan seperti percampuran Martin Riggs dari Lethal Weapon dan Thor post Dark World yang begajulan, memiliki mental YOLO atau Do Or Die. Walau begitu, Orion memiliki sedikit “spark of leadership” yang akan kian kentara ketika menjadi Optimus nanti. Sementara itu, D-16 digambarkan memiliki kepribadian yang kaku, taat pada protokol, dan mencintai kontrol di mana merupakan benih-benih kediktatoran ia di kemudian hari, sebagai Megatron.
Yang menjadi masalah, pemangkasan berbagai lore Optimus dan Megatron yang sudah established menyebabkan development karakter Orion dan D-16 menjadi Optimus dan Megatron yang kita kenal berlangsung begitu cepat. Beberapa bagian bahkan terasa tidak natural karena perubahan karakter yang begitu mendadak dan tidak berdasar kuat. Untuk penonton anak-anak, hal ini bukan kendala, namun menjadi masalah bagi penonton dewasa di mana koherensi dan natural progression diekspektasikan.
Pendekatan kanak-kanak tersebut dipertegas art-style yang lebih mendekati gaya animasi Dreamworks. Dengan kata lain, Cybertron pada Transformers One sangat colorful, sangat vivid, dengan desain karakter-karakter penghuninya lebih cartoonish lagi dibanding Transformers G1 ataupun Transformers-nya Michael Bay. Jujur saja, penulis mengharapkan art direction yang lebih mendekati opening Bumblebee di mana berhasil menyeimbangkan gaya G1 dan Michael Bay.
Terlepas presentasinya yang pop dan kids friendly, harus diakui Transformers One memiliki beragam adegan laga yang keren di mana mengutilisasi kemampuan beragam Cybertronian. Beberapa di antaramya memang terasa frantic dengan banyaknya ragam transformers yang ditampilkan dalam satu layar. Namun, spectacle yang dihadirkan begitu menghibur dengan berbagai referensi ke lore Transformers, baik dalam hal gerakan maupun senjata yang dipakai. Seperti yang biasa saya katakan, you’re in for a funny and joyful treat.
Sektor komedi itu tidak lepas dari keberhasilan Chris Hemsworth menyuarakan Orion/ Optimus. Walau sesekali ia masih terdengar seperti Thor, namun di banyak bagian ia berhasil menunjukkan bibit bibit gravitas yang biasa dicurahkan Peter Cullen selaku suara definitif Optimus Prime. Sayangnya, Bryan Thee Henry, imo, adalah sebuah miscast. Walau ia setengah mati tampil angsty sebagai D-16, kualitasnya jomplang dibandingkan Chris, apalagi dengan Frank Welker, pengisi suara original Megatron.
In the end, jika kalian memiliki anak-anak dan ingin memperkenalkan mereka terhadap Transformers One adalah film yang lebih pantas sebagai introduksi dibandingkan Transformers-nya Michael Bay. Saya tidak akan merekomendasikan film ini untuk penggemar berat Transformers, namun tidak ada salahnya mencoba jika butuh hiburan Transformers ala Happy Meal yang ringan, mudah dikonsumsi, berkemasan lucu, namun punya elemen keren here and thre.