Film adaptasi novel Ika Natassa berjudul sama dengan bukunya, The Architecture of Love (TAOL), menceritakan trauma kisah cinta di masa lalu dan bagaimana cinta juga yang dapat memulihkannya. Sesuai judulnya, dalam membangun cinta, masing-masing pihak harus berani dan punya andil dalam membangun fondasi hubungan mereka.
Bercerita tentang seorang penulis bernama Raia (Putri Marino) yang pergi ke New York untuk mencari inspirasi menulis sejak ia mengalami writer block akibat dikhianati oleh suaminya sendiri. Ia bertemu dengan River (Nicholas Saputra), seorang arsitek yang menarik hatinya saat pertama kali bertemu dan berhasil membangkitkan inspirasinya kembali.
Jika menjadikan latar New York sebagai latar utamanya, sayang sekali jika tidak membahas arsitektur dari gedung-gedung yang berada di New York. Dari sinilah bagaimana chemistry Raia-River terbangun, River mengajak Raia untuk mengelilingi dan melihat kota New York dengan cara yang berbeda. Sekilas, bagaimana cara River memberikan tour guide kepada Raia mengingatkan Tom yang menceritakan Los Angeles Plaza kepada Summer di film 500 Days of Summer.
Beruntungnya, kota New York memiliki sihirnya sendiri. Di manapun set tempat syuting ini berada selalu berhasil memanjakan mata penonton. Ditambah lagi, film ini mengeksplorasi dan menyorot arsitektur-arsitektur kota New York beserta dengan cerita di balik pembangunan arsitektur tersebut.
Sejak saat itu film ini mengalir secara sederhana beriringan dengan subplot yang ada. Kebetulan-kebetulan terjadi yang terbilang pretensius ini tidak menimbulkan kesan lazy writing. Entah bagaimana, kesederhanaan dari sisi plot dan chemistry di antara Raia-River terasa tetap dapat dinikmati dengan nyaman.
Akting Putri Marino dan Nicholas Saputra terbilang berhasil karena dapat membawa kita sebagai penonton untuk tersipu malu dengan chemistry mereka yang ditampilkan di setiap adegan-adegan sederhana. Tidak perlu dialog yang penuh dengan filosofis, hanya sekadar obrolan keseharian saja dapat membuat kita kembali teringat pada masa-masa sedang kasmaran.
Awalnya, kita digiring bahwa subplot yang ada hadir untuk bumbu-bumbu kisah Raia-River dan tidak begitu berarti sepenuhnya. Namun, ketika setiap revelation muncul di film ini, hal yang kita anggap cuman numpang lewat, nyatanya menjadi plot devices penting dalam pengembangan karakter Raia dan River bahkan sampai di titik di mana film ini mau berakhir.
Pesan yang ingin disampaikan pun tidak terlalu preachy dan bisa dibilang sangat dewasa dalam proses penyembuhan luka batin dari masing-masing karakter. Side characters yang ada di film ini pun juga punya proses pengembangan karakternya sendiri, meskipun cuman punya porsi sedikit, tapi Ika Natassa dan Teddy Soeriaatmadja selaku sutradara film ini tidak meninggalkan mereka hanya sebagai karakter sampingan belaka.
Film ini cocok untuk orang dewasa yang sedang mengalami proses pemulihan dalam luka batin di kisah cinta mereka. Film ini mengajarkan bahwa untuk menyambut kisah cinta yang baru, kita harus berani dan berusaha untuk membangun kisah cinta yang baru tanpa harus melupakan kisah cinta sebelumnya yang meninggalkan luka.