Mengikuti kehidupan pria tua pembersih toilet yang lempeng dan tampak membosankan, Perfect Days (2023), karya terbaru Wim Wenders, adalah bentuk valid dan jujur dari ‘apa yang tidak (berani) dibicarakan ketika bicara masa tua’.
Lewat protagonisnya, Hirayama (Koji Yakusho), pria tua itu diwujudkan sebagai sosok pendiam dan mengisolasi diri dari interaksi sosial – yang intim khususnya. Hirayama tinggal seorang diri di apartemen kecil nan minimalis sembari menjalani hidupnya yang terstruktur rapi.
Pendekatannya yang ala-ala dokumenter (Collider Interviews) menjadikan seolah Koji Yakusho tidak sedang berakting dan tampil tanpa arahan siapapun. Kamera tunduk dengan fakta yang terjadi di lapangan, dengan hidup yang ditawarkan Hirayama.
Kamera menyorot keseharian Hirayama mulai dari bangun tidur, bekerja, sampai tidur lagi. Dan apabila di hari itu tidak terjadi apa-apa, ya sudah, berarti memang tidak terjadi apa-apa. Lagipula hidup memang seringnya seperti itu.
Hebatnya, lewat ketiadaan dan kejenuhan itulah yang justru jadi celah Wenders bercerita. Di situlah fundamental dari ‘apa yang tidak dibicarakan ketika bicara masa tua’; (meminjam istilah ketidaksetaraan gender) subordinasi (perannya sebagai manusia dipandang sebelah mata).
Menariknya, babak baru dalam hidup Hirayama yang lekat dengan stigma ‘ketidakbergunaan’ dan ‘bau tanah’ itu malah tercemin lewat kegemarannya memelihara bibit-bibit tanaman. Seakan, di usia tua, Hirayama tumbuh kembali menjadi manusia baru – bedanya di masa ini, ialah yang merawat dirinya sendiri.
Wenders juga tidak mau egois menyeragamkan pemahaman penonton dengan dirinya sebagai pencerita. Seperti yang sudah ia lakukan di Paris, Texas (1984) (walaupun tidak seutuhnya), Hirayama pun tak memiliki pakem backstory yang bisa jadi pegangan penonton. Penontonlah yang putuskan sendiri.
Lantas, bagaimana cara penonton memutuskan itu atau sekadar empati dengan Hirayama kalau backstory-nya saja relatif dan kesehariannya pun membosankan? Dan, barangkali sebagian orang juga belum tentu siap pasang telinga untuk dengar orang tua berceloteh tentang masa lalunya.
Untuk itu, Wenders menyisipkan kisah masa lalu Hirayama secara “halus” – layaknya orangtua menasihati anak supaya si anak (penonton) mau menyimak – lewat keterikatan emosional Hirayama dengan benda-benda di sekitarnya yang mungkin punya nilai historis, seperti kaset musik atau buku-buku jadul.
Musik, terutama, mengambil peran penting dalam narasi Perfect Days. Ketika karakter tidak berbicara, musiklah yang berbicara. Lalu backstory seperti apa yang tertangkap lewat hal-hal itu? Lagi-lagi, terjemahkan sendiri.
Hirayama dan Interaksi yang tidak Relevan
Perfect Days adalah film yang “sunyi” (gak cerewet), selaras dengan kehidupan pria tua (Hirayama) yang sepi. Dan, Hirayama adalah pria kuno yang menghargai barang-barang berumur serta melakukan aktivitas khas orang lama. Impact-nya, ia canggung dengan kehidupan modern.
Mobilitas masyarakat Jepang yang tinggi seakan jadi gap tersendiri bagi Hirayama. Walhasil, Hirayama menjelma menjadi kesunyian dalam keramaian Kota Tokyo.
Perbedaan dan ketidakcocokan Hirayama dengan masa sekarang ditunjukan lewat interaksi sekadarnya dengan karakter Takashi (Tokio Emoto) yang cerewet dan menyederhanakan segala sesuatu dengan nilai 1 sampai 10. Begitupan dengan karakter Niko (Arisa Nakano) – keponakannya, gadis kekinian yang menyinggung platform streaming musik yang tidak dipahami Hirayama.
Tapi setidaknya perbedaan ini menambah warna dalam hidup Hirayama atau dalam mimpinya yang tidak jelas dan hitam putih itu. Dan, Hirayama menghargai perbedaan itu. Pertanyaannya, mau kah kita, generasi muda, menghargai yang tua; Hirayama, misalnya (pria tua introvert pembersih toilet dengan rutinitas membosankan)?
Iya, Hirayama tak banyak omong. Ia cenderung pendengar dan pengamat akut. Bahkan ketika orang-orang seusianya curhat soal peliknya urusan pernikahan dan leganya bercerai, Hirayama hanya tersenyum. Sekalinya interaksi dua arah itu berjalan dengan orang-orang segenerasinya, malah membuahkan kepedihan.
Bahagiakah Hirayama dengan Hidupnya?
Mungkin ini adalah pertanyaan umum yang berkeliaran di kepala kita sepanjang menyaksikan Perfect Days yang sedikit-sedikit tercerahkan seiring film memasuki babak akhir. Mungkin juga akan ada dua versi konklusi; Hirayama bahagia dengan hidupnya, dan/ Hirayama tidak bahagia dengan hidupnya.
Di satu sisi, Hirayama tekun, disiplin, dan tampak antusias dengan kesehariannya. Tapi secara bersamaan kita juga dapat menggali kerapuhan, kepedihan, bahkan penyesalan masa lalu lewat keseharian-keseharian itu.
Tapi itulah hidup yang dijalani Hirayama dan ia menghargai hidupnya dengan caranya sendiri yang mungkin tak mampu dipahami orang-orang di sekitarnya. Barangkali ia sedang dihukum karena perbuatannya di masa lalu, atau mungkin juga ia sedang merayakan masa tuanya layaknya lagu Nina Simone yang diputar di akhir film.