Pada salah satu episode Junji Ito Maniac: Japanese Tales of the Macabre (2023) berjudul “Mold”, tampilan animasi disesuaikan dengan original source – manga Junji Ito. Kisah yang dituturkan lewat pendekatan black and white itu pun jadi segmen paling menonjol di antara 19 kisah pendek lainnya. Warna yang demikian suram seakan kawin dengan premis yang creepy, bersatu padu membawa gagasan dan universe Junji Ito dalam format anime paling efektif. Pencapaian estetika dalam episode itu lantas coba diraih dalam adaptasi Uzumaki, manga populer Junji Ito lainnya yang terbit pada 1998.
Dalam suatu wawancara di kanal YouTube Adult Swim empat tahun lalu, Sutradara Hiroshi Nagahama – yang mendaku sebagai fans berat sang mangaka – bilang bahwa pendekatan sinematik yang demikian bakal jadi fondasi timnya dalam menghidupkan kutukan spiral seautentik dan semengerikan guratan Junji Ito. Dan, itu memang tercapai.
Namun ironisnya, elemen itu (hitam putih) – tanpa mengesampingkan musik latar belakang gubahan Colin Stetson – malah jadi satu-satunya pelipur lara dari carut-marut plot – juga penganimasian – yang dirangkai sutradara Hiroshi Nagahama dkk.
Apabila unsur narasi dan sinematik diibaratkan jiwa dan raga sebuah film, maka Uzumaki bagaikan jiwa sekarat di tubuh yang kurang bugar. Kesembronoan ini menempatkan Uzumaki dalam tumpukan koleksi adaptasi manga Junji Ito yang berakhir tragis.

Uzumaki (Source: IMDb)
Garis besar cerita Uzumaki versi anime patuh dengan sumber aslinya, mengisahkan dua sejoli – Kirie dan Shuichi – yang mencoba bertahan hidup sembari mencari jawaban/ jalan keluar dari kutukan uzumaki (spiral) yang menimpa desa mereka, Desa Kurouzu. Sepanjang upaya tersebut, berbagai peristiwa anomali nan creepy melibatkan pola spiral terus-menerus terjadi, semakin tak terkendali, semakin besar dampaknya, dan semakin mengasingkan warga desa dalam keputusasaan.
Dari manga setebal 600-an halaman itu, Uzumaki versi anime memadatkan cerita sampai menjadi 4 episode saja. Maka otomatis banyak yang harus dikorbankan, terutama unsur-unsur narasinya (sialnya, sinematiknya juga kena dampak).
Pemangkasan yang demikian radikal itu memosisikan anime Uzumaki sekadar wadah eksklusif bagi potongan-potongan kutukan spiral terngeri yang ada di manga. Namun, kurasi potongan kutukan itu pun agaknya dipilih secara serampangan. Entah karena kesulitan atau malas mengeliminasi segmen mana yang akan diadaptasi.

Uzumaki (Source: IMDb)
Berbagai potongan kisah kutukan spiral versi manga dicomot kemudian ditumpuk – barangkali setiap dua menit adegan beralih menyorot sebaran kutukan spiral di Desa Kurouzu – dan diceritakan secara tergopoh-gopoh tanpa kausalitas yang jelas. Banyak momentum menguap begitu saja. Entah ke mana.
Pengabaian terhadap kausalitas ini menjalar pada pengembangan karakternya. Kirie dan Shuichi bergerak minim motivasi – seolah sekadar menangkap momen-momen kutukan dari sisi desa yang satu ke sisi lainnya hanya untuk menjerit ketakutan.
Episode 1 menjadi satu-satunya episode yang berhasil menghadirkan inciting dan disturbing incidents-nya secara koheren. Itu pun, ketika unsur body horror dan spiral mulai merebak, banyak adegan mulai kehilangan impact lantaran interaksi antarkarakter yang semakin terpangkas dari plot. Memasuki episode 2 dan seterusnya, cerita makin kaos dan memusingkan, lebih memusingkan dari pola spiral itu sendiri.

Uzumaki (Source: IMDb)
Adapun yang bisa dinikmati hanyalah atmosfer horor dari animasi hitam putih yang diiringi musik Colin Stetson yang melantun perlahan dan dengan tangkas menyelimuti kengerian dari frame-frame yang tersaji sehingga suasana horor dan terasing pun jadi lebih hidup. Tetapi kalau demikian, apa bedanya dengan membaca komiknya sambil mendengarkan musik horor?
Bahkan teknik penganimasian hybrid yang menggendong Uzumaki pun bukan tanpa cacat. Beberapa kali animasi tampak mencla-mencle dan semrawut sana sini. Adegan yang harusnya horor dan mencekam itu pun malah berakhir jadi meme lucu-lucuan di internet.
Mungkin Hiroshi Nagahama tak pernah bermaksud demikian. Mungkin ia memang fans sejati dengan niat tulus mengalihwahanakan Uzumaki ke format paling efektif untuk menangkap kengerian ide dan guratan sang idola. Mungkin ini semua imbas dari friksi belakang layar. Tapi mungkin juga penonton tidak peduli dengan itu semua dan hanya ingin disajikan tontonan yang layak.