Ekspektasi tinggi itu tidak baik, apalagi terkait dengan aktivitas menonton film. Alih-laih menikmati suguhan depan mata, malah bisa saja jadi bosan dan mengantuk. Ya, itu yang penulis rasakan saat menonton The Bikeriders, film karya writer-director Jeff Nichols berdasarkan buku berjudul sama dari Danny Lyon.
On the surface level, film sukses mengintisarikan betapa uniknya budaya, behavior, value, dari sebuah geng motor itu. Kesetiaan, Kekeluargaan, dan Camraderie antar para member geng motor ditekankan betul di sini. Sayangnya, ceritanya yang lompat-lompat, ditambah lagi hubungan antar tiga karakter utama yang kurang dieksplorasi, membuat The Bikeriders menjadi kisah yang terasa disjointed dan “menipu”.
Film ini menceritakan kebangkitan Vandals MC di tahun 1960an, sebuah geng motor asal Chicago dan diketuai oleh Johnny yang dimainkan secara apik oleh Tom Hardy. Selain Johnny ada juga Benny (Austin Butler) dan istrinya Kathy (Jodie Comer), Zipco (Michael Shannon), Cal (Boyd Holbrook) dan Funny Sonny (Norman Reedus). Dalam film ini kita akan melihat Vandals berkembang mulai dari klub motor yang berbasis di Chicago saja dan kemudian berkembang menjadi beberapa cabang di berbagai kota di Amerika Serikat.
Di awal tadi, penulis menyebut kata ekspektasi. Melihat trailer The Bikeriders, penulis berekspektasi bahwa film ini lebih ke menceritakan bagaimana berubahnya Vandals yang awalnya hanya sebuah geng motor biasa, tempat para pecinta motor berkumpul dan membahas tunggangan mereka, menjadi geng motor yang melakukan aktivitas kriminal. Tidak, jangan tertipu pada penampilannya.
The Bikeriders pada awalnya memang menceritakan hal tersebut. Tapi, entah mengapa, makin ke belakang, kesan yang dimunculkan trailernya tidak muncul. Ya, betul Vandals diperlihatkan berkembang pesat, menjadi berbagai cabang yang bahkan di luar ekspektasi Johnny. Namun, bagaimana dengan tindak kriminal yang integral dalam perubahan Vandals MC dan dijual di trailernya? Meh, hanya muncul sekali.
Jika film ini setia dengan apa yang dijajakan trailernya, The Bikeriders akan berfokus pada transformasi Vandals MC menjadi geng motor kriminal dan bagaimana Johnny mengendalikan pergulatan antar membernya. Namun, tindak kriminal yang tampil hanya saat Johnny membakar sebuah bar. Sehabis itu, tidak ada lagi, dan Vandals MC beroperasi seperti geng motor pada umumnya. Johnny ya tetap menjadi Johnny yang senang hangout dengan teman-temannya, bukan bikerider turned crime lord.
Ekspektasi penulis bukannya tidak wajar, tapi penulis seperti merasa tidak menonton film yang sama seperti apa yang digambarkan trailer. Singkat kata, tertipu.
Masalah film ini tidak berhenti di situ. Di samping transformasi Vandals MC yang setengah matang, problem serupa juga terjadi pada subplot relasi segitiga Johnny, Benny, dan istrinya, Kathy. Kathy, yang sepanjang film berperan sebagai narator atas transformasi Vandals MC, menganggap Johnny sebagai pengaruh buruk terhadap suaminya. Namun, konflik ketiganya hanya sebatas di-tease saja. Penonton tidak akan menemukan pertengakaran hebat antara Kathy dan Johnny dalam memperebutkan komitmen Benny.
Singkat kata, The Bikeriders lebih banyak berisikan klub motor kopdar alias kumpul-kumpul dibanding konflik perebutan pengaruh, pergulatan antar member, ataupun transformasi Vandals MC. Untuk film berdurasi dua jam, cukup membosankan. Kembali lagi ke ekspektasi penulis, ekspektasinya film crime drama tapi ketemunya film romantic drama.
Lalu, apa yang bagus dari film ini? Akting para aktornya. Lihat saja, ada Tom Hardy, Austin Butler, Jodie Comer, Michael Shannon, Norman Reedus. Semuanya bukan aktor baru atau pun kelas menengah.
Tom Hardy seperti biasa kembali berkharisma melalui gaya aktingnya yang cool dan minim ucapan. Austin Butler kian menunjukan mengapa ia adalah salah satu aktor Hollywood muda paling menjanjikan, The It Boy. Tanpa aktor-aktor tersebut film ini pasti akan lebih hilang arah. Dari mereka kita betul-betul melihat camraderie member klub motor yang saling menyayangi dan menghormati jauh di atas keluarga sendiri.
Selain akting, suguhan audiovisual film ini juga patut diacungi jempol. Suara motor-motor Harley Vandals MC begitu garang, menggetarkan kursi penulis. Musik-musik tahun 60an juga turut menambah feel settingnya. Lalu, dari sisi visual, sinematografi film ini digambar layaknya foto-foto yang diambil oleh Danny Lyon dalam bukunya yang dibalut cahaya matahari kekuningan. Tidak hanya itu, terkadang, pengambilan perspektif layaknya sebuah dokumenter menambah keunikan film ini. Hanya saja tidak konsisten dan hanya tampil di paruh pertama saja.
Jadi, ada kemungkinan kalian akan menyukai film ini. Penulis agak sedikit kecewa saja karena sudah termakan oleh trailer yang sepertinya salah edit. Penulis kira akan melihat karakter Johnny seperti Dutch di Red Dead Redemption. Pemimpin karismatik yang berubah menjadi orang jahat di akhir film. Sayangnya tidak. Film ini betul-betul kisah nyata Vandals MC dan pendirinya Johnny dari kacamata seorang Kathy. Plot yang lompat-lompat dan juga kurang bumbu drama, membuat film ini, menurut penulis, bak motor yang habis bensin ditengah jalan dan harus dituntun sampai SPBU terdekat.