Ketika akan menulis review ini, ingatan saya kembali ketika saya berusia 6 tahun. Sebagai seorang anak pendiam dengan kecenderungan tantrum yang tinggi, ayah saya membelikan saya seperangkat Game Boy untuk menenangkan-atau membuat saya diam dan tidak mengganggunya ketika bekerja. Selama Game Boy menyala, saya selalu memainkan permainan menyusun balok berbagai bentuk yang kemudian saya ketahui bernama Tetris.
Tak hanya saya saja yang begitu menikmati Tetris. Setidaknya lebih dari separuh miliar manusia telah mencoba bermain dan menikmati Tetris, belum dihitung dengan variasi bajakannya yang tersebar di seluruh dunia. Bisa dibilang, game tersebut merupakan permainan paling populer di dunia sejak pertama kali diperkenalkan sebagai produk Natal tahun 1989.
Terlepas dari keseruan Tetris yang dirayakan oleh anak-anak (dan kemudian orang dewasa yang tidak bisa melupakannya), kisah bagaimana game itu dirilis dan diciptakan pertama kali ternyata begitu dramatis dan politis. Bagaimana tidak, Teris lahir di tahun-tahun paling menegangkan (akhir dekade 1980-an) dan di tempat paling tak terduga dan sulit dipahami: Uni Soviet. Nah, hal-hal dramatis dan politis di balik Tetris itulah yang menjadi fokus film original Apple TV….Tetris.
Semuanya dimulai dari sebuah konvensi game di Las Vegas tahun 1988. Seorang programer bernama Henk Rogers (Taron Egerton) menemukan dirinya lebih tertarik pada permainan milik saingannya dibandingkan miliknya sendiri. Sudah jelas permainan itu adalah Tetris, yang menarik perhatian para pengunjung dan SPG selama konvensi. Namun, saat itu, Tetris masih berupa game yang dimainkan di komputer yang tentu tidak praktis. Rogers, yang juga seorang pebisnis, melihat prospek keuntungan game tersebut dan berusaha membeli hak distribusinya untuk console dan arcade.
Tidak segampang itu ferguso. Hak distribusi ternyata dimiliki Mirrorsoft, studio game yang dikuasai milliader Kevin Maxwell beserta ayahnya yang kolot, Robert. Henk pada akhirnya mendapatkan izin distribusi untuk wilayah Jepang, namun hanya untuk console Nintendo dan itu tak cukup baginya. Henk sudah kadung meminjam banyak uang dengan bunga besar dan rumahnya sebagai jaminan.
Terdesak, mau tak mau Henk harus mencari “rumah baru” untuk Tetris yang belum disentuh Mirrorsoft. Gayung bersambut, bos besar Nintendo, Hiroshi Yamauchi (Togo Igawa), berniat membantunya. Puas dengan kerja Henk, Hiroshi mengirimnya ke Nintendo Amerika untuk bertemu dengan dua pimpinannya, Minoru Arakawa (Ken Yamamura) dan Howard Lincoln (Ben Miles). Di sana, Henk mendapat Nintendo tengah mengembangkan platform gaming portable, Gameboy.
Henk mengendus potensi Gameboy laris manis bak kacang goreng jika dijual sepaket dengan game yang pas. Game itu apalagi kalau bukan Tetris. “Jika kalian ingin Gameboy laku di kalangan bocah, jual sepaket dengan Mario Bros. Jika ingin laku di semua kalangan, jual sepaket dengan Tetris,” ucap Henk mantap ke duo eksekutif Nintendo Amerika.
Mengetahui Mirrorsoft tak memiliki hak distribusi untuk platform genggam, Henk memulai “petualangannya” ke Uni Soviet untuk bertemu dengan pemegang IP Tetris, perusahaan komputer bernama ELORG. Ia ingin membeli hak distribusinya langsung ke penciptanya, Alexei Pajitnov (Nikita Yefremov). Tak ia sangka, info Gameboy bocor ke Mirrorsoft yang membuat Kevin Maxwell pun pergi ke Rusia untuk menelikung Henk.
Apa yang terjadi berikutnya adalah kucing-kucingan di antara keduanya ditambah campur tangan agensi intelugen Uni Soviet, KGB, yang menyakini menjual Tetris sama dengan menjual aset negara. Film Tetris menggambarkan bagaimana permainan paling populer sepanjang masa itu bisa keluar dengan selamat dari salah satu negara paling tertutup di dunia.
Lika-liku dan kompleksitas cerita yang mengangkat dunia bisnis bukan hal yang baru, seperti kisah dibalik pembuatan aplikasi media sosial Facebook yang diangkat menjadi film The Social Network atau kejatuhan pasar perumahan di film The Big Short. Meski tidak semenegangkan karya David Fincher (dengan naskah Aaron Sorkin) atau sehumorik Adam McKay, Jon S Baird dan penulis Noah Pink mampu menggiring kita menyusuri kerumitan birokrasi dan pengawasan intelijen Soviet sekaligus persaingan bisnis di balik Tetris.
Karena latar belakang kisah yang bertema permainan, suasana political thriller di Tetris disampaikan ala tingkatan permainan dengan beberapa efek visual seperti game. Namun, sayangnya, film berdurasi 2 jam ini justru tidak konsisten dalam menggulirkan ceritanya. Segalanya disampaikan secara ngebut. Dampaknya, kisah Tetris bisa terasa begitu sederhana dan karakter-karakternya yang kompkeks tidak mendapat ruang lega untuk bersinar atau berkembang.
Pendekatan itu membuat perjuangan Henk dan Alexei melawan intrik bisnis dan politis tampak seperti komik shonen, bermodal semangat dan keberuntungan saja. Hal itu bisa dilihat pada beberapa scene yang disampaikan dengan dramatisir ala Hollywood yang surface-level. Padahal, apabila melihat konteksnya, film ini sejatinya bisa menghadirkan ketegangan dan political thriller serumit permainan Tetris itu sendiri. Well, setidaknya film ini dapat bercerita tentang bagaimana sebuah game dapat terlahir dari dunia yang tertutup oleh mereka yang mencintai game tersebut.
Mengakhiri review ini, sebagai sebuah film yang mengambil latar belakang Perang Dingin (masa perseturuan dua negara adidaya Amerika Serikat-Uni Soviet), film ini tetaplah solid. Walau ada beberapa kekurangan dalam hal treatement, Tetris tetaplah menarik berkat caranya melihat bisnis game dari sudut pandang dunia mata-mata dan politik. Film ini mencoba menegaskan bahwa ide inovatif tidak dapat ditekan bahkan di negara paling otoriter sekalipun.
Itulah yang dikatakan oleh Alexei Pajitnov kepada Henk Rogers ketika menghadiri sebuah pesta rahasia, di mana sebagian orang Rusia juga mengeluhkan keterkekangan akibat ebijakan negara. Sungguh ironis dan lucu bahwa Tetris, sebuah game yang tak hanya dinikmati oleh anak-anak tapi juga orang dewasa, justru hadir dari negara di mana tidak ada namanya kepemilikan pribadi (komunis).