Tumbuh besar dengan Super Mario membuat adaptasi terbarunya menjadi salah satu yang dinantikan oleh penulis. Memiliki konsol NES waktu kecil, alunan musik World 1 – 1 sudah tertanam sampai bagian otak terdalam. Dari 64 ke Galaxy, hingga 3D World ke Odyssey, penulis tidak pernah luput memainkan game Super Mario.
Jujur, adaptasi film franchise ini tidak pernah terbayangkan oleh penulis. Walau selalu hadir dengan gameplay yang inovatif, cerita bukanlah pokok utama dari perjalanan tukang ledeng super ini. Dampaknya bisa dilihat pada film adaptasinya tahun 1993 silam. Dua kata, gagal total. Lalu apakah adaptasi tahun 2023 ini berbeda atau akan bernasib sama?
Digarap oleh studio dibalik franchise Minions, (Illumination) dan Nintendo, The Super Mario Bros. Movie untungnya berbeda dari counterpartnya di tahun 1993. Yang dulu live action, yang ini CG Animation and it’s the 1-UP you’ve all been waiting for.
A Plot as Thin as Paper Mario
Jangan gunakan logika saat menonton film ini karena semua yang kamu lihat tidak masuk akal and that is a good thing. Satu hal yang membuat hampir semua game Super Mario sukses is how fun and nonsensical they are. Poin penting itulah yang di junjung tinggi oleh filmnya.
This film is a load of fun from start to finish. Walau begitu, keseluruhan ceritanya pada dasarnya seperti genre Isekai atau ‘hero from another world’ seperti Narnia, Alice in Wonderland, Inuyasha, atau Digimon.
Mario dan Luigi adalah kakak adik dari Brooklyn, New York yang tidak sengaja berpindah dimensi ke Mushroom Kingdom. Berbeda dengan gamenya dimana Princess Peach yang selalu diculik Bowser, kini yang ditahan adalah Luigi.
Secara cerita keseluruhan, agak tipis se-tipis Paper Mario. Mario cs tidak mengalami banyak character growth yang signifikan. Plotnya standar good vs evil, dengan kecepatan sat-set-sat-set seperti sedang speedrun. Ada sedikit backstory mengenai Peach tapi hanya lewat begitu saja. Mungkin akan lebih dibahas di sekuelnya?
Graphically More Advanced Than Any Nintendo Console Ever Built
Secara visual… Mamma Mia! Illumination betul-betul all out. As colourful as the Rainbow Road itself, this movie is an eyegasm. Dari awal sampai akhir kalian akan disuguhkan animasi kelas atas yang membuat penulis berandai-andai: “kapan ya visual game Mario bisa kaya gini?”.
Tidak hanya visual, audio juga perlu diacungi jempol. Musiknya penuh dengan tema-tema familiar bagi para fans dan juga beberapa SFX yang diangkat langsung dari gamenya. Brian Tyler dan Koji Kondo sukses besar dalam mengadaptasi OST dari semua era game Super Mario.
Hal yang agak disayangkan, satu segmen pembuka pengenalan sebuah World menggunakan lagu pop terkenal tahun 80an, membuat reveal dari dunia tersebut jadi agak kurang pas. Padahal gamenya sendiri punya banyak tema-tema ikonik yang penulis rasa lebih pas.
It’s a-me, Chris Pratt!
Bicara tentang audio, kita beralih ke the elephant in the room: Voice Acting. The good one first: Jack Black is exceptionally good as Bowser. Suara Black nyaris berubah total. Ia mampu embodies suara berat dan garangnya Bowser. Tidak hanya itu, ia juga dapat menampilkan sisi lembutnya juga. Adanya segmen dimana Bowser menyanyi juga menjadi highlight dan kita semua tahu seberapa bagus Black bisa bernyanyi.
Selain Bowser, kita juga harus bahas Luigi. Charlie Day is perfect as Mario’s Brother. Penulis bahkan prefer suara Charlie Day ketimbang suara VA yang dipakai di game seperti di game Luigi’s Mansion 3. Disini penulis berharap suatu saat akan ada juga adaptasi dari Luigi’s Mansion.
Lalu, bagaimana dengan Marionya Chris Pratt? Jika kalian sudah terbiasa dengan suara Charles Martinet selama 30 tahun terakhir, suara Chris Pratt memang agak sedikit mengganjal di telinga namun lambat laun juga akan terbiasa. It’s definitely a different take that’s for sure. Kalaupun ingin treatment yang menyerupai game, di bagian awal film dijelaskan kenapa Mario yang ini punya pendekatan yang berbeda. I can assure you, penjelasannya cukup logis.
Disini Chris Pratt betul-betul menggambarkan Mario, the Italian plumber from Brooklyn, lengkap dengan aksennya dan jargon stereotipikal orang Italian-American, bukan Mario, the video game icon. Gak jelek, tapi ya gak bagus juga.
Anya Taylor-Joy sebagai Princess Peach juga menurut penulis agak mid. Her voice embodies that of a princess, but not as a Princess Peach. Seth Rogen sebagai Donkey Kong menurut penulis adalah VA paling jelek diantara semuanya. Rogen tidak mengubah suaranya sama sekali bahkan ketawanya pun masih ketawanya yang khas. Hal itu menjadikan Donkey Kong seakan sama dengan Seth Rogen, padahal sama sekali tidak.
“If It’s Not Fun, Why Bother?”
Mengakhiri review ini, film The Super Mario Bros. Movie adalah bentuk cinta 30 tahun lebih sepak terjang Mario finding princess in another castle. Penuh dengan referensi visual serta audio, film ini wajib ditonton bagi semua orang yang tumbuh bersama Mario dkk.
Sayangnya, secara cerita agak kurang dan penuh cliché genre isekai. Hal itu membuat film ini tidak memiliki bobot naratif. Tidak adanya character growth yang signifikan membuat film ini, pada akhirnya, hanya sekedar eye candy dan fan service saja.
Walau begitu, seperti kalimat terkenal mantan petinggi Nintendo of America, Reggie Fils-Aimé: “if it’s not fun, why bother?”, Aspek fun yang diutamakan oleh gamenya tersalurkan 100% dalam film ini. Mulai dari action sequence khas game Super Mario hingga segmen Mario Kart, siapapun yang menontonnya mulai dari orang dewasa hingga anak kecil tidak akan bosan sedetikpun dan akan menikmatinya, selayaknya mereka menikmati bermain game Super Mario.