Tahun 2021, mungkin menjadi salah satu tahun yang bersejarah, di mana film debut penyutradaraan Wregas Bhanuteja berjudul “Penyalin Cahaya” berhasil menyabet 12 Piala Citra, termasuk untuk Skenario Asli Terbaik, Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, hingga Film Cerita Panjang terbaik. Kini, Wregas Bhanuteja kembali dengan karya teranyar berjudul Budi Pekerti.
Film berhasil terpilih menjadi salah satu film yang masuk dalam program Discovery pada gelaran TIFF, September lalu, serta menjadi film pembuka pada gelaran Jakarta Film Week. Sama seperti Penyalin Cahaya, Budi Pekerti juga berhasil meraih 17 nominasi Festival Film Indonesia tahun ini, namun yang menjadi pertanyaan kita semua, apakah film ini berhasil mengikuti kesuksesan film pertama Wregas Bhanuteja?
Memiliki judul alternatif Andragogy, Budi Pekerti berkisah tentang keluarga Ibu Prani (Sha Ine Febriyanti), seorang guru bimbingan dan konseling di suatu SMP yang berlokasi di Jogja. Ia memiliki suami bernama Pak Didit (Dwi Sasono), seorang wiraswasta yang tengah depresi berat karean usaha-usahanya gagal akibat pandemi COVID-19. Mulai dari usaha batu akik, hingga alat pijat orthopedi, semuanya gagal. Akibatnya Pak Didit harus melakukan pengobatan dan konsultasi psikologi.
Di tengah keadaan Pak Didit dan pandemi COVID-19, keluarga Ibu Prani pun mengalami kesulitan dalam hal finansial. Untungnya, anak-anak dari Bu Prani dan Pak Didit, yaitu Tita dan Muklis, dapat sedikit meringankan beban dengan pekerjaan yang mereka lakukan.
Tita (Prilly Latuconsina), adalah seniman musik yang tergabung dalam sebuah band indie. Seperti band indie pada umumnya, Tita dan bandnya membuat karya-karya yang menyinggung soal keadilan sosial. Selain kesibukannya sebagai personil band, Tita juga membuka usaha thrift shop yang dijalankan secara online.’
Muklis (Angga Yunanda), anak paling bontot, agak lain. Ia ‘bekerja’ sebagai content creator dunia animalia. Di setiap kontennya, Muklis banyak menyisipkan product placement hasil endorsement layaknya para content creator pada umumnya. Dari product placement itu, Muklis bisa mendapatkan uang untuk membantu keuangan keluarga.
Secercah harapan datang, ketika Bu Prani hendak dicalonkan sebagai wakil kepala sekolah. Hal ini pun menjadi angin segar, karena tentunya jika Bu Prani dipromosikan, maka Bu Prani akan mendapat kenaikan gaji yang cukup besar. Namun, untuk menjadi wakil kepala sekolah, tentu ada beberapa tahapan yang harus Ibu Prani lewati. Salah satunya tentu dalam kualitas budi pekertinya.
Namun, pas Ibu Prani lagi butuh-butuhnya akan kenaikan jabatan itu, musibah malah datang menimpa. Semuanya gara-gara kue putu. Saat Ibu Prani hendak membeli kue Putu viral yang menjadi favorit ia dan Pak Didit, ia tidak terima ketika beberapa pembeli mengakali antrian dengan menggunakan “jasa titipan” ke pengantri paling depan.
Tidak terima, Ibu Prani pun menegur orang yang dilihatnya ‘menyerobot’ antrian dengan cara menitip pesanan. Seperti bisa diduga, cekcok antara Bu Prani dan salah satu pembeli itu pun tak terhindarkan. Tanpa Prani sadari, dalam kejadian itu banyak saksi mata yang menyaksikan dan merekam apa yang terjadi.
Rekaman itu tersebar luas di mana Prani diposisikan sebagai “Karen”, ibu-ibu galak. Gawatnya, dalam video yang tersebar terdengar sekilas bahwa Bu Prani seperti mengumpat kepada penjual kue Putu. Sebenarnya apa yang dikatakan Bu Prani bukanlah sebuah umpatan, namun netizen sudah terlanjur mempersepsikan Bu Prani hanya dari video 20 detik yang viral di internet.
Video yang viral menghalangi proses sekolah Bu Prani mempromosikannya sebagai wakil kepala sekolah. Tak mau namanya kian rusak, Bu Prani dan keluarganya mati-matian meluruskan apa yang terjadi sembari menghadapi tekanan netizen yang kian lincah jemarinya untuk memutarbalikkan faktas soal insiden kue Putu.
Dalam durasi 110 menit, Budi Pekerti berhasil menyentil segala aspek yang berkaitan dengan dunia sosial media lewat kisah Ibu Prani. Mulai dari video singkat yang viral, cancel culture, hingga pemanfaatan copywriting dan clickbait demi views dan keuntungan semata, semuanya ada.
Jika boleh membandingkannya dengan Penyalin Cahaya, Budi Pekerti lebih terlihat membumi dan dekat dengan kehidupan kita. Thrift Shop, musisi indie, content creator, endorsement, hingga kasus viral di media sosial akibat unggahan orang lain, adalah hal yang biasa kita temui sehari-harinya. Pendekatan tersebut membuat penonton lebih mudah mengenali segala perilaku yang dialami oleh para tokoh yang ada karena relatable.
Penampilan Sha Ine Febriyanti sebagai Bu Prani serta Dwi Sasono sebagai Pak Didit berhasil meyakinkan kita terhadap apa yang mereka rasakan melalui mimik, gerak tubuh, hingga ekspresi dalam bertutur.
Untuk Prilly yang berperan sebagai Tita dan Angga yang berperan sebagai Muklis, bisa dikatakan Budi Pekerti adalah salah satu film yang berhasil menampilkan akting terbaik dari mereka berdua. Tidak seperti film-film lainnya, emosi Prilly terasa sangat natural dan punya porsi yang pas.
Angga juga berhasil memerankan Muklis dengan penuh penghayatan. Ada bagian di mana, terlihat emosi dari Muklis berhasil disampaikan dengan baik oleh Angga, sehingga pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik.
Tak hanya dalam sisi akting, Budi Pekerti juga terasa sangat compact. Setiap kisah yang dituturkan melalui dialog dan pengkondisian cerita pun berkesinambungan dan dapat diikuti alurnya dengan baik. Semua elemen pendukung cerita yang lain juga tersusun dengan sangat rapi. Mulai dari suara serta backsound, pengambilan angle kamera, hingga tutur wajah setiap pemainnya, sukses menyampaikan cerita dengan lugas.
Dibandingkan dengan Penyalin Cahaya, Budi Pekerti lebih tertata dan tak berbelit-belit dalam menuturkan cerita. Sub-plotnya tidak banyak, twist-twistnya pun relatif sederhana dan straightforward tanpa ada kejutan yang berarti. Tampak betul Wregas berupaya memfokuskan cerita pada Ibu Prani serta keluarga sehingga penturuan cerita tidak keluar dari jalur yang sudah ia tentukan.
Sayangnya, hal tersebut membuat beberapa sub-plot terasa tidak terselesaikan dengan baik dan rasanya dibiarkan begitu saja. Bagi penulis, hal ini masih dapat dimaafkan. Seperti di sosial media, ini bisa menjadi penggambaran yang tepat untuk menunjukkan betapa hal-hal yang viral bisa naik dan tenggelam dengan cepat di dunia maya.
Bagi yang mengingingkan sentuhan-sentuhan surealis Wregas ala seperti ‘tarian fogging’ di Penyalin Cahaya, hal itu masih ada. Wregas menyisipkan beberapa hal yang sureal dan mungkin bakal terasa tidak pas dalam cerita yang ia coba paparkan kecuali dipikirkan dan didiskusikan matang-matang. Sejujurnya, penulis cukup senang hal-hal surealis yang dimunculkan dalam film ini. Namun, bagi yang tak biasa, akan merasa hal-hal tersebut absurd dan tak biasa.
Masih ada banyak hal menarik yang masih dapat dibicarakan dari film ini. Tentunya ini berkat kecerdasan Wregas dalam mengolah setiap isu yang ada di dunia maya, kemudian mengolahnya menjadi cerita yang compelling dan intriguing untuk dibahas lebih lanjut.
Namun, satu hal yang jelas terasa, film ini seperti dibuat Wregas sebagai curahan hati-nya perihal kasus yang menimpa Penyalin Cahaya. Sebagaimana diketahui, Penyalin Cahaya berakhir menjadi karya yang kontroversial karena adanya rekam jejak pelecehan seksual oleh salah satu krunya. Isu tersebut, walau tidak sampai menenggelamkan presetasi Penyalin Cahaya, namun memberi kesan betap hipokrit kru produksinya.
Wregas cs sudah berusaha melakukan mitigasi bencana terhadap kasus Penyalin Cahaya, namun nasi telah menjadi bubur. Prestasi Penyalin Cahaya sudah kadung tercoreng walau dampak “positifnya” jadi banyak yang membicarakannya. Prestasi-prestasi Penyalin Cahaya tetap dipertahankan, namun sulit untuk tidak mengangkat betapa ironisnya Penyalin Cahaya, yang berbicara soal peredaman kasus pelecehan seksual, terjerat kasus serupa.
Nasib Bu Prani dan keluarga, kentara betul, adalah presentasi Wregas dan krunya. Walau kasus Penyalin Cahaya hanya dipicu seseorang, bukan Wregas sendiri, netizen tak mau tahu. Yang mereka tahu, Penyalin Cahaya telah bersikap munafik. Mau Wregas berusaha sekuat apapun untuk menyelamatkan citra Penyalin Cahaya, noda hitam itu tak akan pernah hilang. Seperti Bu Prani, mau sekuat apapun dia berusaha, netizen akan terus menggoreng isunya sampai ada isu hot lain menggantikannya. Prestasinya sebagai guru BK tak akan hilang, tapi dianggap cacat, ya sama dengan Penyalin Cahaya.
Mengakhiri review ini, terlepas dari poin-poin negatif yang akan bergantung pada preferensi penonton, Budi Pekerti dirasa cukup berhasil membuat kita untuk berefleksi atas setiap tingkah laku kita dalam bersosial media. Kurang lebih seperti yang dilakukan oleh murid-murid Bu Prani terhadap murid-muridnya yang ‘nakal’.
Tentu yang akan menjadi pertanyaan, apakah Budi Pekerti berhasil menjadi refleksi bagi penonton terhadap perbuatannya selama ini di sosial media? Tentu pertanyaan ini akan dapat anda jawab dengan menonton langsung Budi Pekerti di Bioskop mulai tanggal 2 November 2023.
GIANDRI, ISTMAN