Past Lives membicarakan takdir, lalu membingkainya menjadi sepasang teman masa kecil yang masih berada di antara penerimaan dan penyangkalan akan sebuah ketetapan. Bagi mereka, takdir adalah Tuhan tak kasatmata yang mempertemukan perpisahan melalui cara misteriusnya.
Ketika manusia terbatasi perbedaan budaya, cinta hadir untuk mengatasi kecanggungan berbahasa. Kemudian bahasa cinta pula yang menyatukan perbedaan budaya dengan cara sederhananya. Cara yang sama digunakan Celine Song untuk membalut gaya tutur film garapannya ini.
Adalah Nora (Greta Lee) dan Hae Sung (Teo Yoo) yang menjadi awal dari perjalanan romansa Past Lives. Keduanya adalah sepasang teman masa kecil yang persahabatannya harus terhenti kala Nora memutuskan pindah dari Korea Selatan ke Kanada saat berusia belia. Di sisi lain, Hae Sung memiliki perasaan mendalam yang belum tersampaikan, dan nampaknya begitu pula dengan Nora.
Berpuluh tahun berselang, kondisi keduanya sudah mulai banyak berubah. Nora memiliki suami bernama Arthur (John Magaro), sedang Hae Sung masih setia melajang. Meski terpisah ribuan kilometer, ternyata kaitan emosional di antara Nora dan Hae Sung masih membara setelah tak sengaja bertemu secara daring.
Berpindahnya pertemuan mereka dari sekadar “tidak sengaja” menuju rangkaian komunikasi intens adalah momen intim sederhana yang sedang filmnya racik. Rasa rindu Nora akan kebebasan berbicara dalam bahasa ibunya tak perlu lagi mewujud di guratan pena, tapi digantikan oleh sosok masa lalunya yang berada di balik layar laptop. Tanpa sadar, obsesi kian membuncah dan hubungan mereka makin berkembang ke arah platonik.
Situasi cinta segitiga pun muncul ketika Hae Sung memutuskan untuk berkunjung ke New York, tempat Nora dan Arthur kini bermukim. Namun, bukannya tampil bombastis dengan segala reaksi meledak-ledak ala tontonan sejenis, Past Lives justru membungkusnya dengan kalem dan minimalis. Reaksi di antara ketiganya sungguh dekat dengan realita di mana biasanya orang lebih memilih diam, enggan menyuarakan isi hati, lalu menyembunyikannya rapat-rapat.
Kedekatan dengan realita inilah yang mendasari terbentuknya adegan ikonik yang menampilkan percakapan Nora, Hae Sung, dan Arthur di sebuah bar. Arthur adalah kita yang hanya bisa diam dan melihat sang kekasih berbicara dengan sosok masa lalunya dalam bahasa yang tak kita pahami. Cinta yang tadinya adalah bahasa pendobrak tembok batasan, rupanya juga membangun batasan itu kembali tatkala ego menguasai.
Arthur memang hanya membisu, tapi dia paham percikan intimasi di antara Nora dan Hae sung berpotensi menjadi api cinta. Ia tak perlu terjemahan bahasa guna menangkap apa yang sedang terjadi. Sorot mata penuh cinta yang dimunculkan sejoli di depan Arthur tidak butuh penerjemah.
Nora, Hae Sung, dan Arthur adalah representasi dari fenomena nyata di masing-masing kasusnya. Nora yang tengah didera dilema untuk memilih masa kini atau masa lalunya, Hae Sung yang tak kunjung merelakan masa lalunya, dan Arthur yang kadung mempersiapkan masa depan bersama seseorang, semuanya adalah fenomena nyata. Betapa realistisnya Past Lives menyadur fenomena tersebut ke dalam lembaran naskah adalah bukti indah dan pilunya sebuah kesederhanaan.
Adakalanya kisah realistis tak tersampaikan dengan baik karena penyampaian yang hanya sekadar hafalan dialog, tapi tidak dengan Greta Lee, Teo Yoo, dan John Magaro. Ketiganya menampilkan pergolakan batin dahsyat di atas wajah yang hanya sudi beberkan ekspresi seiris. Luapan emosi pun baru dibiarkan menguar kala tangisan Nora pecah di penghujung film.
Past Lives mengajak penontonnya untuk mempersiapkan berbagai patah hati yang akan datang. Andai ramalan bisa dipercaya, maka patahnya hati adalah keniscayaan yang diniscayakan.
Dalam diam, kita coba renungkan hal itu bersama film yang juga memilih untuk diam. Namun, apakah diamnya Past Lives cocok untuk semua orang? Pastinya tidak, tapi pengalaman sinematik realistis inilah yang mengaburkan sekat antara penonton dan layar.
Pada akhirnya teka-teki cinta ini memang tak menghasilkan pemenang dan yang kalah. Meski, sebenarnya Arthur boleh membusungkan dada karena ia yang terpilih sebagai pemberhentian terakhir. Dialah yang akhirnya bersuka cita di garis finish, mendekap curahan cintanya, lalu menua bersama.
Sementara Hae Sung, ia adalah bagian dari barisan orang-orang yang harus melanjutkan hidup walau gagal mendekap curahan cintanya. Dia adalah kita semua, dia adalah wujud nyata falsafah kontemporer jawa yang termahsyur itu:
“Wayahe wong kalah tampil.”