Sebagaimana dikabarkan Gabriel (diperankan oleh petinju asal Inggris, Dudley O’Shaughnessy, dengan paras supermodelnya) bahwa Mary atau Maria (Noa Cohen) ditakdirkan untuk menjadi bejana bagi Juruselamat sebelum lahir ke dunia. Maka garis bawahilah kedua kata tersebut; takdir dan bejana. Sebab pesan itu juga berlaku sebagai peringatan kepada penonton.
Dua kata sakral, celakanya, itu jadi ramuan (atau mungkin, alasan) jitu D.J. Caruso, untuk tidak memperlakukan Mary (dan seluruh karakternya) dengan istimewa – dibiarkan kerdil di bawah bayang-bayang Yesus yang bahkan tak muncul dalam film – lalu dengan enaknya memanfaatkan peristiwa ilahiah sebagai mesin penggerak plot (juga tameng dari tuduhan narasi “kebetulan”).
Oke, saya tahu ini review yang sangat-sangat telat. Sejatinya, film dengan tema sesensitif ini langsung di-review di momen yang menjadi latar konteksnya, Natal. But, seperti pepatah lama, lebih baik telat daripada tidak sama sekali bukan. Dan, bagi kalian yang ingin mendapat perspektif lain dari sebuah kisah yang kerap disebut-sebut “The Greatest Story Ever Told”, penting untuk membaca review ini dulu sebelum memasang ekspektasi begitu tinggi.
Mary yang Tak Spesial
Mary bercerita tentang perjuangan hidup-mati Mary mempertahankan Yesus dalam kandungannya sampai dengan kelahiran Sang Juruselamat itu di tengah gejolak rezim Herodes (Anthony Hopkins) yang lalim.
Sebelum cerita dimulai, D.J. Caruso terlebih dahulu menjanjikan sebuah sajian baru, sesuatu yang luput diceritakan dari kisah Maria. Janji itu diungkapkan lewat opening image; Mary berdiri di tengah gurun sambil menggendong bayi Yesus, lalu berkata; “You may think you know my story. Believe me, you don’t,”. Sebuah kepercayaan diri yang…boleh juga. Penulis pun keburu pasang ekspektasi lebih.
Tapi janji hanyalah janji. Seperti masyarakat Jerusalem yang menanti kedatangangan Yesus, penulis pun berharap Sang Juruselamat segera lahir dan, kalau bisa, mengambil alih cerita. Sekalian saja. Sebab, D.J. Caruso memperlakukan film ini bak penampung belaka untuk sebuah cerita yang lebih akbar.
“Kebejanaan” film ini agaknya terjadi karena D.J. Caruso meyakini diri sendiri bahwa kisah perawan Maria sudah amat populer, tokoh-tokohnya “sudah jadi”, dan tak perlu diotak-atik lagi. Sebuah kebiasaan yang sempat jadi momok film-film lawas kita kala mengadopsi tokoh-tokoh pewayangan ke layar lebar, sehingga JB Kristanto, seorang kritikus, menyebut penokohannya sebatas tipologi sifat.
Itulah yang terjadi pada Mary (dan seluruh karakternya) yang tak punya kedalaman. Sekadar berlakon, tak bernyawa. Berdialog saja sebagaimana sifatnya, bergerak saja sebagaimana faktanya. Sehingga film ini (atau, perjalanan Mary) tak lagi epik dan terjebak dalam format backstory (menggendong) Yesus, atau kasarnya; subplot yang kepanjangan.
Maka lahirlah karakter-karakter dangkal; Mary yang tulus, Herodes yang sadis dan serakah, di tengah kekacau-balauan zaman jahiliyah yang, positifnya, tampak eksotik di mata kamera – setidaknya, setiap frame berupaya menopang kesakralan kisah Mary meskipun jomplang ketika dipasangkan dengan dialog-dialog aforisme para karakter.
Tipuan Magis
Sejatinya, D.J. Caruso sudah menggunakan hak prerogatifnya untuk membumbui cerita dengan ramuan-ramuan drama (walau tampaknya pro-kontra, itu soal lain). Namun, karena tak terpenuhinya asupan karakter (dan jalan cerita) yang logis, upaya itu justru menguatkan indikasi peristiwa magis yang dialami Mary semata trik berlindung (kamuflase) dari tuduhan kebetulan-kebetulan yang terjadi sepanjang film. Pendekatan kuno Gabriel-Lucifer pun seakan dipersiapakan sebagai penuntun (jalan pintas) plot.
Kelalaian ini bikin D.J. Caruso seperti hanya terfokus pada pandangan moral samawi yang, itu pun, tanpa sikap (hanya kulit terluarnya saja) dan tanpa “sesuatu yang baru”, sehingga poin itu pun kurang tersampaikan dengan baik.
Pada akhirnya, kisah perawan Maria dalam film ini tak lagi memikat – atau, sebut saja “mencerahkan”. Alih-alih, penulis harap harap cemas menanti apakah kisah Juruselamat itu akan mendapat porsi di, setidaknya, seperempat akhir film, karena sepertinya bakal lebih menarik. Walaupun jawabannya sudah pasti tidak.
Lewat film ini, D.J. Caruso mengumbar ketidakmatangannya dalam memanfaatkan “privilege” kisah adaptasi – privilege itu justru disalahgunakan dalam bentuk lazy writing. Lupa akan tantangannya; menghadirkan cerita yang familier jadi tetap memikat dan ngena di hati.