Di atas kertas, film terbaru Netflix, Rebel Ridge, seharusnya berakhir basi dan usang. Bagaimana tidak, film besutan Jeremy Saulnier itu memajukan konsep yang sudah ribuan kali dipakai Hollywood, “One Man Army“. Rambo-nya Sylvester Stallone, Jason Bourne-nya Matt Damon, hingga John Wick-nya Keanu Reeves adalah beberapa di antaranya. Namun, kita berbicara soal karya Saulnier di sini. Di tangan ia, Rebel Ridge berakhir menjadi action movie yang tidak hanya menghentak, tetapi juga kritis secara politik.
Kami akui, nama Saulnier memang terdengar asing. Walau hasil karyanya tidak bisa dikatakan sedikit, ia jarang menunjukkan batang hidungnya. Hal itu berdampak pada citra publiknya yang terkesan misterius. Walau begitu, karya-karyanya vokal mengkritik isu-isu sosial, budaya, ekonomi, dan politik di Amerika.
Green Room adalah salah satu karyanya yang paling lantang. Bersetting konser punk rock, Saulnier menciptakan Green Room sebagai sebuah peringatan, bahkan ramalan, akan kebangkitan Nasionalisme Putih di Amerika ala Neo Nazi. Terbukti, ketika Donald Trump menjadi Presiden Amerika dulu, ia merongrong semangat anti-inklusif yang kemudian menjadi kendaraan kelompok ultra-nasionalis, yang anti-imigran dan rasis sejadi-jadinya, untuk mendapat panggung di perpolitikan Amerika.
Rebel Ridge tidak berbeda dengan Green Room ataupun karya-karya Saulnier lainnya seperti Blue Ruin dan Hold The Dark. Ia tetap memposisikannya sebagai medium kritik dan peringatan akan situasi sosial di Amerika. Kali ini, yang menjadi sasaran ia adalah sistem penegakan hukum di Amerika yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sangat pas dengan semangat ACAB, All Cops Are Bastard, yang riuh diteriakkan komunitas African American beberapa tahun belakangan, terutama setelah kasus George Floyd yang tewas di bawah lutut polisi Amerika.
Kisah Rebel Ridge sendiri disampaikan dari sudut pandang Terry Richmond (Aaron Pierre), seorang pria African American. Suatu hari, ketika dirinya asyik mengayuh sepeda sembari mendengarkan Iron Maiden keras-keras, sebuah mobil menabrak sepedanya dari belakang. Terry otomatis terpelanting jauh dari sepedanya dan kemudian mendapati bahwa mobil yang menabraknya bukan mobil biasa, melainkan mobil patroli kepolisian.
Seperti dugaan Terry, Kepolisian sengaja mencari gara-gara dengan dirinya. Memakai kacamata rasis, duo polisi yang mencegat Terry menyakininya telah melakukan tindak kriminal. Terry sadar betul bahwa apapun yang dia sampaikan akan menentukan hidup matinya. Salah-salah, dirinya bisa di-dor saat itu juga. Oleh karenanya, ia menahan diri sepanjang pemeriksaan sembari menegaskan kembali hak-haknya sebagai warga negara Amerika.
Apa lacur, sudah luka-luka akibat ditabrak mobil, duo polisi yang memperkarakannya juga menemukan uang US$36 ribu dalam tasnya. Bermodal hukum Perampasan Sipil (Civil Forfeiture) dan tuduhan tak berdasar, kepolisian menahan uangnya atas dugaan konspirasi. Dalam bisiknya, Terry menyakini “Ini tidak mungkin legal”.
Uang tersebut sejatinya disiapkan Terry dari hasil menjual mobil untuk membebaskan sepupunya yang ditahan kepolisian, Mike Simmons (C.J LeBlanc). Mike tertangkap basah menyimpan narkotika dan dirinya akan dipindahkan ke lapas jika jaminannya tidak segera dibayar. Mengetahui Mike sempat menjadi informan dan saksi kepolisian untuk kasus perang antar gang, Terry menyakini mengirim Mike ke lapas sama saja dengan mengirimnya ke akhirat.
Berbagai upaya legal dilakukan Terry untuk membebaskan Mike, termasuk meminta perpanjangan waktu dari pengadilan negeri setempat. Hasilnya buntu. Meski dibantu langsung oleh pegawai pengadilan yang peduli akan kasusnya, Summer (Anna Sophia Robb), birokrasi berbelit dan praktik korup aparat penegak hukum menghalangi Terry menyelamatkan sepupunya. Pada satu titik, Terry akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri.
Berbeda dengan kebanyakan film laga “One Man Army” yang ngegas sejak dini, baik dari sisi laga maupun cerita, Saulnier mengambil pendekatan berbeda. Sama dengan direksi dia di Blue Ruin dan Green Room, Saulnier “menahan diri” untuk tidak membawa penonton ke laga sesegera mungkin, menjadikan Rebel Ridge sebagai film laga yang sangat slow-burn.
Sebaliknya, secara telaten dan sabar, ia membangun tensi dan antisipasi penonton lewat borok penegakan hukum di Amerika serta birokrasi ngalor ngidul yang membuat langkah hukum Terry muter-muter di tempat. Lawan Terry bukan hanya polisi yang bisa petantang-petenteng merampas aset publik tanpa dasar, tetapi juga aparatur sipil dan bahkan hakim yang memilih acuh atas isu yang ada dengan justifikasi “ada keluarga yang mereka nafkahi”.
Tidak hanya sekali dua kali saya mengumpat “bang***!” ke layar tv atas apa yang terjadi. Tanpa laga yang flashy, Saulnier sukses menampilkan “kesadisan” yang terasa lebih ril dibandingkan laga di empat film John Wick.
Di sisi lain, tension building yang dilakukan Saulnier juga sukses membangun imajinasi di kepala perihal apa saja yang bisa dan pantas Terry lakukan untuk menghukum para penegak hukum yang korup dan rasis itu. Imajinasi kita tentu bisa lebih liar dibanding apa yang ada di layar bukan? Dan, Terry, seperti semua film “One Man Army”, adalah pria dengan “very particular set of skill”. Predictable memang.
Terry bukan pria biasa. Ia adalah instruktur bela diri angkatan laut dengan spesifikasi khusus: Non Lethal Action. Hal ini menjadi keunikan Rebel Ridge dibandingkan kebanyakan film “One Man Army“. Aksi Terry fokus pada melumpuhkan, bukan mengirim lawannya ke alam baka. Gerakannya very mindful dan demure, diawali dengan melucuti senjata lawannya, diakhiri dengan submission yang membuat mereka tak berkutik. Nyaris tak ada darah menetes ataupun cedera parah.
Pendekatan action hero yang pacifistik ini terasa segar. Di saat kebanyakan film laga makin hingar bingar dalam mendevelop aksi heronya, laga di Rebel Ridge terasa membumi. Setting laganya saja kebanayakan di kantor polisi dan lapangan parkir. Harus diakui bahwa presentasinya tidak flashy, tapi tetap bikin wow ketika melihatnya karena menawarkan perspektif lain.
Para villain, dalam hal ini, yang justru selalu mencoba untuk mengeskalasi situasinya ke potential shootout. Meski di first act mereka berusaha untuk meredam potential conflict dengan ancaman, pemerasan, maupun legal loophole, situasinya berubah ketika mereka mendapati apa yang Terry bisa lakukan seorang diri.
Presentasi yang unik itu didukung dialog-dialog yang rancak. Walau kaya akan legal dan cop term mumbo jumbo yang sesekali bikin pusing ketika mencoba menalar kebobrokan yang terjadi, Saulnier berhasil merangkainya menjadi dialog-dialog yang asyik diikuti dan sesekali, secara sinis, jenaka. Walau begitu, harus diakui, beberapa dialog terasa begitu kompleks dikarenakan kebobrokan sistem penegakan hukum di Amerika yang udah kadung kusut.
Aaron Pierre, as the hero, pantas mendapat acuangan jempol. Walau presentasi karakternya gak jauh beda dengan Jack Reacher yang agak-agak stoic, Aaron secara convincing hadir sebagai warga Amerika yang tidak hanya mengutuk ketidakadilan sistem, tapi juga peduli terhadap keluarganya.
Adegan di mana Aaron, sebagai Terry, mengayuh sepeda sekencang mungkin untuk mengejar bus sepupunya, yang bisa saja menjadi pertemuan terakhir mereka, terasa wholesome dan heartwarming. You can feel his love for his cousin. Tegap, tegas, tenang, dan tidak terbully.
Anna Sophia Robb juga likeable sebagai Summer. Mantan artis cilik yang namanya populer berkat Charlie and The Chocolate Factory dan Bridge to Terabithia itu tampil dewasa dan sukses membuang image kanak-kanaknya. Karakternya tidak kalah kompleks, mantan pemadat dan salah satu roda gigi dalam mekanisme penegakan hukum yang korup, namun juga tak kuasa menahan diri untuk meneriakkan masalah yang ada. Hoepfully film ini mengantar dia ke lebih banyak peran.
Sayangnya, segala hal yang bagus perihal Rebel Ridge berada di dua pertiga awal film. Saulnier terlalu bagus dalam mempresentasikan korupsi yang ada dan membangun antisipasi (dan imajinasi) atas reaksi Terry. Begitu masuk ke third act, eksekusi Saulnier lebih subdued dibandingkan antisipasi yang dibangun dan sedikit banyak akibat pendekatan pacifistik yang ia pilih. Jujur, penulis mengharapkan laga konvensional yang lebih flashy khusus untuk third act.