Finally! Salah satu title shōnen terbaik sepanjang masa, One Piece, berhasil mematahkan kutukan adaptasi manga/ anime ke live action oleh Hollywood. Catatan-catatan buruk dari adaptasi-adaptasi sebelumnya seperti Dragon Ball: Evolution, Death Note, Ghost in The Shell, dan Cowboy Bebop tidak menghentikan langkah Netflix untuk menciptakan salah satu adaptasi live action yang tidak hanya faithful ke sumber aslinya, namun juga megah dan ramah untuk penonton baru.
Keberhasilan tersebut tak lepas dari peran pencipta One Piece itu sendiri, Eichiro Oda. Dari tahap casting hingga produksi, Oda terlibat penuh dalam posisi supervisi untuk memastikan hasil akhirnya sesuai visinya dan tidak mengingkarti ekspektasi penggemar. Selain itu, mayoritas jajaran kru dan pemeran juga diambil dari mereka yang familiar atau bahkan memang true fans dari One Piece sehingga dapat dipercaya untuk berkomitmen total mewujudkan visi Oda.
Seperti manga dan anime counterpart-nya, serial One Piece live action dari Netflix mengikuti kisah Monkey D. Luffy (Iñaki Godoy) yang bercita-cita ingin menjadi raja bajak laut dengan mengklaim harta karun One Piece. Harta karun legendaris tersebut disembunyikan oleh mendiang raja bajak laut Gol D. Roger (Michael Dorman).
Dalam perjalanan petualangannya, Luffy mengumpulkan kru yang terdiri atas Zoro (Mackenyu), Nami (Emily Rudd), Usopp (Jacob Romero), dan Sanji (Taz Skylar).Luffy yakin dirinya tidak akan bisa mencapai One Piece tanpa kru bajak laut yang soilid.
Dalam perjalannya mencari One Piece, Luffy dan kawan-kawan harus menghindari berbagai tantangan mulai dari penangkapan oleh angkatan laut, melawan bajak laut jahat, hingga menghadapi konflik antar berbagai kubu.
Sebelum membahas review yang lebih mendalam, perlu diingatkan terlebih dahulu bahwa penulis tidak mengikuti anime dan manga One Piece secara total. Oleh karenanya. review ini dibuat dengan fokus utama terhadap serial Netflix-nya tanpa terlalu membandingkannya dengan anime dan/atau manga counterpart-nya.
Cuma 8 Episode, Tapi Padat
Oke, saatnya memasuki inti pembahasan. Unsur pertama yang akan penulis bahas jelas adalah sektor cerita. Serial ini memiliki storyline yang rapi, solid dan tidak bertele-tele dalam menyampaikan pokok permasalahannya. Bagi penggemar baru, tidak sulit untuk mengikuti narasinya. Walau dalam prosesnya beberapa elemen harus dipangkas dari arc yang ada di manga atau anime, hal itu tidak memangkas substansi cerita yang digarap oleh Oda.
Pemangkasan itu sendiri bisa dipahami karena total serial ini hanya memiliki delapan episode. Namun, apabila diperhatikan baik-baik, Netflix mengambil keputusan jenius karena dengan jumlah episode yang lebih menyerupai mini sari, fokus, durasi, dan pace bisa dijaga tanpa harus terasa di-stretch out layaknya filler.
Introduksi setiap karakter, untungnya, menjadi bagian yang tidak terpangkas banyak. Mengambil perspektif masa lalu dan masa kini, serial live action One Piece memberi ruang lega pada penonton untuk mengenal baik-baik kru Straw Hat Pirates. Hasil akhirnya tidak sulit untuk mengenal para karakter One Piece secara dekat.
Inaki Godoy dan Mackenyu Stole The Spotlight
Bagaimana dengans sektor akting. Sejujurnya penulis tidak mengetahui satu aktor pun yang bermain pada serial ini. Akan tetapi, surprisingly, performa akting mereka cukup baik dan terlihat natural. Bisa dikatakan setiap aktor disini berhasil menghidupkan karakter yang mereka mainkan.
Highlight-nya jelas pada Inaki Godoy selaku pemeran Luffy. Lewat aktingnya, Inaki berhasil menghidupkan karakter Luffy bak karakter-karakter shonen di anime. Bermimpi besar, optimistis, pantang menyerah, dan selalu positive thinking, begitulah karakter Luffy selalu dipresentasikan di manga dan animenya dan Inaki tidak miss sedikitpun dalam channeling karakteristik tersebut. Kalaupun dicari perbedaannya, Luffy versi Inaki terasa lebih pintar dibanding versi manga dan anime
Mackenyu pun juga sangat keren di serial ini sebagai Roronoa Zoro. Ia sangat baik dalam menampilkan karakteristik Zoro yang cool, tangguh, dan ambisius. Tidak heran apabila para wanita tergila-gila dengan dirinya. Bagi penulis pun, Zoro memang the best dan Mackenyu, dengan portfolio adaptasi manga dan animenya yang tidak sedikit, sudah perfect sebagai Zoro.
Walau highlight ada pada Inaki Godoy dan Mackenyu, bukan berarti yang lain bermain jelek. Emily Rudd sebagai Nami, Jacob Romero sebagai Usopp, dan Taz Skylar sebagai Sanji pun juga patut diacungi jempol aktingnya. Dalam hal ini, casting department Netflix berhasil mempertahankan apa yang berhasil mereka lakukan di Cowboy Bebop, karakter yang secara fisik dan spirit bisa channeling karakter sumber aslinya.
Faithful Secara Audio Maupun Visual
Lanjut ke unsur yang ketiga yaitu kostum dan make-up. One Piece cukup dikenal dengan desain karakternya yang nyentrik dan out of the box. Untungnya, kostum dan make-up pada serial ini tidak mengecewakan. Costume designer Diana Cilliers dan penata rias prostetik Jaco Snyman berhasil menangkap esensi para karakter One Piece dan mentranslansikannya ke versi live action. Beberapa karakter, baik itu protagonis maupun antagonis, terlihat identik dengan versi aslinya.
Dari segi audio visual, dont you worry, you are in for a treat. Dari segi visual saja, misalnya, tidak sedikit adegan eye pleaser. Tone warnanya tepat. CGI dan VFX-nya pun juga oke, memberi kesan megah dan quirky pada dunia yang diciptakan Oda. Namun, yang penulis paling sukai adalah camera movement-nya yang mampu membuat adegan yang ditampilkan terasa ‘hidup’, khususnya saat adegan pertarungan. Visualnya bisa dibilang mampu mendukung cerita dan karakter yang terlibat pada adegan tersebut.
Soundtrack ataupun scoring pada serial ini melengkapi visualisasi yang dibangun. Hasilnya sangat ear-catching. Beberapa mampu menciptakan suasana dan menyesuaikan dengan mood dan emosi dari para karakter. Komposisi musik tersebut juga masih terasa seperti musik anime walau memiliki vibe maritim ala Pirates of the Caribbean.
The surprising part dari sektor soundtrack adalah ketika lagu ikonik One Piece berjudul ‘We Are!’ diputar. Meskipun penulis tidak mengikuti anime One Piece, tetapi penulis mengetahui lagu tersebut dan sangat menyukainya. Bagi penulis, ‘We Are!’ adalah salah satu lagu anime terbaik yang sangat ikonik.
Di luar kelebihan itu semua, One Piece pastinya bukan serial yang sempurna. Walaupun minim, ada kekurangan yang cukup mengganggu penulis yaitu adegan final battle yang menurut penulis terlalu sebentar dan kurang terlihat kesulitannya, sehingga winning feeling di akhir tidak begitu terasa oleh penulis.
Selain itu, beberapa kali adegan perkelahian (selain Zoro) terlihat terlalu anime sentris yang kaku dan tidak natural. Terasa bahwa mereka terkadang terlalu menghafal koreografi, sehingga pertarungan yang menggunakan tangan kosong tidak se-epik dan senatural pertarungan Zoro menggunakan pedang.
Mengakhiri review ini, secara keseluruhan One Piece merupakan live-action anime terbaik sejauh ini. Serial ini bahkan membuat penulis tertarik untuk menonton versi animenya dan mengetahui lebih tentang dunia One Piece. Penulis juga kini sangat menunggu informasi season 2 dari serial ini. Walaupun tidak sempurna, tapi ini jelas merupakan awal yang menjanjikan untuk live-action anime.