Play Stop Rewatch, Jakarta – Imlek kemarin, kita share berbagai film-film laga dari John Woo. Nah, dari beberapa title yang ada, tak bisa dipungkiri The Killer adalah salah satu karyanya yang paling berpengaruh. Film tersebut menjadi referensi berbagai sutradara dalam membuat film action. Quentin Tarantino, yang menyutradarai Pulp Fiction, Kill Bill, dan Reservoir Dogs adalah salah satu yang terinspirasi oleh gaya Woo di The Killer. Namun, semuanya berawal dari film berjudul A Better Tomorrow.
Berawal dari “Hari Esok yang lebih Cerah”
Di tengah hujan badai, seorang pria duduk di sebuah kapel, menghadap ke arah patung Yesus yang ada di hadapannya. Dari belakangnya, muncul seorang pria yang membawa tas berisi senjata api. Si pembawa tas bertanya, “Kamu tidak memeriksanya dahulu?”
“Tidak, aku percaya padamu.” Jawabnya dan kemudian berjalan pergi, berpaling dari Patung Yesus.
Adegan berpindah ke sebuah bar. Sang tokoh utama, Ah Jong (Chow Yun Fat), menikmati minumannya sembari menonton pertunjukkan dan mendengar lantunan lagu. Di tempat terpisah, sekelompok orang sedang sibuk bermain poker, hingga kemudian Ah Jong mendatangi mereka dan menghabisinya seketika. Singkat, lugas, berdarah! Kisah The Killer dimulai.
John Woo tidak ujug-ujung menciptakan The Killer. Semua berawal dari kesuksesan A Better Tomorrow (1986) yang membawa film aksi Hong Kong ke tingkatan lebih tinggi sekaligus membawa kesuksesan finansial. Sekuelnya, A Better Tomorrow II, dirilis setahun berikutnya. Sayangnya, inilah awal dari kesulitan John Woo untuk membuat film selanjutnya.
“Tak ada yang mau melihat film tentang seorang pembunuh,” ujar sang produser, Tsui Hark, yang bekerja sama selama pembuatan film A Better Tomorrow I dan II.
Meski sulit, John Woo nekat jalan terus. Dia merekrut kembali Chow Yun-Fat, sang pemeran kembar Gor, Mark dan Ken, di kedua film A Better Tomorrow. Ia juga membawa kembali perusahaan produksi tempatnya bekerja. Hal sama dilakukan oleh Danny Lee, yang berperan sebagai lawan sang karakter utamanya. Dengan masuknya dua aktor yang sudah terbukti membawa profit tinggi di tiap filmnya, ditambah dengan masuknya Sally Yeh, Woo lanjut memproduksi The Killer.
Demi menekan budget, produksi The Killer dibuat secara gerilya. Kru dan pemain harus berpindah-pindah lokasi pembuatan film, kucing-kucingan dengan Kepolisian Hong Kong. Salah satu pengambilan gambar The Killer, di mana terjadi aksi tembak-tembakan, bahkan sampai menarik perhatian kepolisian Hong Kong. Untungnya, produksi film terus berjalan dan rampung. Total waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan The Killer kurang lebih 90 hari, dua kali lipat dari rata-rata waktu produksi film laga di Hong Kong.
Musik untuk soundtrack The Killer juga bermasalah. Woo menginginkan musik jazz yang mellow sebagai soundtrack filmnya, berbeda dengan kebanyakan film-film Hong Kong yang menampilkan musik synthizer pop. Hark si produser sempat melarang, tetapi Woo tetap lanjut. Penyesuaian yang ia lakukan hanya mengganti saxophone ke harmonika, seperti yang dimainkan oleh Charles Bronson di Once Upon a Time in the West.
The Killer, Dari Hong Kong untuk Sinema Dunia
Jika A Better Tomorrow membawa Woo dan sinema Hong Kong ke laga Gun Fu, The Killer memperkenalkan genre action Hong Kong dan pembuatnya ke tingkat dunia. Penayangannya di berbaga festival film seperti Toronto, Cannes, hingga Sundance menarik perhatian kritikus Barat yang menyambutnya dengan antusias. Begitu luasnya sambutan The Killer di industri sinema luar negeri memancing kecemburuan para pelaku industri Hong Kong.
Di periode tersebut, The Killer disebut sebagai salah satu prototipe seni postmodernisme menurut Mary Celeste Kearney dan Michael Kackman dalam buku The Craft of Criticism: Critical Media Studies in Practice.
Woo sendiri mengakui bahwa cerita The Killer dipengaruhi oleh cerita Le Samourai karya Jean-Pierre Mallville dan Narazumono karya Teruo Ishii. Keduanya mengambil topik yang sama, penebusan moral seorang pembunuh bayaran. Selain itu, pesan-pesan agamis dan tema akan penebusan dosa seperti gereja dan merpati yang menjadi trademark Woo juga dimulai di film ini.
View this post on Instagram
Antusiasme yang tinggi terhadap The Killer membuat banyak sutradara kemudian mengambil gaya film-film John Woo, antara lain Quentin Tarantino, dan Robert Rodriguez. Beberapa film Tarantino dan Rodriguez seperti Reservoir Dogs, El Mariachi, Jackie Brown, Desperado, hingga Once upon a Time in Mexico lekat akan gaya tembak-menembak hingga berdarah-darah ala John Woo.
Gaya itu, di kemudian jari, juga diadopsi para pelaku sinema Korea Selatan. Pengaruh The Killer dapat dilihat di film-film seperti Oldboy, The City of Violence, hingga Assasssination. Film aksi Indonesia seperti dwilogi The Raid dan The Night Come For Us juga lekat akan adegan aksi habis-habisan yang dipopulerkan oleh John Woo.
Tak dapat bisa dipungkiri bahwa akan sulit bagi kita untuk melihat lagi gaya khas Woo di tengah tenggelamnya industri sinema Hong Kong. Mungkin kita hanya bisa melihat legasinya lewat franchise John Wick atau film-film aksi berbudget rendah di kanal-kanal streaming. Namun, pengaruh Woo dan The Killer-nya akan terus mewarnai dunia sinema selanjutnya.
M. LUTHFI ADNAN