Play Stop Rewatch, Jakarta – Glass Onion, film terbaru dari sutradara Rian Johnson sekaligus sekuel dari film whodunit Knives Out, surprisingly, adalah cermin dari kehebohan di Twitter beberapa waktu terakhir.
Hampir setahun penuh, sosial media yang paling banyak dipakai tersebut menjadi sorotan netizen gara-gara aksi salah satu techbros dan orang terkaya di dunia, Elon Musk. Bagaimana tidak, pemilik SpaceX dan Tesla itu mengakuisisi Twitter dengan nilai US$44 miliar dan berjanji akan membuatnya sebagai wahana “kebebasan berpendapat’.
Realitanya, jauh dari ideal. Hari demi hari Musk mengambil keputusan-keputusan kontroversial perihal moderasi Twitter. Contohnya, ia membuat badge verifikasi Twitter bisa dibeli dengan harga murah. Efeknya, banyak akun-akun bodong mengatasnamakan brand ternama bermunculan dan tampak asli akibat status “verified” bisa dibeli. Hal-hal seperti itu membuat kepintaran (dan kewarasan) Musk, yang dulunya dipandang pengusaha jenius, dipertanyakan.
Lalu apa hubungannya dengan film Glass Onion: A Knives Out Story?
Semua hal yang disebutkan tadi terjadi di tahun 2022. Sementara itu, Glass Onion, yang ditulis dan diproduksi pada periode 2020 – 2021, ditengah pandemi COVID-19. Namun, apa yang diceritakan oleh Glass Onion sangatlah relevan dengan apa yang sedang terjadi di dunia bisnis, teknologi, cryptocurrency, perusahaan besar, bahkan startup sekarang. Apalagi, ada sosok yang merepresentasikan techbros dan milyuner. Walhasil, sulit untuk tidak mengaitkan film ini dengan sosok Musk walau Rian Johnson sudah membantahnya.
“Ada banyak karakteristik general dari spesies tech billionaire yang dimasukkan ke film ini. Namun, harus diakui, film ini anehnya terasa relevan dengan masa sekarang. Salah satu temanku bahkan mengatakan film ini seperti terasa baru saja beres ditulis. Sebuah kecelakaan yang sungguh mengerikan bukan?”, ujar Rian dalam interviewnya dengan majalah Forbes.
Sebuah Murder Mystery di Pulau Yunani
Glass Onion pada dasarnyas menceritakan enam “sahabat” yang diundang oleh salah satu dari mereka, tech billionaire Miles Bron (Edward Norton), ke pulau pribadinya di Yunani. Miles, yang menyebut kawan-kawannya Disruptors, ingin melibatkan mereka dalam permainan Murder Mystery sebagai upaya bonding di tengah pandemi COVID-19.
Adapun anggota Disruptors selain Miles adalah artis Birdie Jay (Kate Hudson), streamer Duke Cody (Dave Buatista), politikus Claire Debella (Kathryn Hahn), peneliti Lionel Toussaint (Leslie Odom Jr), dan venture capitalist Andi Brand (Janelle Monae).
Di luar dugaan mereka semua, permainan Murder Mystery yang disiapkan Miles berakhir menjadi kasus pembunuhan sungguhan. Salah satu dari Disruptors ditemukan meninggal. Paranoia ensued, semua Disruptors jadi saling curiga terhadap satu sama lain.
Beruntung, detektif partikelir Benoit Blanc (Daniel Craig) berada di TKP akibat undangan nyasar. Mau tak mau ia turun tangan dan mendapati semua anggota Disruptors memiliki masa lalu yang cukup untuk menjadi motif pembunuhan.
Menyindir Kaum Elit
Setelah mendapatkan lampu hijau dari Netflix dan tayang di berbagai macam festival film, sebenarnya agak disayangkan film ini hanya tayang di platform streaming tersebut. Walau begitu, karya Rian Johnson ini tak bisa dipungkiri sukses memprediksi hal-hal aneh yang dilakukan kelompok elit dan techbros ala Elon Musk serta hadir sebagai kritik sosial.
Lewat plot yang twisty plus dialog yang cekatan, Rian Johnson memperlihatkan bagaimana status elit, privilege, bisa mengubah seseorang menjadi sosok yang angkuh, sombong, toxic, dan bahkan berani memutarbalikkan fakta atau menguburnya dalam-dalam. Singkatnya, Johnson ingin menunjukkan bahwa penyembahan terhadap status elit atau privilege bisa mengubah seseorang nyaris ke akarnya.
Privilege, mau tidak mau, harus diakui bisa menjadi suatu hal yang dipakai untuk membangun citra seseorang, walaupun citra tersebut hanyalah lapisan yang menutup sebuah fakta. Tapi seberapa banyak lapisan tersebut menutupi fakta tentunya baru bisa diketahui jika dikupas seperti bawang, hence the title, Glass Onion.
Semua itu diselipkan dalam murder mystery yang surprisingly jauh dari kata depressing, tetapi malah komikal, aktif, dan borderline parody. Adapun hal yang membuat Glass Onion begitu memuaskan adalah ceritanya yang lebih mengikutkan penonton dalam pengungkapan kasus, tidak sekedar menipu ataupun fokus mempelajari latar misteri yang terjadi.
Penonton Diajak Menjadi Detektif Sungguhan
Penonton tidak perlu menjadi detektif terhebat di dunia untuk menyimpulkan ada sesuatu yang tidak beres saat beberapa orang diundang ke pulau pribadi Miles. Glass Onion berbeda dengan Murder on The Orient Express atau Death on The Nile di mana sebagian besar informasi hanya berada di kepala Hercule Poirot. Alih-alih mengandalkan rentetan kilas balik dan anekdot yang kontradiktif, penonton dan Benoit Blanc dapat mengamati aksi para tersangka secara real time. Selama penonton jeli dan observant, connecting the dot antara motif, objektif, dan aksi tidak akan sulit di penghujung film.
In addition, dengan runtime yang lebih panjang, Glass Onion mampu memperkenalkan dan menganalisa para tersangka aka Disruptors dengan lebih baik dibanding Knives Out. Kembali menggunakan analogi bawang, layer demi layer dari anggota Disruptors dikupas sepanjang film, memperlihatkan betapa vulnerable dan desperatenya mereka. Ketika sudah mengenal mereka semua, yakinlah kalian tak akan kaget pembunuhan bisa terjadi.
Kudos untuk para aktor dan aktris yang berperan sebagai Disruptors. Mereka tampil menyakinkan sebagai sosok yang patut dibenci, tetapi juga dikasihani soal betapa bergantungnya mereka terhadap status elit dan privilege.
Akhir kata dari review ini, sebagai whodunnit dan murder mystery, Glass Onion adalah film yang efektif memainkan segala klise dan tropes yang ada dalam subgenres tersebut. Dengan tidak mengikuti seluruh formula Knives Out, Glass Onion berhasil menjadi film yang relevan untuk masanya.