Play Stop Rewatch, Jakarta – Infernal Affairs, rilis 20 tahun lalu dan disutradarai Andrew Lau serta Alan Mak, tak bisa dipungkiri adalah salah satu magnum opus di industri perfilman Hong Kong. Tak hanya kisahnya yang penuh intrik, melihat permainan cat and mouse antara polisi dan gangster yang menyusup ke instansi masing-masing, tetapi juga sarat akan studi kepribadian. Kok bisa? Mari kita coba analisis.
Pernahkan ada membayangkan bagaimana rasanya bangun tidur dan memperhatikan jati diri anda mulai hilang seiring berjalannya waktu dan harus menjalani hari demi hari dalam hidup yang tak diinginkan? Pernahkah anda melihat diri anda lewat cermin dan menyadari bahwa anda bukan lagi sosok yang anda kenali? Seiring waktu, semangat untuk menjalani hari akan memudar dan berubah menjadi usaha bertahan menjadi diri sendiri.
Kehidupan, tak seperti dalam film motivasi atau biografi influencer, acap kali tak berjalan mulus dan membuat orang melupakan impiannya. Bagi sebagian orang mungkin akan merasa malu mengungkapkannya, yang kemudian hanya akan menjadi impian yang tak tercapai. Bagi sebagian yang lain, perasaan itu akan berkembang menjadi obsesi terpendam, yang seiring berjalannya waktu, akan meledak ke permukaan. Itulah yang dieksplor dalam film Infernal Affairs lewat dua karakter yang akan dibahas dalam tulisan ini, Lau Kin-Ming dan Chan Wing-Yan.
Pertukaran Identitas dan Pertarungan Psikologis
Sebagaimana ditulis oleh Chris Taylor kepada neneknya ketika menjalani hari-hari pertamanya di Vietnam, Lau Kin-Ming (Andy Lau) dan Chan Wing-Yan (Tony Leung) menjalani misi hidupnya laksana ‘Hell is the impossibility of reason’. Masing-masing dari mereka menjalani hidup yang tertukar, dimana Lau menjadi sosok mata-mata gangster dalam kepolisian, dan Chan sebagai sosok polisi dalam organisasi gangster untuk membongkar operasi mereka.
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai tak mengenali diri mereka sendiri dan melebur ke dalam peran yang mereka ambil. Masing-masing semakin tidak nyaman dengan peran baru mereka dan mulai saling mencari cara untuk menyelesaikan misi mereka sesegera mungkin. Hidup mereka pun dipertaruhkan di tengah intrik polisi-gangster yang gelap dan kejam seperti yang digambarkan oleh pujangga Romawi Plautus, ‘Homo homini lupus est’.
Sebagaimana film-film gangster Hong Kong pada dekade 1980 akhir hingga awal 2000an, Infernal Affairs dipengaruhi oleh sineas paling berpengaruh dalam sejarah sinema Hong Kong, John Woo. Karya-karya Woo seperti A Better Tomorrow dan The Killer menempatkan Hong Kong dalam lanskap sinema dunia. Sang penulis skenario, Alan Mak mengakuinya dalam salah satu wawancara bahwa inspirasi berasal dari salah satu film John Woo yang berjudul Face/Off.
Menyadari konsep bertukar wajah tidak realistis pada masa itu, Mak berfokus pada unsur psikologis dan sifat manusia yang tercermin dari kutipan pembuka film sebagai ‘neraka berkelanjutan, penderitaan terus menerus’ yang berasal dari Buddha. Neraka itu merujuk pada Avici, jenis neraka yang dalam agama Buddha merupakan alam dengan penderitaan paling berat. Dalam film ini, penderitaan yang didapatkan karakter utamanya berupa dalam bentuk menanggung beban untuk pengkhianatan jati diri.
Infernal Affairs kemudian menjadi salah satu kesuksesan box office dan disambut hangat oleh para kritikus dengan mendapatkan rating 94% pada situs Rotten Tomatoes dan menjadi salah satu film terbaik dalam daftar “100 Film Sinema Dunia Terbaik” versi majalah Empire. Tak hanya menelurkan dua sekuel, tapi juga diadaptasi dalam bentuk Hollywood oleh dedengkot sinema Martin Scorsese berjudul The Departed, yang memberikannya satu-satunya Oscar (saat ini) untuk Sutradara Terbaik.
Infernal Affairs Sebagai Perwakilan Sinema dan Wajah Modern Hong Kong Abad 21
Meski terinspirasi oleh dunia gangster John Woo, Infernal Affairs tidak menghadirkan aksi tembak-menembak heroik yang menjadi ciri khas film aksi Hong Kong. Mak lebih berfokus pada unsur psikologis masing-masing karakternya. Diselingi oleh pertarungan berdarah-darah (yang tidak seintens film-film aksi Hong Kong umumnya), babak ketiga film mengungkapkan puncak dari krisis yang dialami oleh kedua karakter tersebut, sekaligus mengungkapkan perasaan yang dialami oleh populasi yang lebih luas, yang dalam hal ini, adalah penduduk Hong Kong itu sendiri.
Pengaruh Infernal Affairs diakui sinema Hong Kong dalam hal penceritaan, yang mana sebelumnya melekat pada kekuatan aksi laga spektakuler dan koreografi bertarung yang rumit. Penceritaan yang rapi dalam Infernal Affairs oleh Mak dan sutradara Andrew Lau mengubah persepsi sinema Hong Kong yang kering dan kurang kreatif. Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa dampaknya mengecil seiring berkembangnya sinema Asia Timur, khususnya Korea Selatan, yang berkembang ke arah lebih kreatif pada dekade 2000an.
Lebih dari itu, Infernal Affairs telah menjadi studi wajah masyarakat Hong Kong dalam menghadapi dinamika geopolitik pasca penyerahan Hong Kong dari Inggris ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1997.
Howard Choy (2007) dalam tulisannya Schizophrenic Hong Kong: Postcolonial Identity Crisis in the Infernal Affairs Trilogy menjelaskan cerita pengkhianatan dalam Infernal Affairs berawal dari sikap bermuka dua, yang direpresantasikan dari wajah politik Hong Kong di bawah sistem “Satu Negara, Dua Sistem” dari RRT. Pendekatan politik yang oleh Deng Xiaoping untuk menjembatani perbedaan identitas politik penduduk Hong Kong dengan Tiongkok Daratan.
Kritikus Li Cheuk-To menganggap Infernal Affairs juga menandai dimulainya arus film-film rilisan Hong Kong yang mengungkapkan pesan ketidaknyamanan posisi mereka dalam sistem politik Tiongkok dan masa depan mereka yang tak pasti. Sebagaimana dalam kedua karakter utama dalam film, masyarakat Hong Kong menjadi terikat dengan memori kehidupan sebelum tahun 1997 untuk mempertahankan identitas mereka.
Kegagalan sistem politik Tiongkok-Hong Kong juga dapat dipahami pada bagaimana pengobatan kejiwaan karakter Chan, yang harus memepertahankan identitas politik dalam penyamaran sebagai gangster. Dalam tulisannya yang berjudul “The Violence of Time and memory Undercover: Hong Kong’s Infernal Affairs” yang dipublikasikan di Inter-Asia Cultural Studies, Law Wing‐Sang menggambarkan institusi psikiatri sebagai perwakilan institusi RRT untuk mendidik ulang identitas Hong Kong agar sesuai dengan cita-cita RRT.
Pada akhir film, kematian karakter Chan menggambarkan kematian karakternya sebagaimana dalam epitafnya sebagai ‘kematian yang heroik’, sebagai simbol pengingat kematian yang tragis seorang pahlawan. Epitaf tersebut seakan menggambarkan akhir dari perjuangan masyarakat Hong Kong yang pada akhirnya harus tunduk pada kekuatan RRT dengan tindakan represifnya terhadap aktivis demokrasi Hong Kong.
Dengan hiruk pikuk dunia yang terus melaju, interpretasi Infernal Affairs dan sekuelnya menjadi penanda penting akan representasi titik awal perubahan dinamika politik yang berdampak pada masyarakat dunia dan khususnya, seperti kami sendiri di PSR, para penikmat sinema.