Ketika mendengar Civil War berpotensi menjadi film terakhir yang disutradarai Alex Garland (Ex Machina, Annihilation), seketika saya menjadikan film tersebut menjadi tontonan wajib tonton Mei ini. Bagaimana tidak, Garland adalah salah satu sutradara/penulis naskah paling kritis di Hollywood dengan sebagian karya-karyanya adalah kritik social dan cautionary tale untuk menghindari masa depan yang dystopian. Dalam hal ini, Civil War melanjutkan tema yang rutin ia bawa itu.
Civil War mengambil setting Amerika masa depan, tidak jauh dari masa kini apabila dilihat dari tampilannya. Adapun Negeri Paman Sam dikisahkan tengah jatuh dalam periode Perang Saudara Kedua di mana negara-negara bagian Amerika terpecah menjadi empat kubu. Keempatnya adalah New People’s Army, The Florida Alliance, Western Forces, dan yang terakhir adalah loyalis petahana, kita sebut saja Loyalist States.
Presiden Amerika (Nick Offerman), yang namanya tidak disebutkan, dalam posisi tersudut. Western Forces secara agresif mengambil alih negara-negara bagian loyalisnya. Kejatuhannya tinggal menghitung hari jika kesepakatan damai gagal dicapai. Oleh karenanya, berbagai upaya ia lakukan untuk menyetir opini publik, menjual mimpi ala Make America Great Again-nya Trump. Hasilnya nihil dan ia tidak punya pilihan selain mengisolasi Washington untuk menunda kekalahannya.
Media dari berbagai negara tidak ingin melewatkan peristiwa bersejarah tersebut. Jatuhnya Amerika ke tangan separatis adalah peristiwa yang terlalu besar untuk dilewatkan. Gawatnya, tidak ada satupun media yang berhasil mewawancarai, alih-alih mendekati, sang kepala negara. Total 17 bulan Presiden Amerika menutup diri dari media dan hanya memberi press release sebagai keterangan yang quotable.
Kelompok jurnalis dari Kantor Berita Reuters dan New York Times, Joel (Wagner Moura), Lee (Kirsten Dunst), Sammy (Stephen McKinley), dan calon reporter Jessie (Cailee Spaeny) tidak puas dengan situasi tersebut. Setelah berbulan bulan meliput Perang Saudara mereka sepakat bahwa tinggal keterangan Presiden Amerika lah yang mereka butuhkan untuk membuat report yang pressklar alias komplit. Tidak mau keduluan media lain, mereka nekat memutuskan pergi ke Washington untuk mewawancarai sang presiden meski diperingatkan akses ke Gedung Putih sulit ditembus.
Dengan durasi 109 menit, Civil War pada dasarnya adalah sebuah road trip movie. Penonton diajak mengelilingi sejumlah negara bagian Amerika untuk melihat bagaimana warga menyikapi Perang Saudara yang terjadi. Di sisi lain, penonton juga diajak melihat perang dari sudut pandang jurnalis di mana kredo Cover Both Sides mewajibkan mereka untuk melihat perang dari segala sisi, loyalis maupun separatis.
Kedua sudut pandang itulah kekuatan utama Civil War. Di saat kebanyakan film perang atau anti-perang mengambil sudut pandang prajurit militer atau keluarga yang mencoba bertahan hidup semasa perang, Civil War menengoknya dari sudut pandang society dan jurnalis pada modern warfare. Dan, hasilnya, adalah sebuah drama yang thought provoking.
Dari sudut pandang Masyarakat, Civil War memperlihatkan betapa terpolarisasinya publik dan perang hanya memperburuk perpecahan itu lebih jauh. Hal itu sungguh kentara di sepanjang film di mana penonton tidak akan bisa dengan mudah mengidentifikasi siapa lawan siapa kawan dan dari kubu mana. Siapapun yang menyerang duluan, akan dianggap lawan, baik sengaja maupun tidak disengaja.
Hal itu terlihat jelas pada salah satu adegan di mana keempat jurnalis berlindung di balik dua prajurit yang mencoba menangkal serangan sniper misterius. Ketika Joel menanyakan kubu mana yang mereka lawan, dengan entengnya mereka menjawab, “Dia menambak kami, kami menembak balik, itu yang terpenting”. Mereka tidak peduli siapa yang mereka lawan dan bagaimana cara mereka melawan karena pada akhirnya perang adalah perkara bertahan hidup, bukan saling percaya.
Sutradara Alex Garland tampaknya terinspirasi buku The Logic of Violence in Civil Wars karya Stathis Kalyvas dari Universitas Oxford. Lewat bukunya, Kalyvas menalar sebab dan akibat Perang Saudara serta sejauh apa peran publik di dalamnya. Mengacu pada temuannya, Kalyvas berargumen bahwa peran emosi dan ideologi sebagai pengobar Perang Saudara telah dilebih-lebihkan. Baginya, pemicu kekerasan pada Perang Saudara sesungguhnya ya warga sipil sendiri.
Kalyvas menjelaskan, ketika perang apapun terjadi, insting utama manusia adalah melindungi kepentingan pribadi – dimulai dari bertahan hidup. Cara apapun akan dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, termasuk berkubu pada figure yang dirasa memiliki kans untuk menang, melupakan siapa kawan dan lawan. Peduli setan dengan loyalitas dan keselamatan bersama.
Situasi tersebut, kata Kalyvas, akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya atau bahkan bertindak bedasarkan hasrat terburuk yang dipendam. Kenapa? karena perang secara otomatis menghancurrkan tatanan norma dan etika yang membatasi hal-hal tersebut sebelumnya. Kalian akan melihat berbagai perwujudan argumen Kalyvas di film ini.
Nah, perspektif Joel, Lee, Sammy, dan Jessie ditempatkan Garland untuk memperkuat pesannya bahwa ketika Perang Saudara terjadi, kepentingan publik adalah menyelamatkan diri sendiri, bukan masyarakat luas. Kerja jurnalistik tidak punya tempat di kepala mereka dan hal itu terlihat jelas dari bagaimana mayoritas warga yang ditemui Joel cs dalam perjalanan ke Washington bersikap waspada, apprehensive, bahkan hostile ketika tugas itu dilakukan.
Situasi Perang Saudara memang rumit bagi institusi jurnalistik yang memegang kredo Cover Both Sides. Mereka berkewajiban mengejar fakta, terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik, tanpa memandang siapa lawan dan kawan. Namun, ketika perang menghancurkan tatanan norrma dan etika, keselamatan mereka bergantung pada siapapun yang percaya pada mereka dan itu tidak banyak. Di era digital, informasi bisa dengan mudah diplintir dan jurnalis yang disalahkan, membuat trust kepada mereka turun.
Civil War, secara gamblang, seperti mempertanyakan fungsi jurnalisme, how effective it can be to stop a war. Sebagai pilar keempat demokrasi, mereka diharapkan bisa menjaga tatanan demokrasi. Namun, melihat situasi geopolitik Amerika akhir-akhir ini plus industri media pers yang kian terdisrupsi oleh kehadiran platform konten dari raksasa-raksasa digital (termasuk medsos), saya sebagai mantan jurnalis tidak bisa menyalahkan Garland mengajukan pertanyaan eksistensialis soal jurnalisme lewat film ini.
Pertanyaan (atau mungkin kegelisahan) Garland terlihat lewat karakter Lee. Dalam salah satu adegan, Lee, yang merupakan jurnalis foto spesiliasi daerah konflik, mengatakan bahwa dia terjun ke daerah konflik dan memotret situasi di lapangan adalah untuk mencegahnya terjadi di Amerika. Perang Saudara yang terjadi, bagi dia, seperti membuat kerja keras dia selama ini sia-sia.
Terlepas dari pertanyaan soal fungsi jurnalisme itu sendiri, saya suka bagaimana tingkah dan polah jurnalis dipresentasikan di film ini. Adrenaline rush yang dirasakan jurnalis ketika kian dekat ke pusat konflik, ke informasi A1, apalagi jika berpotensi menjadi scoop (berita eksklusif), begitu akurat dan relatable. Hal itu memang menggoda dan terkadang sampai bikin lupa bahaya.
Selain itu, Civil War juga secara apik memperlihatkan pergulatan batin yang dirasakan para jurnalis ketika mereka dihadapkan pada bencana di lapangan and how they cope with them. Jurnalis, tak jarang, harus bersikap pragmatis dan opportunis ketika hal itu terjadi karena tugas utama mereka memberitakan peristiwa, bukan mengintervensi, dan peristiwa penting tak selalu terjadi dua kali. Bagi fotografer perang seperti Lee dan Jessie, misalnya, mau tak mau mereka harus bersikap dingin ketika momen penting terjadi di depan mata, mengabadikannya lewat jepretan kamera, seberapapun mengerikan dan berbahayanya itu.
Melihat konten film ini, dan kemudian ekuivalennya seperti The Bang Bang Club, War Photographer, Nightcrawler, jadi bikin teringat dengan pesan fotografer veteran harian Kompas, Arbain Rambey. Ia berkata kepada saya, “Sebagus-bagusnya berita, berita paling bagus adalah pulang dengan selamat.” Saya beberapa kali lupa dengan pesan itu ketika bertugas dulu dan ada banyak adegan berbahaya (baca: gegabah) di film ini yang bikin ingat masa-masa tersebut.
Eksplorasi Civil War terhadap segitiga warga, pekerja media, dan perang saudara didukung oleh cinematographynya yang apik. Sinematografinya dibuat lebih nuance dibanding film perang kebanyakan di mana banyak framing dan blocking yang terasa picture-esque, seolah-olah diambil dari jepretan kamera langsung. Dan, saya curiga, beberapa fotografer perang asli dilibatkan dalam pengambilan gambar dan jepretan di film karena beberapa memiliki kualitas setara jepretan pemenang-pemenang penghargaan Robert Capa seperti James Nachtwey.
Lucunya, di akhir film, cinematography yang nuance itu sempat menghilang untuk waktu yang tidak pendek. Garland menswitch pendekatannya dari yang awalnya dramatis meenjadi lebih Call of Duty: Modern Warfare. Penonton ditempatkan langsung di jantung perperangan urban, bergerak bersama prajurit, helicopter Apache, dan tank Abrams. Didukung sound yang menggelegar, dengan letusan senapan senyaring Heat dan Collateral-nya Michael Mann, third part Civil War adalah aural sensation yang sulit dilupakan. IMAX menjadi wajib hukumnya.
Tentunya film ini akan kian bagus jika memberi konteks yang lebih jelas perihal apa yang sesungguhnya terjadi di Amerika hingga bisa terjadi Perang Saudara kedua. Jika alasannya karena Presidennya menjabat tiga periode, tidak masuk akal karena it takes more than that to start a war. Demonstrasi bisa dipahami, tapi tidak dengan perang. Tidak ada motivasi politik yang clear dari Pemerintahan Amerika maupun loyalis dan kubu lawan sepanjang film.
But, is it important? Not really karena polarisasi politik (terutama politik Amerika) memang bukan fokus film ini. Seperti yang dijelaskan di atas, Civil War adalah soal publik dan jurnalistik dan Garland menjadikan Amerika adalah kanvas yang representative untuk bermain-main dengan ide tersebut. In the end, he did a great job walaupun minimnya ideologi dan motivasi politik membuat endingnya sedikit terasa hampa.
ISTMAN & TAREEN