Citra diri dan diversitas adalah dua hal yang belakangan diperjuangkan oleh para praktisi dari berbagai lapisan seni, entah itu literatur, musik, maupun sinema. Kerap kali perjuangan tersebut dimaknai sebagai puncak perayaan atas representasi kaum marjinal. Namun, benarkah demikian?
Sebelum merongrong perkara representasi itu lebih lanjut, mari kita menengok sebentar bagaimana cara Cord Jefferson merayakan hal tersebut sebagai seorang sutradara sekaligus penulis naskah di kesempatan perdananya. Dia menampilkan sisi kehidupan kaum kulit hitam yang tak ubahnya seperti kita semua. Mereka juga punya cerita kehidupan untuk dipersembahkan kepada dunia.
American Fiction adalah persembahan pertama Cord Jefferson. Alih-alih hanya mengeksploitasi salah satu sisi yang sering dipotret ugal-ugalan, hidup berkubang kekerasan, dan saling melempar makian dengan blaccent khasnya, Jefferson memfokuskan visinya di kehidupan sederhana yang melingkupi Monk (Jeffrey Wright), protagonis di film ini.
Monk adalah seorang dosen berkulit hitam yang berkutat sepenuhnya di dunia literatur. Sebagai akademisi dan pegiat literatur, ia secara aktif menulis buku untuk menyalurkan isi pikirannya tentang bagaimana kaum kulit hitam seharusnya direpresentasikan. Dia juga mendorong para mahasiswanya untuk tak ragu mengucapkan diksi bernada rasialis di koridor akademis. Apa daya, semua metodenya gagal. Buku hasil tulisannya sepi peminat, para mahasiswanya gusar yang berakibat Monk dipaksa cuti.
Cutinya Monk dari dunia akademis turut memaksanya hidup di dunia ‘normal’ dan menghadapi kenyataan pahit yang juga ‘normal’. Masalah demi masalah mendatanginya. Kakaknya meninggal, sekaligus meninggalkannya hidup bersama sang ibu yang terserang penyakit demensia dan seorang kakak laki-laki dengan setumpuk masalah, beserta tagihan hutang yang kian menggunung.
Apakah berhenti sampai di situ saja? Oh, tentu saja tidak. Ego dan kepercayaan diri Monk sebagai akademisi menghantam daratan setelah menyadari buku tulisannya kalah populer dibanding buku karya sesama penulis berkulit hitam yang lebih bernafsu mengeksploitasi penderitaan kaumnya sendiri.
Seketika Monk sadar ia telah membangun menara gading yang memisahkannya dari selera kebanyakan pembaca. Dia sadar bahwa kaumnya butuh dikasihani, lalu para pembaca, khususnya kaum kulit putih, butuh mengasihani demi memuaskan dahaga moral mereka. Dililit hutang, apalagi idealisme tak bisa mengenyangkan perut, akhirnya Monk memutuskan untuk menulis buku bergaya serupa guna meraup pundi-pundi uang walau terpaksa.
Sama seperti Monk, American Fiction tidak memotret kehidupan kaum kulit hitam menggunakan perspektif naif seperti apa yang kaum kulit putih lakukan. Justru film ini menyindir bentuk representasi semacam itu. Satu per satu salah kaprah nilai pandang kaum kulit putih atas kaum kulit hitam dibeberkan dengan tegas tanpa memberi kesan menggurui.
Stereotip yang menjangkiti peranan kaum kulit hitam di dunia seni memang berada di tahap mengkhawatirkan. Mereka kerap terjebak di peran-peran sampingan yang karikatural tanpa memedulikan dampak lanjutan dari tindakan malpraktik terus menerus ini. Produk seni representatif untuk mewakili suara mereka pun harus menonjolkan aspek penderitaan guna memancing simpati hingga trofi penghargaan bergengsi.
Efek terparahnya adalah typecasting. Aktor dan aktris kulit hitam seringkali menempati peran- peran tertentu yang fungsinya hanya lucu-lucuan atau objek kekerasan. Sempitnya pilihan peran mereka di dunia seni salah satunya hasil gagalnya media merepresentasikan kehadiran mereka secara adil. Itulah typecasting alias terlanjur melekatnya peran pada orang-orang tertentu yang berakibat pada kesalahan pandangan umum masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
Sejauh ini sinema adalah cabang seni yang jangkauannya paling luas sekaligus yang paling bertanggung jawab pada citra diri sedangkal itu. Banyaknya diversitas yang dicitrakan sebatas keberagaman warna kulit para aktornya juga kurang membantu. Diversitas haruslah melebihi itu, mendobrak batasan, lalu menyingkirkan semua stereotip culas. Bukan lagi zamannya aktor timur tengah memerankan teroris dan aktor asia timur memerankan jagoan bela diri.
Meski memiliki segudang sindiran substansial untuk disampaikan, American Fiction juga lihai memainkan emosi. Drama kekeluargaan penuh haru ditampilkan di sepanjang durasi tanpa mengganggu urgensi penyampaian pesannya.
Namun, bagaimana dengan kualitas pesannya? Film ini cukup kontradiktif kala menampilkan social commentary atas obsesi kaum kulit putih terhadap ‘black’ experiences, padahal di sisi lain juga terdapat sosok gay yang dipulas dengan perilaku yang amat stereotipikal. Menambal stereotip dengan stereotip lainnya tentu adalah sebuah langkah insensitif.
Memang tak sempurna, tapi setidaknya American Fiction telah berupaya keras sebagai harapan kelak tak ada lagi dikotomisasi berdasarkan warna kulit karena kita semua setara, dipayungi pula langit yang sama, dan berpijak di bumi yang sama.